“Biar saya samperin, deh, Jeng! Malu-maluin banget sih mantu sampean! Orang disuruh pake dress code putih, malah batik! Aneh! Sudah gitu, kepedean juga malah duduk di paling depan! Apa kita tonton saja biar dia dipermalukan dan diomeli lelaki yang tadi,” kekeh Bu Wati seraya menertawakan Cahaya yang menurutnya salah kostum.“Ya sudah, sana.” Bu Rini hanya mendukung saja. Dirinya sendiri tak sampai hati menunjukkan sikap seperti itu di depan Mas Baska. Konsep Bu Rini, dia harus berada di tengah agar posisi selalu aman. Andai Mas Baska sukses, dia tak malu juga nantinya. Dulu pun sudah terbukti, Mas Baska begitu baik dan royal pada keluarga. Hanya saja, sekarang, dirinya memang butuh penopang. Dia tak tahu saja kalau Mas Baska punya saham di perusahaan dagang yang sekarang ini dihadiri acaranya. Bu Wati sudah mau bangkit ketika tangan Mbak Ning menahannya. “Ibu mau ke mana?” Sorot mata Mbak Ning yang tampak lelah itu menatap Bu Wati. “Sudah kamu diem saja di sini, Ning! Ibu ada urusa
Wajah Bu Wati yang sudah merah padam bertambah gusar. Dia menatap nyalang pada Karina, apalagi mendengar jika dia akan membatalkan perjanjian kerjanya Ningtias dengan perusahaan yang sama di mana Mas Baska bekerja. "Jadi dia beneran pemilik saham, ya? Duh kok bisa-bisanya malah jadi gini?" sesal Bu Wati dalam hati. Dia pun meronta meminta lepas dari tarikan dua tim keamanan itu.Mbak Ning sudah telanjur malu, dia segera menelpon Pak Yono yang tadi minta izin buat ngopi saja di parkiran bareng dengan beberapa supir. Mbak Ning meminta Pak Yono segera standby di depan gerbang. Mbak Ning menjelaskan secara singkat keributan yang sudah Bu Wati buat di dalam sana. “Astagaa, Ning. Mama kamu itu, bikin malu Bapak saja.” Pak Yono geleng-geleng kepala. Namun dia pun lekas membawa mobil ke area gerbang di dekat pos security dan menunggu di sana. Bu Rini yang mendengar inti sari dari huru-hara tersebut, cukup kaget ketika mendengar jika yang mengenakan batik itu para pemilik saham. Dia membiar
Mas Fajri menatap perempuan dengan lingerie warna hitam yang tengah duduk di sofa dengan kaki menumpang. “Kapan kamu bisa menggaet Baska, Ren? Rasanya … sudah berbulan-bulan, tapi gak ada kemajuan.” Mas Fajri mematikan puntung rokok yang sudah tak lagi panjang dan membiarkan tergeletak di dalam asbak. “Susah, Mas. Aku sudah berusaha nawarin makanan ‘kan? Bela-belain beli dulu di restoran biar dia terkesan, sudah pake baju seksi juga, pas datang nganter, eh ngelihat batang hidungnya saja enggak. Yang ngambil makanannya nyuruh OB,” omel Rena.“Usaha lebih keras, dong, Sayang … katanya suka.” Mas Fajri mencebik. Geram juga melihat pergerakan Rena yang lambat seperti siput. “Ini juga lagi mikir lah, Mas. Kamu kira, dia kek kamu. Aku telepon langsung saja nyamber. Dia itu sepertinya tipe-tipe lempeng. Aku beberapa kali mengirim pesan selain promo makanan, tak ada sedikitpun dia respon.” Rena mendengus. “Coba yang lebih agresif dikit, Ren. Pura-pura jadi tukang pijat, kek. Jadi, tukang
Semenjak acara syukuran tempohari, Mas Baska sudah tak lagi menyembunyikan statusnya pada siapapun. Rupanya hal itu berimbas pada kehidupan bertetangganya. Siapa lagi kalau bukan dengan Bu Wati dan Mbak Ning. Setelah keributan di kantor Mas Baska, membuat nuansa bertetangga pun menjadi tak nyaman. Bahkan Cahaya tak menolak ketika dirinya mengajak pindah rumah. Apalagi, Bu Rini sekarang sering datang dengan memberi yang meminta timbal baliknya. Memberi mainan seharga dua puluh lima ribuan, pulangnya minta uang katanya buat tambahan bayar arisan, tak banyak paling dua atau tiga ratus ribuan, tapi sering. Yang membuat Cahaya tak nyaman, Bu Rini pun selalu saja mengungkit jasanya ketika membantu mencarikan rumah itu, meskipun dari uang Cahaya semua yang bayarnya. Padahal dulu saja dia tak mau tahu lagi kehidupan Mas Baska mau seperti apa, bahkan hendak menjodohkannya dengan Mbak Ning. “Mau rumah yang seperti apa?” Mas Baska menatap Cahaya yang tengah mengaduk teh gula batu hangat untukny
Mbak Fiska sejak tadi mondar-mandir di dalam kamar. Ponsel Mas Fajri yang tak aktif membuatnya makin uring-uringan. Apalagi terbukti sudah alasan lembur yang diberikannya selama ini hanya sebuah kebohongan. “Gak ada yang lembur, Bu! Selama ini jarang sekali ada yang lembur pada saat weekend.” Keterangan dari security yang berjaga di tempat Mas Fajri bekerja benar-benar melukai perasaan Mbak Fiska. Dia pun menelpon Mas Baska karena jika Mas Fajri pergi bersama Cahaya pasti perempuan itu juga sedang tak ada di rumah.“Hallo, Assalamu’alaikum, Mbak!” “Baska, istri kamu ada di rumah gak?” Tak ada basa-basi, Mbak Fiska langsung saja pada inti persoalan. “Sedang pergi, Mbak. Bapak kambuh lagi semalam sakitnya.” “Jadi, istri kamu sejak malam gak pulang juga?” “Iya, Mbak. Nginep di rumah orang tuanya. Ada perlu apa cari Aya, Mbak?” “Anter Mbak ke sana sekarang! Kamu juga jangan mau dibeg*in istri kamu, Baska. Dia itu ada main sama Mas Fajri. Anter Mbak ke sana! Sekarang!” Panggilan pu
“Mas, kamu sedang apa di sana? Sama siapa? Jadi ini yang tiap bulan kamu bilang lembur? Lalu jika bukan Cahaya, siapa perempuan itu, Mas? Siapa?” lirih batin Mbak Fiska. Dia pun lekas membasuh wajah, setelah itu memesan taxi dan mengambil tas lalu beranjak pergi. “Kalau kamu beneran punya perempuan lain? Lalu, aku gimana, Mas?” isaknya sambil berdiri di depan rumah menunggu taxi yang akan datang menjemputnya. Taxi berwarna biru itu pun melaju menuju hotel yang dicurigai ada Mas Fajri di dalamnya. Sepanjang jalan, Mbak Fiska terus-menerus nangis. Rasa sakit itu entah kenapa menghujam terasa amat dalam. Taxi blue bird tersebut mengantarnya hingga pintu lobi hotel. Mbak Fiska turun setelah menyerahkan sejumlah uang untuk membayar. Dia mematung, bingung. Gimana caranya untuk mengetahui keberadaan Mas Fajri. Yakin sekali, pihak hotel pun tak akan memberitahu suaminya menginap di kamar nomor berapa? Hanya saja apa salahnya mencoba. Mbak Fiska pun menghampiri front office dan bertanya.“
Mas Baska tetap mengajarkan kehidupan bersahaja. Semenjak pindah ke lingkungan baru, fokusnya tak lagi terpecah belah. Konotasi rejeki, tak selamanya tentang uang itu benar. Memiliki tetangga yang saling menghargai dan menyemangati membuatnya lebih tenang dan nyaman. Selain itu, rupanya dari sana juga muncul beragam peluang. Dari Pak Abizar, tetangga sebelah kanan rumah, akhirnya Mas Baska masuk ke sebuah komunitas bisnis susu sapi perah yang terintregasi dengan kemenperin dan beberapa perusahaan ternama. Dirinya pun tak segan untuk melebarkan sayap dengan menginvestasikan uangnya di sana. Dia menjadi salah satu anggota koperasi yang membawahi sekitar 9000 ekor sapi yang menghasilkan puluhan sampai ratusan ton per hari di daerah Bandung Barat. Kini hal itu menjadi fokus keduanya. Meskipun untuk saat ini, porsinya masih terbilang tak banyak karena keterbatasan keuangan, tapi jalan sudah terbuka. Renacanya dari hasil keuntungan yang ada, Mas Baska tengah merancang agar investasinya men
Sementara itu, seorang perempuan dengan tubuh kurus tengah berteriak-teriak di dalam sebuah gudang. Ruangan itu berada di belakang sebuah villa yang berada di Bandung. Tiga bulan sudah, Mbak Fiska mendekam di sana. Hanya makanan dan minuman alakadarnya yang diberikan penjaga villa untuknya. Ruangan itu sepertinya bekas sebuah kamar, hanya saja dijadikan gudang sehingga satu jendela yang tersisa di sana pun dipatenkan. Namun untuk kamar mandi, masih bisa digunakan.“Pak, tolong! Keluarkan saya. Saya tidak gila!” teriak Mbak Fiska ketika penjaga villa itu masuk dan menyimpan makanan. “Maaf, Ibu. Mana ada orang gila yang ngaku. Pak Fajri jelas-jelas bilang, kalau Ibu dikeluarkan bisa membunuh orang!” Pria tinggi tegap itu melirik sinis. Lalu segera keluar lagi dan menutup pintu ruangan. “Yang gila itu bukan saya, Pak! Yang gila itu Fajri!” teriak Mbak Fiska untuk ke sekian kali. Beberapa kali mencoba kabur dari ruangan itu, tapi sia-sia. Kini tubuhnya sudah kurus dan kumal, benar-bena