Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya.
Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan.Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran para lelaki masa lalu yang silih berganti mencoba merobohkan pertahanan kesetiaannya.Sebelum ashar, Cahaya tiba di rumah. Lekas mencuci ayam dan membumbuinya. Kirana belum terlihat, dia intip dan ternyata masih tidur di kamarnya. Ingat dengan cucian yang belum disetrika di rumah majikannya, Cahaya bergegas ke sana dan lekas merapikan semua pekerjaannya. Keringat mengucur dan silih berganti dengan rasa lelah. Namun Cahaya tetap semangat, ingin tiba di rumah sebelum maghrib dan memasak ayam untuk Kirana berbuka.Pukul setengah enam, akhirnya pekerjaan selesai. Kirana pulang dan berjalan cepat. Di jalan dia melihat seorang penjual es dawet yang tampak sudah berkemas untuk pulang.“Mas, dawetnya masih ada?”Lelaki itu menoleh dan mengangguk. Dia meletakkan lagi pikulannya.“Mau berapa, Mbak?”“Dua saja, Mas.”Tangannya tampak cekatan membuat es dawet. Wangi gula merah dan daun pandan memanjakkan indera penciuman, warna putih santan berbaur dengan hijau ditambah serutan es dan tampak sangat segar. Berulang kali Cahaya menelan saliva. Rasa haus dan lelah membuat es dawet itu tampak sekali menggoda.“Ini Mbak!” Penjual dawet itu mengangsurkan plastik warna hitam berisi dua pcs dawet manis dan segar.“Makasih, ya, Mas! Berapa?” Cahaya mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.“Sepuluh ribu, Mbak.”Cahaya mengangsurkan uang sepuluh ribuan dan lekas berjalan kembali. Rasa hatinya menghangat mengingat bisa berbuka puasa dengan makanan pembuka yang agak mewah sore ini. Biasanya hanya teh manis hangat dan gorengan yang dibuat. Hari ini ada es dawet, nanti juga mau membuat bakwan dan ayam semur untuk buka puasa dan sahur bersama Kirana.Hampir maghrib ketika dia tiba di rumah. Namun tampak rumah masih sepi. Dia beranjak ke dalam dan tak tampak keberadaan Kirana di sana. Cahaya gegas membuka daun pintu, tetapi ternyata Kirana masih bergulung dalam selimut.“Kiran … sudah mau maghrib, Nak. Yuk, bangun.” Cahaya mendekat. Namun terdengar lirih Kirana merintih. Tampak keringat bermunculan pada dahinya.Cahaya duduk pada tepi ranjang, lantas menggoyangkan tubuh Kirana perlahan.“Astaghfirulloh … panas banget.” Cahaya terkesiap ketika memegang dahi Kirana yang ternyata sangat panas. Matanya terpejam, bibirnya tampak kering dan bergetar.“Kiran … bangun, Sayang.” Cahaya cukup panik dan menepuk-nepuk pipi Kirana. Namun hanya rintihan dan tampak sekali tangan Kirana gemetaran.“Ya Allah ….”Cahaya mencoba menarik napas, menenangkan hati dan pikiran. Dia lekas bangkit dan menuju ke dapur. Mengambil satu gelas air dan mengambil nasi. Namun karena belum masak, dia berikan kuah pada nasi dari air termos yang dibubuhinya sedikit garam. Tergopoh, Cahaya beranjak kembali ke kamar Kirana.“Kiran bangun, buka dulu puasanya, ya, Nak!”Tak ada sahutan. Dia membantu putrinya duduk meskipun tangannya tampak menggigil. Tetesan air mata Cahaya luruh. Diminumkannya perlahan air ke dalam mulut Kirana yang bibirnya tampak mengering itu. Namun rupanya lambungnya menolak dan Kirana malah muntah.“Ya Allah ….”Cahaya memijit tengkuk Kirana, tak peduli dia bajunya terkena muntahan. Usai Kirana sedikit tenang, Cahaya kembali meminumkan air pada bibir kering Kiran, tetapi putri kecilnya malah muntah lagi dan kondisinya semakin lemas saja.Tangan Cahaya bergetar dan lekas memijit nomor Ibu Mertuanya. Hanya Bu Rini yang terlintas dalam kepalanya yang bisa dimintai tolong.“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum … Aya boleh minta tolong, Ma?” Suara Cahaya bergetar di tengah isaknya.“Wa’alaikumsalam! Ngapain kamu nelpon-nelpon Mama? Dia lagi buka puasa sama Mbak Fatma dan cucunya. Ganggu saja.” Rupanya yang mengangkat panggilan adalah Mbak Fiska.“Mbak, boleh minta tolong pinjam mobil, Mbak. Kiran panas banget dan dari tadi muntah-muntah, Mbak. Ini sudah lemes banget.” Cahaya bicara sambil menangis, tak tega melihat putri semata wayanganya tampak semakin lemah.“Gak ada, mobil dibawa Mas Fajri. Kamu cari ojek saja. Sudah jangan ganggu-ganggu kami, kita lagi buka bersama. Gitu doang manja! Kebiasaan dimanja si Baska sih dulu, apa-apa bergantung sama orang!” hardiknya. Lalu panggilan itu ditutupnya.Cahaya mengelus dada. Kirana mulai meracau tak jelas dan matanya terpejam. Keringat dingin makin banyak bermunculan.“Ya Allah … Kiran … sabar, Nak.”Cahaya mengelap keringat Kirana. Lantas dia berlari ke depan rumah dan mencari tetangga untuk dimintai tolong. Namun tetangga depan rumah malah menutup pintunya ketika melihat Cahaya datang. Tetangga samping kanan rumahnya tampak sepi, sore tadi dia berpapasan, sepertinya sedang pergi. Sebelah kanan, pemilik rumah berpagar tinggi yang jarang bersosialiasi.Akhirnya Cahaya berlari mencari tukang ojek ke pangkalan ojek. Beruntung ada Mang Wardi---seorang lelaki paruh baya yang baru saja hendak pulang. Dia bergegas membantu Cahaya dan membopong Kirana hingga di klinik terdekat.Sepanjang jalan Kirana menggigil dengan suhu tubuh yang terasa semakin panas. Racauannya makin terdengar dan samar terdengar dia memanggil-manggil ayah. Cahaya peluk sambil diciumi pucuk kepala anak gadis kesayangannya itu. Air mata mengalir membuat semua pandangannya berkabut.Jarak rumah ke klinik menghabiskan waktu lima belas menit.“Makasih, Mang!” Cahaya susah payah menggendong tubuh Kirana yang terus menggigil. Adzan maghrib berkumandang ketika akhirnya dia tiba di ruangan. Bayangan buka puasa dengan dawet dan makan ayam, menguap sudah. Bagi Cahaya kesembuhan Kirana kini adalah segalanya.Perawat langsung membawa Kirana dalam brankar untuk dilakukan observasi. Cahaya terduduk lemas di ruang tunggu, rasa haus mendominasi, letih dan cemas berbaur menjadi satu. Dalam keadaan lemas, Cahaya berjalan menuju keluar klinik. Teringat uang kiriman dari Mas Baska hanya tersisa tinggal seratus ribu karena sudah dibelanjakan ini dan itu. Cahaya pun membeli air mineral dan segera meneguknya untuk mengusir dahaga. Setelah itu, bergegas Cahaya menuju mushola klinik dan menunaikan tiga rakaat, memanjatkan doa berharap mengetuk arasy’Nya.Usai shalat, Cahaya beranjak kembali ke ruangan di mana tadi Kirana sedang dilakukan observasi. Seorang suster menghampirinya dan memanggilnya ke ruang administrasi.“Bu Cahaya, Kirana teridentifikasi terkena thyphoid dan harus dirawat setidaknya tiga hari. Apakah Ibu ada kartu asuransi atau asuransi dari pemerintah?”Glek!Cahaya menelan saliva lalu menggeleng perlahan. Kartu BPJS-nya dulu didaftarkan di perusahaan. Semenjak bangkrut, sampai kini belum diaktifkan lagi mengingat keterbatasannya untuk membayar iuran. Untuk masuk ke dalam data rakyat tidak mampu sedikit sulit, karena dulu Mas Baska termasuk salah satu pengusaha yang tergolong kaya. Untuk mendapatkan bansos saat ini cukup selektif juga.“Kalau tidak ada, tolong Ibu bayar dulu deposit administrasinya! Ibu bisa bayarkan sebesar dua juta rupiah agar kami segera bisa lakukan penanganan lebih lanjut!”Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara. Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana. “Hallo, Rin, masih di mana?” “Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!” “Takut jadi fitnah, Rin!” “Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!” “Ck, sudah gak usah bahas!” “Dasar Mas Baska tukang ngeyel!” Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri. Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da
“M--Mama Kirannya mana? Bukannya Kiran sedang tidur sama Mama?” Sebuah pertanyaan lolos. Mas Baska menatap keganjilan yang ada di depan mata. Entah kenapa, hatinya begitu mencelos ketika ternyata yang benar adalah yang Mbak Fiska katakan padanya. Tak ada Kiran di kamar Mama. Perempuan yang dicintainya itu sudah membohonginya. “Apakah baru kali ini saja Mama berbohong padaku atau setiap informasi yang dia berikan selama ini adalah kebohongan belaka?” batin Mas Baska sambil mengurai pelukan dan menatap wajah perempuan paruh baya di depannya yang tampak terkejut luar biasa. “Ahm, Kiran?” Bu Rini menautkan alis, lalu celingukan ke kanan dan kiri. “Iya, Ma. Kiran. Tadi waktu aku telepon, Mama bilang lagi tidur sama Kiran ‘kan? Kirannya mana?” Mas Baska menatap lekat wajah Bu Rini yang tampak sekali gugup. “Oh itu … kamu salah paham, Baska. Mama bilang Kiran sudah tidur. Ya di rumah kalian lah. Memang waktu sore itu datang ke sini sama Aya. Kiran ngambek pengen pulang, pengen tidur. Mak
“Ibu bisa kasih alamat klinik dokter prakteknya? Aku mau ke sana, Bu?” Mas Baska bangkit setelah meneguk teh hangat buatan mertuanya hingga tandas. Banyak hal yang sepertinya memerlukan penjelasan dari Aya. “Apakah sesuatu telah terjadi antara Mama dan Aya? Namun, rasanya gak mungkin … Mama bahkan sangat menyayangi Aya dan Kiran. Semoga semua kecurigaanku ini salah.” Mas Baska lekas menginjak gas dan menuju ke alamat klinik yang disebutkan oleh Ibu Nur---Ibu Mertuanya. Mobil yang ditumpangi Mas Baska perlahan menyisir satu per satu bangunan yang berderet. Dia mencari plang bertuliskan parktek Dr. Neli. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah dua lantai bercat abu. Mobil berhenti, hari memang masih gelap ketika pada akhirnya dia mendorong gerbang yang memang tak dikunci itu, gerbang itu hanya menutup sedikit saja. Lantas Mas Baska memarkirkan mobil yang dia bawa. Kaki Mas Baska perlahan melangkah mendekati pintu ruang praktik yang tertutup. Memang tak seperti klinik, tetapi hany
Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!La ilaha Ilallahu Allohu AkbarAllohu Akbar, Walilahilhamdu ….Gema takbir kemenangan hampir berakhir ketika mobil Mas Baska yang membawa serta Cahaya dan Kirana kembali ke rumah mungil mereka. Sepanjang jalan, Cahaya tak banyak bicara. Hanya duduk diam sambil berulang menyeka air mata. Kepulangan Mas Baska adalah anugerah. Hadiah terindah yang tak pernah dia duga. Cahaya membuka daun pintu. Mas Baska yang sudah berada tak jauh darinya sambil membpopong Kirana---putri kecilnya. Udara di dalam rumah masih terasa asing bagi Mas Baska. Dulu sebelum kebangkrutan yang menimpa, mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup besar. Namun, semenjak usahanya tumbang, rumah kecil itu menjadi pilihan. Tak banyak perabotan di sana. Hanya ada dua kamar juga. Cahaya meminta Mas Baska menidurkan Kiran di kamarnya.“M--Mas, ikut shalat ied gak?” tanya Cahaya sambil menatap jam pada dinding. Sudah pukul lima lewat. “Ikut lah, Dek. Setahun sekal doang, masa iya