Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari.
“Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan.“Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya.Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya.Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang terus menerus membuat dia menjaga jarak dengan siapapun, takut menular, katanya.“Obat Bapak masih ada?” Cahaya menatap Bu Saodah. Satu teguk teh manis hangat baru saja melewati kerongkongan keringnya, mengusir jauh rasa dahaga.“Masih.” Bu Saodah menjawab singkat.“Kalau habis bilang saja, Bu. Mas Baska sudah ngirim uang katanya. Besok Aya ambil ke rumah Mama.” Cahaya tersenyum. Sedikit berbesar hati, walau kiriman dari Mas Baska tak seberapa, tetapi bisa untuk membantu membeli obat untuk Bapak. Tangannya beralih mengambil sepotong tempe.“Maafin Ibu, Aya. Ibu malah merepotkanmu terus.” Bu Saodah menghela napas kasar.“Insya Allah akan selalu ada rejeki kalau buat bantu orang tua, Bu. Ibu hanya cukup bantu doa saja.”Lalu keduanya sama-sama hanyut dalam pikirannya. Dua iris tempe goreng dan teh manis ternyata sudah cukup membuat perutnya kenyang.Usai berbuka, lanjut dengan shalat maghrib lalu berangkat tarawih. Cahaya, Ibu Saodah dan Kiran berjalan bersama menuju masjid yang berada di tengah-tengah antara rumah Cahaya dan Bu saodah. Nanti sepulang tarawih, barulah akan berpisah dan menuju rumah masing-masing lagi.Langit tampak cerah hanya sedikit awan berarak bergumpal, suara bedug yang bertalu menambah semarak pada sore menjelang akhir Ramadhan sekarang. Kirana berlari riang ketika melihat Anneke dari arah jalan berlainan.“Anne!”“Kiran!”“Aku juga sudah dibeliin baju baru sama Mamaku, loh!” Kiran bercerita dengan mata yang tak bisa berdusta. Ada binar bahagia di sana.“Oh, ya? Aku juga sudah. Aku punya tiga, kamu udah berapa?” Anneke terdengar antusias.“Aku juga ada tiga,” jawab Kiran bangga.Cahaya hanya tersenyum hambar. Ingat sekali kalau dua baju itu dibelikan Bang Fajar. Andai keluarga Mas Baska tahu, pasti akan jadi masalah. Bagaimanapun Fajar adalah mantan kekasihnya dulu. Selain itu, Bang Fajar merupakan adik kandung dari suami kakak iparnya---Mas Fajri. Dua lelaki masa lalu yang selalu membayangi langkah kaki Cahaya hingga kini.***Dua hari lagi menuju lebaran. Sahur Cahaya dengan tempe bacem sisa semalam dan tumis kangkung yang dihangatkan sudah selesai. Bakda shubuh Cahaya langsung membereskan rumah. Setelah itu, baru akan ke rumah Bu Tanti yang biasa mempekerjakannya cuci setrika. Dua hari sekali jadwalnya ke sana.Ada tiga bak cucian milik keuarga besar itu yang sudah Cahaya selesaikan. Kini tengah dijemur di halaman belakang. Sementara menunggu jemuran kering, Cahaya membereskan rumah. Nyapu, ngepel dan mencuci piring.“Bu Tanti, saya permisi dulu, ya! Nanti bakda ashar ke sini lagi. Ada perlu juga soalnya.”“Oh iya, makasih ya, Mbak Aya.” Bu Tanti yang tengah sibuk dengan cucu-cucunya mengucap terima kasih.Cahaya lantas pulang, menjenguk Kirana dulu di rumah sebelum pergi ke rumah Omanya. Sesampai di rumah, tampak Kiran tengah berbaring di ruang tengah sambil menonton televisi.“Kiran, ayo bersiap, Sayang. Kita ke rumah Oma.” Cahaya berjalan mendekat ke arah Kirana yang tengah tiduran beralas karpet gambar frozen di ruang tengah.“Iya, Ma.” Kiran bangkit, tapi wajahnya tampak sekali lemas.“Kok lemas banget, Sayang? Kalau gitu, gak usah ikut saja, ya! Mama gak lama, kok! Kunci pintu, ya, selama Mama pergi.” Cahaya menatap khawatir wajah Kirana.“Iya, deh, Ma. Kiran gak ikut. Mau bobok saja.”“Kalau gak kuat, buka saja shaumnya, Kiran.” Cahaya menatap cemas punggung Kiran yang berjalan menuju kamar.“Iya, Ma.” Kirana hanya menjawab singkat. Dia pun terus masuk ke dalam kamar.Cahaya segera berangkat ke pangkalan ojek. Rumah Ibu Rini---Ibu Mertuanya cukup jauh. Meskipun bisa ditempuh dengan jalan kaki, tetapi kalau sedang puasa seperti ini, cukup menyita tenaga juga karena jaraknya yang lumayan.Menjelang zuhur, akhirnya Cahaya sampai juga di rumah dua lantai itu. Rumah keluarga Adiwinata yang kini dihuni Ibu mertuanya dengan kakak perempuan Mas Baska yang pertama---Mbak Fiska dengan suaminya yaitu Mas Fajri.Sudah lama Mas Fajri bekerja sebagai seorang IT di salah satu bank ternama. Gajinya besar, tetapi entah kenapa dia tak ada niatan untuk membeli rumah sendiri. Sampai hari ini dia masih betah tinggal di pondok mertua indah.Cahaya berdiri di depan pagar rumah setinggi dua meter yang digembok itu. Tak ada security, biasanya yang membukakan pintu adalah Mbok Sari---ART yang dibayar gajinya oleh Mbak Fiska untuk mengurus rumah dan juga Ibu Mertuanya. Dia memijit bell sambil menutup kepalanya dengan telapak tangan, menghalangi sinar terik mentari. Hari tengah terik-teriknya sekarang.Sudah berdiri beberapa lama, tetapi belum ada juga yang membukakan pintu. Cahaya mengusap wajah. Dia lupa tak mengabari dulu mau datang. Dirogohnya saku bajunya untuk mengambil benda pipih miliknya ketika sebuah mobil yang dia kenal, berjalan mendekat.“Akhirnya ada orang yang datang,” batin Cahaya sambil tetap mematung di depan pintu gerbang.Mobil berhenti, Cahaya menyipitkan mata memperhatikan sosok yang keluar. Rupanya Mas Fajri.“Aya, sudah lama? Kenapa gak ngabarin dulu mau ke sini, kan Mas bisa jemput!” tuturnya seraya tergesa membukakan gerbang untuk Cahaya.“Iya, Mas. Lupa. Makasih, Mas.” Cahaya sedikit kikuk ketika Mas Fajri malah memandangnya lekat-lekat.“Lain kali jangan seperti itu, Kiran mana?” telisiknya seraya melihat-lihat sekitar.“Kiran gak ikut, Mas. Ke sini juga sebentar saja, mau ketemu Omanya Kiran doang.” Cahaya menjawab sejujurnya. Mas Fajri adalah orang yang membuat dirinya memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Bang Fajar. Bagaimana bisa Cahaya tinggal satu atap dengan dua lelaki yang sama-sama menyatakan cinta padanya di masa silam dan sama-sama keras kepala. Namun, rupanya takdir memang kuat. Terlepas dari Bang Fajar, Mas Fajri malah menjadi kakak iparnya juga dan lebih parahnya tinggal di rumah Ibu Mertuanya.“Oh mau ambil kiriman Baska lagi?” telisiknya. Cahaya hanya mengangguk. Mas Fajri mempersilakannya masuk. Cahaya berjalan memasuki halaman luas itu. Mas Fajri kembali ke mobil dan memasukkannya segera ke pekarangan.“Memangnya ATM kamu belum bisa pakai?” Suara Mas Fajri membuat Cahaya yang masih mematung di depan pintu utama menoleh. Entah kenapa rumah ini seperti kosong.“Ya, masih seperti biasa, Mas. Tiap aku nyimpen uang pasti saja hilang.” Cahaya menjawab lemas. Teringat kejadian empat tahun silam, dia terkejut ketika hendak narik uang dari ATM. Uang yang Mas Baska tinggalkan untuknya sebelum pergi merantau ternyata sudah hilang, sayangnya dia tak pernah mengecheck berkala. Dari transaksi, ternyata uang itu sudah hilang cukup lama. Pernah lapor polisi, tetapi ternyata malah ada biaya lain-lain lagi dan prosesnya melelahkan. Akhirnya Cahaya membuat ATM baru, dia mencoba menabung beberapa rupiah lagi, tetapi ternyata sama. Beberapa bulan, uangnya aman, tetapi setelahnya kembali saldonya menjadi 0. Transaksi aneh-aneh yang tak dia paham termasuk top up, top up ke beberapa pengguna yang mungkin hanya orang-orang ahli IT yang bisa melakukannya. Semenjak saat itu, Cahaya tak pernah lagi menyimpan uang di bank, karena itu, setiap kiriman dari Mas Baska akan dikirim ke rekaning Ibu Mertuanya.“Mungkin ada data kamu yang bocor, ya sudah, ke rekening Mama saja gak apa. Yuk, duduk dulu. Sudah lama gak ngobrol sama kamu. Kebetulan Mama sama Fiska lagi arisan, mungkin agak sorean baru pulang.” Mas Fajri membukakan daun pintu. Cahaya tertegun. Langkahnya kaku dan akhirnya kembali memilih berpamitan.“Ahm, kalau Mama gak ada, sebaiknya saya pulang dulu saja, Mas, Sore saya ke sini lagi.” Cahaya baru hendak memutar tubuh dan meninggalkan rumah Ibu mertuanya ketika tangan Mas Fajri mencekalnya.“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.“Maaf, Mas … jangan begini … nanti jadi fitnah!” Cahaya menepis tangan Mas Fajri yang mencekal pergelangan tangannya. “Maaf.” Mas Fajri menyugar rambut ke belakang. Cahaya sudah hendak melangkah keluar ketika suara Mas Fajri kembali menghentikan langkahnya. “Aya … apakah benar tak ada kesempatan lagi untuk kita? Aku bisa menceraikan Fiska dan kita bisa hidup bersama, Aya. Kamu tak akan hidup kekurangan jika bersamaku … lihatlah keadaan Baska saat ini, bahkan sudah empat tahun dia gak pulang-pulang bukan? Apa kamu yakin, seorang lelaki bisa tahan berpisah dengan istrinya dalam waktu begitu lama … Aku yakin, Baska tak sebaik yang kamu pikirkan … dia pasti sudah memiliki perempuan lain di Surabaya sana!” Aku mengepal erat, sekuat hatiku menolak apa yang Mas Fajri tuduhkan. Mas Baska takkan seperti itu, dia sayang padaku. Ak
Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya. Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan. Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran
Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da
“M--Mama Kirannya mana? Bukannya Kiran sedang tidur sama Mama?” Sebuah pertanyaan lolos. Mas Baska menatap keganjilan yang ada di depan mata. Entah kenapa, hatinya begitu mencelos ketika ternyata yang benar adalah yang Mbak Fiska katakan padanya. Tak ada Kiran di kamar Mama. Perempuan yang dicintainya itu sudah membohonginya. “Apakah baru kali ini saja Mama berbohong padaku atau setiap informasi yang dia berikan selama ini adalah kebohongan belaka?” batin Mas Baska sambil mengurai pelukan dan menatap wajah perempuan paruh baya di depannya yang tampak terkejut luar biasa. “Ahm, Kiran?” Bu Rini menautkan alis, lalu celingukan ke kanan dan kiri. “Iya, Ma. Kiran. Tadi waktu aku telepon, Mama bilang lagi tidur sama Kiran ‘kan? Kirannya mana?” Mas Baska menatap lekat wajah Bu Rini yang tampak sekali gugup. “Oh itu … kamu salah paham, Baska. Mama bilang Kiran sudah tidur. Ya di rumah kalian lah. Memang waktu sore itu datang ke sini sama Aya. Kiran ngambek pengen pulang, pengen tidur. Mak