Share

Bab 6

Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya.

Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan.

Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran para lelaki masa lalu yang silih berganti mencoba merobohkan pertahanan kesetiaannya.

Sebelum ashar, Cahaya tiba di rumah. Lekas mencuci ayam dan membumbuinya. Kirana belum terlihat, dia intip dan ternyata masih tidur di kamarnya. Ingat dengan cucian yang belum disetrika di rumah majikannya, Cahaya bergegas ke sana dan lekas merapikan semua pekerjaannya. Keringat mengucur dan silih berganti dengan rasa lelah. Namun Cahaya tetap semangat, ingin tiba di rumah sebelum maghrib dan memasak ayam untuk Kirana berbuka.

Pukul setengah enam, akhirnya pekerjaan selesai. Kirana pulang dan berjalan cepat. Di jalan dia melihat seorang penjual es dawet yang tampak sudah berkemas untuk pulang.

“Mas, dawetnya masih ada?”

Lelaki itu menoleh dan mengangguk. Dia meletakkan lagi pikulannya.

“Mau berapa, Mbak?”

“Dua saja, Mas.”

Tangannya tampak cekatan membuat es dawet. Wangi gula merah dan daun pandan memanjakkan indera penciuman, warna putih santan berbaur dengan hijau ditambah serutan es dan tampak sangat segar. Berulang kali Cahaya menelan saliva. Rasa haus dan lelah membuat es dawet itu tampak sekali menggoda.

“Ini Mbak!” Penjual dawet itu mengangsurkan plastik warna hitam berisi dua pcs dawet manis dan segar.

“Makasih, ya, Mas! Berapa?” Cahaya mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

“Sepuluh ribu, Mbak.”

Cahaya mengangsurkan uang sepuluh ribuan dan lekas berjalan kembali. Rasa hatinya menghangat mengingat bisa berbuka puasa dengan makanan pembuka yang agak mewah sore ini. Biasanya hanya teh manis hangat dan gorengan yang dibuat. Hari ini ada es dawet, nanti juga mau membuat bakwan dan ayam semur untuk buka puasa dan sahur bersama Kirana.

Hampir maghrib ketika dia tiba di rumah. Namun tampak rumah masih sepi. Dia beranjak ke dalam dan tak tampak keberadaan Kirana di sana. Cahaya gegas membuka daun pintu, tetapi ternyata Kirana masih bergulung dalam selimut.

“Kiran … sudah mau maghrib, Nak. Yuk, bangun.” Cahaya mendekat. Namun terdengar lirih Kirana merintih. Tampak keringat bermunculan pada dahinya.

Cahaya duduk pada tepi ranjang, lantas menggoyangkan tubuh Kirana perlahan.

“Astaghfirulloh … panas banget.” Cahaya terkesiap ketika memegang dahi Kirana yang ternyata sangat panas. Matanya terpejam, bibirnya tampak kering dan bergetar.

“Kiran … bangun, Sayang.” Cahaya cukup panik dan menepuk-nepuk pipi Kirana. Namun hanya rintihan dan tampak sekali tangan Kirana gemetaran.

“Ya Allah ….”

Cahaya mencoba menarik napas, menenangkan hati dan pikiran. Dia lekas bangkit dan menuju ke dapur. Mengambil satu gelas air dan mengambil nasi. Namun karena belum masak, dia berikan kuah pada nasi dari air termos yang dibubuhinya sedikit garam. Tergopoh, Cahaya beranjak kembali ke kamar Kirana.

“Kiran bangun, buka dulu puasanya, ya, Nak!”

Tak ada sahutan. Dia membantu putrinya duduk meskipun tangannya tampak menggigil. Tetesan air mata Cahaya luruh. Diminumkannya perlahan air ke dalam mulut Kirana yang bibirnya tampak mengering itu. Namun rupanya lambungnya menolak dan Kirana malah muntah.

“Ya Allah ….”

Cahaya memijit tengkuk Kirana, tak peduli dia bajunya terkena muntahan. Usai Kirana sedikit tenang, Cahaya kembali meminumkan air pada bibir kering Kiran, tetapi putri kecilnya malah muntah lagi dan kondisinya semakin lemas saja.

Tangan Cahaya bergetar dan lekas memijit nomor Ibu Mertuanya. Hanya Bu Rini yang terlintas dalam kepalanya yang bisa dimintai tolong.

“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum … Aya boleh minta tolong, Ma?” Suara Cahaya bergetar di tengah isaknya.

“Wa’alaikumsalam! Ngapain kamu nelpon-nelpon Mama? Dia lagi buka puasa sama Mbak Fatma dan cucunya. Ganggu saja.” Rupanya yang mengangkat panggilan adalah Mbak Fiska.

“Mbak, boleh minta tolong pinjam mobil, Mbak. Kiran panas banget dan dari tadi muntah-muntah, Mbak. Ini sudah lemes banget.” Cahaya bicara sambil menangis, tak tega melihat putri semata wayanganya tampak semakin lemah.

“Gak ada, mobil dibawa Mas Fajri. Kamu cari ojek saja. Sudah jangan ganggu-ganggu kami, kita lagi buka bersama. Gitu doang manja! Kebiasaan dimanja si Baska sih dulu, apa-apa bergantung sama orang!” hardiknya. Lalu panggilan itu ditutupnya.

Cahaya mengelus dada. Kirana mulai meracau tak jelas dan matanya terpejam. Keringat dingin makin banyak bermunculan.

“Ya Allah … Kiran … sabar, Nak.”

Cahaya mengelap keringat Kirana. Lantas dia berlari ke depan rumah dan mencari tetangga untuk dimintai tolong. Namun tetangga depan rumah malah menutup pintunya ketika melihat Cahaya datang. Tetangga samping kanan rumahnya tampak sepi, sore tadi dia berpapasan, sepertinya sedang pergi. Sebelah kanan, pemilik rumah berpagar tinggi yang jarang bersosialiasi.

Akhirnya Cahaya berlari mencari tukang ojek ke pangkalan ojek. Beruntung ada Mang Wardi---seorang lelaki paruh baya yang baru saja hendak pulang. Dia bergegas membantu Cahaya dan membopong Kirana hingga di klinik terdekat.

Sepanjang jalan Kirana menggigil dengan suhu tubuh yang terasa semakin panas. Racauannya makin terdengar dan samar terdengar dia memanggil-manggil ayah. Cahaya peluk sambil diciumi pucuk kepala anak gadis kesayangannya itu. Air mata mengalir membuat semua pandangannya berkabut.

Jarak rumah ke klinik menghabiskan waktu lima belas menit.

“Makasih, Mang!” Cahaya susah payah menggendong tubuh Kirana yang terus menggigil. Adzan maghrib berkumandang ketika akhirnya dia tiba di ruangan. Bayangan buka puasa dengan dawet dan makan ayam, menguap sudah. Bagi Cahaya kesembuhan Kirana kini adalah segalanya.

Perawat langsung membawa Kirana dalam brankar untuk dilakukan observasi. Cahaya terduduk lemas di ruang tunggu, rasa haus mendominasi, letih dan cemas berbaur menjadi satu. Dalam keadaan lemas, Cahaya berjalan menuju keluar klinik. Teringat uang kiriman dari Mas Baska hanya tersisa tinggal seratus ribu karena sudah dibelanjakan ini dan itu. Cahaya pun membeli air mineral dan segera meneguknya untuk mengusir dahaga. Setelah itu, bergegas Cahaya menuju mushola klinik dan menunaikan tiga rakaat, memanjatkan doa berharap mengetuk arasy’Nya.

Usai shalat, Cahaya beranjak kembali ke ruangan di mana tadi Kirana sedang dilakukan observasi. Seorang suster menghampirinya dan memanggilnya ke ruang administrasi.

“Bu Cahaya, Kirana teridentifikasi terkena thyphoid dan harus dirawat setidaknya tiga hari. Apakah Ibu ada kartu asuransi atau asuransi dari pemerintah?”

Glek!

Cahaya menelan saliva lalu menggeleng perlahan. Kartu BPJS-nya dulu didaftarkan di perusahaan. Semenjak bangkrut, sampai kini belum diaktifkan lagi mengingat keterbatasannya untuk membayar iuran. Untuk masuk ke dalam data rakyat tidak mampu sedikit sulit, karena dulu Mas Baska termasuk salah satu pengusaha yang tergolong kaya. Untuk mendapatkan bansos saat ini cukup selektif juga.

“Kalau tidak ada, tolong Ibu bayar dulu deposit administrasinya! Ibu bisa bayarkan sebesar dua juta rupiah agar kami segera bisa lakukan penanganan lebih lanjut!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status