Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara.
Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana.“Hallo, Rin, masih di mana?”“Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!”“Takut jadi fitnah, Rin!”“Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!”“Ck, sudah gak usah bahas!”“Dasar Mas Baska tukang ngeyel!”Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri.Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang kemarin menolak tawarannya untuk tinggal di apartemen. Karina langsung duduk di samping Mas Baska yang baru saja bernapas lega.“Bilang Abi, Mas jadi pinjam mobilnya.” Mas Baska menoleh pada Karina.“Yes, kalau pinjam berarti nanti ada rencana balikin ke sini lagi, dong!” Kedua mata Karina berbinar.“Nanti Mas suruh orang buat kirim!” Mas Baska bangkit lalu menyodorkan tangan meminta kunci pada gadis tomboy dengan rambut sebahu itu.“Harus Mas Baska pokoknya yang balikin! Kalau enggak, gak mau aku minjemin, we!” Karina menjulurkan lidah dan menatap sengit ke arah Mas Baska.“Gimana Abi mau cepet mantu, kelakuan kek bocah! Sini kuncinya! Mas sudah gak ada waktu.” Mas Baska memasang wajah serius. Akhirnya Karina menyerahkan kunci mobil itu pada Mas Baska.“Mas balik dulu, ya! Bae-bae loh, entar dikawinin!” kekeh Mas Baska seraya menyentil dahi Karina yang tertutup poni tak rata.Hanya cebikan dari Karina. Dia pun menyerahkan kunci mobil itu pada Mas Baska dengan dilempar begitu saja. Untung Mas Baska sigap menangkapnya.“Kenapa, sih, aku jadi anak satu-satunya? Ck! Enak kan kalau punya kakak.” Karina cemberut ketika langkah Mas Baska mulai menjauh meninggalkannya. Tak lama dari itu dia berlari dan mengejar Mas Baska. Berjalan mengekori langkah panjang lelaki itu hingga tiba di parkiran.“Mas pulang dulu, ya! Assalamuálaikum!” Mas Baska melambaikan tangan pada Karina setelah memasukkan barang-barang ke bagasi mobilnya. Perjalanan Surabaya – Bekasi sudah menanti. Andai bukan menjelang hari Raya, mungkin lebih baik menunggu ticket selanjutnya. Namun sayang, flight kelas ekonomi sudah habis dan hanya tinggal bisnis class yang harganya selangit.“Bye-bye, Mas! Wa’alaikumsalam!” Karina memasang senyum. Namun tak lama, setelah mobil yang ditumpangi Mas Baska keluar dari parkiran dan menghilang dia berteriak dengan kencang.“Aaaarghhh!” Ditinjunya angin dan dia mengabaikan orang-orang yang tengah ramai memperhatikannya dengan heran.Mas Baska mulai menyetir. Diinjaknya gas perlahan. Doa-doa dalam dada dia langitkan.“Aya … Mas pulang … Kiran … Ayah pulang ….” Mas Baska tersenyum membayangkan akan sebahagia apa Cahaya dan Kiran ketika tahu jika dia pulang. Kepulangannya sengaja disembunyikan agar menjadi kejutan. Dia pun sudah selesaikan semua utang berjumlah milyaran itu. Kini dia pun dipercaya mengelola sebuah perusahaan trading milik Abi yang tengah launching di daerah Bekasi. Perusahaan yang sebagiannya ada saham atas nama dirinya di dalamnya.***Kondisi Kiran, benar-benar membuat Cahaya panik. Cahaya pun sudah menelpon Ibu. Perempuan paruh baya itu datang tergopoh dan menggantikan Cahaya berjaga di klinik, meninggalkan suaminya yang sebetulnya tengah sakit-sakitan juga.“Ibu gantikan dulu jagain Kiran, ya!” Cahaya menatap wajah teduh perempuan pemilik surganya itu.“Iya, Aya.” Ibu mengangguk. Cahaya sudah membeberkan panjang lebar kalau dia akan pergi mencari pinjaman. Tadi sudah menelpon Mbak Fatma, tetapi tak diangkatnya. Dia ingat jika Mbak Fatma lagi buka bersama di rumah Ibu mertuanya. Biasanya Mbak Fatma sedikit lebih berprikemanusiaan dari pada Mbak Fiska. Buktinya saja kemarin tetap dapat pinjaman untuk membelikan baju lebaran Kirana.Dengan menaiki ojek. Rumah yang pertama dituju tetap rumah Ibu mertuanya. Untuk meminjam ke tetangga lain, Cahaya pesimis. Dua juta rupiah bukan bilangan kecil. Apalagi menjelang hari raya, semuanya pasti memiliki kebutuhan.Alunan suara murotal pada masjid-masjid dan bedug yang bertalu sepanjang jalan, hanya itu yang menemaninya. Suara-suara orang melantunkan solawat berseling dari satu masjid ke masjid lainnya. Malam ini, terpaksa Cahaya melewatkan solat tarawih berjamaah.Sampai di depan rumah mertuanya, kondisi masih ramai. Mobil Mas Fajri pun tampak terparkir di garasi. Tak seperti yang dibilang Mbak Fiska tadi kalau Mas Fajri tengah pergi.Meskipun ragu, Cahaya tetap mengetuk pintu rumah yang memang masih sedikit terbuka itu. Mbak Fatma yang muncul. Ruang tengah masih berantakan. Beragam makanan tampak memenuhi karpet yang mereka gelar. Anak-anak Mbak Fatma tengah tiduran pada karpet bulu dan tampak bercanda satu sama lain.Akhirnya Cahaya mengutarakan niatnya pada Mbak Fatma. Bu Rini mendengarkan. Dia seperti kaget mendengar Kiran sakit. Namun sepertinya tetap memilih diam.“Alah, paling ngada-ngada, Ma. Paling juga cari uang doang buat modal lebaran! Sampai segitunya, ya!” Mbak Fiska terdengar berujar sinis.“Emang uang yang tadi Baska kasih, sudah habis?” Bu Rini sepertinya lebih percaya pada omongan Mbak Fiska.“Yang Mama kasih tadi sudah aku belikan beras juga dan kebutuhan lain-lainnya, Ma. Lagian uangnya hanya tiga ratus ribu, buat Kiran dirawat itu bayar awalnya saja dua juta, Ma. Mungkin kalau rawat inapnya lebih, bisa lebih juga.”“Sakit tipes itu akal-akalan dokter saja, Aya! Dulu Mbak juga waktu Siska dibilang sakit tipes, Mbak minta pulang saja! Berobat pake obat warung juga sembuh. Apalagi kamu memang gak ada uang. Jadi gak usah maksain. Bilang saja mau rawat jalan!” Mbak Fatma angkat bicara.“Nah itu baru Ibu yang cerdas! Jangan apa-apa mewek, apa-apa panikan! Bisanya nyusahin orang doang!” omel Mbak Fiska.Cahaya menggigit bibir bawah. Rupanya keragu-raguannya memang berbuah cemoohan saja. Cahaya tak berlama-lama, lekas pamitan pulang. Percuma juga, mereka bahkan mengira sakitnya Kiran hanya mengada-ada.Langkah Cahaya yang sudah sampai jalanan terhenti ketika suara seseorang terdengar memanggil. Langkah cepat lelaki itu akhirnya bisa mengejar Cahaya.“Pakailah ini. Pinnya nanti Mas kirim lewat WA!” Mas Fajri sudah berdiri dan tanpa Cahaya sangka meletakkan kartu ATM pada telapak tangannya.“A--apa ini, Mas?” Cahaya melongo melihat kartu berwarna biru itu.“Buat kamu … Mas tahu kamu gak bohong. Kiran pasti emang lagi sakit.” Mas Fajri menatap lembut. Cahaya mematung ragu. Namun tak urung juga dia tersenyum dan mengucap terima kasih.“Makasih banyak, Mas. Uangnya nanti pasti Aku ganti, walau gak janji bisa cepat.” Cahaya berucap dengan bibir bergetar.“Gak usah diganti, Aya. Mas hanya minta satu malam saja dari kamu.” Ucapan itu seketika membuat kebahagiaan Cahaya terhempas begitu saja. Dia mengepal erat dan dengan mata mengembun menatap lelaki yang berdiri di depannya.“Aku tak serendah yang kamu pikir, Mas!” Cahaya mengembalikan kartu ATM itu pada Mas Fajri.“Aya, Baska gak akan pulang! Kamu gak usah sok jual mahal! Mau minta tolong sama siapa lagi kamu? Mau lebaran gini, semua orang uangnya dipakai.” Mas Fajri tersenyum merendahkan, tangannya mencekal pergelangan tangan Cahaya.“Aku punya Allah, Mas! Aku gak butuh belas kasihan kamu! Suamiku pasti akan pulang! Dia akan pulang!” Cahaya mengepal dan menepis kasar cekalan Mas Fajri pada lengannya.Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya. Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar. “Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulan
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya. Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi. Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya. Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi. “Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat n
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?” “Pakai saja dulu. Itu uang simpanan Ibu.” Hanya jawaban itu yang didapatkan Cahaya. Rasanya masih ada yang mengganjal. Jika Ibu memiliki uang simpanan sebanyak itu, kenapa juga kemarin bahkan untuk ongkos ojek pun dia gak punya. “Sudah, gak usah terlalu banyak pikiran. Pakai saja dulu buat keperluan Kiran.” Cahaya sebetulnya masih penasaran dari mana uang yang setelah dihitung itu ternyata berjumlah satu juta. Namun, kali ini bukan waktunya untuk debat. Yang jelas uang itu datang di waktu yang tepat. Setidaknya, besok ketika pas pulang, tak payah pusing lagi memikirkan pinjaman. Ibu pun tak lama. Dia berpamitan. Dia berjalan kaki dari tempat dokter praktek itu, katanya mau naik ojek di depan. “Dari mana pun Ibu dapat uang ini … semoga bukan dari sesuatu yang diharamkan.” Hanya itu yang Cahaya ucapkan sambil bernapas lega. Kondisi Kiran membuat Cahaya berbesar hati. Suhu tubuhnya seharian ini stabil. Dokter bi
“Sedikit, lagi ….” Mas Baska menginjak gas maksimal. Tak sabar, benar-benar tak sabar. Bahkan sejak dalam perjalanan, jiwanya sudah lebih dulu tiba di kampung kesayangan. Hingga perlahan mobil berwarna putih itu menepi, memasuki jalanan pemukiman yang sunyi. Rumah yang dibelinya dari hasil sisa tabungan yang Cahaya simpan, rumah yang ditempatinya semenjak rumah besar dan megahnya disita Bank. Rumah yang dia tinggalkan selama ratusan hari, kini sudah berada di depan mata. Lampunya menyala, tetapi sepertinya sangat sunyi. Dibukanya pintu mobil ketika kendaraan roda empat itu sudah terparkir sempurna. Mas Baska keluar setengah berlari memburu pintu rumah. Hatinya berdesie hebat, bahkan air matanya sudah mengembun ketika jemarinya mengetuk daun pintu. “Assalamu’alaikum, Dek!”Suara bergetarnya terdengar. Menyeruak di tengah ramainya alunan takbir yang bersahut-sahutan. “Dek! Ini Mas, suami kamu! Buka pintunya, Dek!” Mas Baska berbicara lebih kencang. Namun, tak ada yang membuka juga da
“M--Mama Kirannya mana? Bukannya Kiran sedang tidur sama Mama?” Sebuah pertanyaan lolos. Mas Baska menatap keganjilan yang ada di depan mata. Entah kenapa, hatinya begitu mencelos ketika ternyata yang benar adalah yang Mbak Fiska katakan padanya. Tak ada Kiran di kamar Mama. Perempuan yang dicintainya itu sudah membohonginya. “Apakah baru kali ini saja Mama berbohong padaku atau setiap informasi yang dia berikan selama ini adalah kebohongan belaka?” batin Mas Baska sambil mengurai pelukan dan menatap wajah perempuan paruh baya di depannya yang tampak terkejut luar biasa. “Ahm, Kiran?” Bu Rini menautkan alis, lalu celingukan ke kanan dan kiri. “Iya, Ma. Kiran. Tadi waktu aku telepon, Mama bilang lagi tidur sama Kiran ‘kan? Kirannya mana?” Mas Baska menatap lekat wajah Bu Rini yang tampak sekali gugup. “Oh itu … kamu salah paham, Baska. Mama bilang Kiran sudah tidur. Ya di rumah kalian lah. Memang waktu sore itu datang ke sini sama Aya. Kiran ngambek pengen pulang, pengen tidur. Mak
“Ibu bisa kasih alamat klinik dokter prakteknya? Aku mau ke sana, Bu?” Mas Baska bangkit setelah meneguk teh hangat buatan mertuanya hingga tandas. Banyak hal yang sepertinya memerlukan penjelasan dari Aya. “Apakah sesuatu telah terjadi antara Mama dan Aya? Namun, rasanya gak mungkin … Mama bahkan sangat menyayangi Aya dan Kiran. Semoga semua kecurigaanku ini salah.” Mas Baska lekas menginjak gas dan menuju ke alamat klinik yang disebutkan oleh Ibu Nur---Ibu Mertuanya. Mobil yang ditumpangi Mas Baska perlahan menyisir satu per satu bangunan yang berderet. Dia mencari plang bertuliskan parktek Dr. Neli. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah dua lantai bercat abu. Mobil berhenti, hari memang masih gelap ketika pada akhirnya dia mendorong gerbang yang memang tak dikunci itu, gerbang itu hanya menutup sedikit saja. Lantas Mas Baska memarkirkan mobil yang dia bawa. Kaki Mas Baska perlahan melangkah mendekati pintu ruang praktik yang tertutup. Memang tak seperti klinik, tetapi hany
Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!La ilaha Ilallahu Allohu AkbarAllohu Akbar, Walilahilhamdu ….Gema takbir kemenangan hampir berakhir ketika mobil Mas Baska yang membawa serta Cahaya dan Kirana kembali ke rumah mungil mereka. Sepanjang jalan, Cahaya tak banyak bicara. Hanya duduk diam sambil berulang menyeka air mata. Kepulangan Mas Baska adalah anugerah. Hadiah terindah yang tak pernah dia duga. Cahaya membuka daun pintu. Mas Baska yang sudah berada tak jauh darinya sambil membpopong Kirana---putri kecilnya. Udara di dalam rumah masih terasa asing bagi Mas Baska. Dulu sebelum kebangkrutan yang menimpa, mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup besar. Namun, semenjak usahanya tumbang, rumah kecil itu menjadi pilihan. Tak banyak perabotan di sana. Hanya ada dua kamar juga. Cahaya meminta Mas Baska menidurkan Kiran di kamarnya.“M--Mas, ikut shalat ied gak?” tanya Cahaya sambil menatap jam pada dinding. Sudah pukul lima lewat. “Ikut lah, Dek. Setahun sekal doang, masa iya
Di rumah besar milik almarhum Pak Wiguna, Bu Rini tengah merasa gelisah. Kedatangan Mas Baska yang mendadak membuatnya menjadi bingung mengambil sikap. Satu sisi, jika Mas Baska banyak uang memang royal, untuk keluarga pun gak perhitungan. Namun, pada sisi lain, Bu Rini takut jika Mas Baska masih miskin dan akhirnya malah menyusahkan. Masih ingat empat tahun lalu ketika bisnis Mas Baska collaps, Mbak Fiska sering marah-marah karena Mas Baska kerap meminjam beras dan uang. Dia juga takut kalau Mas Baska curiga jika uang yang dikirim tak diberikan semua pada Cahaya. Jika melalui telepon, Bu Rini bisa lancar berbohong. Namun kalau berhadapan, apalagi Mas Baska sudah dapat klarifikasi dari menantunya, tentunya Mas Baska akan lebih sulit percaya padanya. Jujur, Bu Rini belum siap untuk menjawab pertanyaan itu. “Mama mendingan jaga jarak sama Baska, Ma. Dia pasti nanti nanyain itu uang kiriman dia. Aku sih yakin banget, si Aya pasti ngadu-ngadu yang bukan-bukan tentang kita ke Baska.” “La