Mas Fajri menatap perempuan dengan lingerie warna hitam yang tengah duduk di sofa dengan kaki menumpang. “Kapan kamu bisa menggaet Baska, Ren? Rasanya … sudah berbulan-bulan, tapi gak ada kemajuan.” Mas Fajri mematikan puntung rokok yang sudah tak lagi panjang dan membiarkan tergeletak di dalam asbak. “Susah, Mas. Aku sudah berusaha nawarin makanan ‘kan? Bela-belain beli dulu di restoran biar dia terkesan, sudah pake baju seksi juga, pas datang nganter, eh ngelihat batang hidungnya saja enggak. Yang ngambil makanannya nyuruh OB,” omel Rena.“Usaha lebih keras, dong, Sayang … katanya suka.” Mas Fajri mencebik. Geram juga melihat pergerakan Rena yang lambat seperti siput. “Ini juga lagi mikir lah, Mas. Kamu kira, dia kek kamu. Aku telepon langsung saja nyamber. Dia itu sepertinya tipe-tipe lempeng. Aku beberapa kali mengirim pesan selain promo makanan, tak ada sedikitpun dia respon.” Rena mendengus. “Coba yang lebih agresif dikit, Ren. Pura-pura jadi tukang pijat, kek. Jadi, tukang
Semenjak acara syukuran tempohari, Mas Baska sudah tak lagi menyembunyikan statusnya pada siapapun. Rupanya hal itu berimbas pada kehidupan bertetangganya. Siapa lagi kalau bukan dengan Bu Wati dan Mbak Ning. Setelah keributan di kantor Mas Baska, membuat nuansa bertetangga pun menjadi tak nyaman. Bahkan Cahaya tak menolak ketika dirinya mengajak pindah rumah. Apalagi, Bu Rini sekarang sering datang dengan memberi yang meminta timbal baliknya. Memberi mainan seharga dua puluh lima ribuan, pulangnya minta uang katanya buat tambahan bayar arisan, tak banyak paling dua atau tiga ratus ribuan, tapi sering. Yang membuat Cahaya tak nyaman, Bu Rini pun selalu saja mengungkit jasanya ketika membantu mencarikan rumah itu, meskipun dari uang Cahaya semua yang bayarnya. Padahal dulu saja dia tak mau tahu lagi kehidupan Mas Baska mau seperti apa, bahkan hendak menjodohkannya dengan Mbak Ning. “Mau rumah yang seperti apa?” Mas Baska menatap Cahaya yang tengah mengaduk teh gula batu hangat untukny
Mbak Fiska sejak tadi mondar-mandir di dalam kamar. Ponsel Mas Fajri yang tak aktif membuatnya makin uring-uringan. Apalagi terbukti sudah alasan lembur yang diberikannya selama ini hanya sebuah kebohongan. “Gak ada yang lembur, Bu! Selama ini jarang sekali ada yang lembur pada saat weekend.” Keterangan dari security yang berjaga di tempat Mas Fajri bekerja benar-benar melukai perasaan Mbak Fiska. Dia pun menelpon Mas Baska karena jika Mas Fajri pergi bersama Cahaya pasti perempuan itu juga sedang tak ada di rumah.“Hallo, Assalamu’alaikum, Mbak!” “Baska, istri kamu ada di rumah gak?” Tak ada basa-basi, Mbak Fiska langsung saja pada inti persoalan. “Sedang pergi, Mbak. Bapak kambuh lagi semalam sakitnya.” “Jadi, istri kamu sejak malam gak pulang juga?” “Iya, Mbak. Nginep di rumah orang tuanya. Ada perlu apa cari Aya, Mbak?” “Anter Mbak ke sana sekarang! Kamu juga jangan mau dibeg*in istri kamu, Baska. Dia itu ada main sama Mas Fajri. Anter Mbak ke sana! Sekarang!” Panggilan pu
“Mas, kamu sedang apa di sana? Sama siapa? Jadi ini yang tiap bulan kamu bilang lembur? Lalu jika bukan Cahaya, siapa perempuan itu, Mas? Siapa?” lirih batin Mbak Fiska. Dia pun lekas membasuh wajah, setelah itu memesan taxi dan mengambil tas lalu beranjak pergi. “Kalau kamu beneran punya perempuan lain? Lalu, aku gimana, Mas?” isaknya sambil berdiri di depan rumah menunggu taxi yang akan datang menjemputnya. Taxi berwarna biru itu pun melaju menuju hotel yang dicurigai ada Mas Fajri di dalamnya. Sepanjang jalan, Mbak Fiska terus-menerus nangis. Rasa sakit itu entah kenapa menghujam terasa amat dalam. Taxi blue bird tersebut mengantarnya hingga pintu lobi hotel. Mbak Fiska turun setelah menyerahkan sejumlah uang untuk membayar. Dia mematung, bingung. Gimana caranya untuk mengetahui keberadaan Mas Fajri. Yakin sekali, pihak hotel pun tak akan memberitahu suaminya menginap di kamar nomor berapa? Hanya saja apa salahnya mencoba. Mbak Fiska pun menghampiri front office dan bertanya.“
Mas Baska tetap mengajarkan kehidupan bersahaja. Semenjak pindah ke lingkungan baru, fokusnya tak lagi terpecah belah. Konotasi rejeki, tak selamanya tentang uang itu benar. Memiliki tetangga yang saling menghargai dan menyemangati membuatnya lebih tenang dan nyaman. Selain itu, rupanya dari sana juga muncul beragam peluang. Dari Pak Abizar, tetangga sebelah kanan rumah, akhirnya Mas Baska masuk ke sebuah komunitas bisnis susu sapi perah yang terintregasi dengan kemenperin dan beberapa perusahaan ternama. Dirinya pun tak segan untuk melebarkan sayap dengan menginvestasikan uangnya di sana. Dia menjadi salah satu anggota koperasi yang membawahi sekitar 9000 ekor sapi yang menghasilkan puluhan sampai ratusan ton per hari di daerah Bandung Barat. Kini hal itu menjadi fokus keduanya. Meskipun untuk saat ini, porsinya masih terbilang tak banyak karena keterbatasan keuangan, tapi jalan sudah terbuka. Renacanya dari hasil keuntungan yang ada, Mas Baska tengah merancang agar investasinya men
Sementara itu, seorang perempuan dengan tubuh kurus tengah berteriak-teriak di dalam sebuah gudang. Ruangan itu berada di belakang sebuah villa yang berada di Bandung. Tiga bulan sudah, Mbak Fiska mendekam di sana. Hanya makanan dan minuman alakadarnya yang diberikan penjaga villa untuknya. Ruangan itu sepertinya bekas sebuah kamar, hanya saja dijadikan gudang sehingga satu jendela yang tersisa di sana pun dipatenkan. Namun untuk kamar mandi, masih bisa digunakan.“Pak, tolong! Keluarkan saya. Saya tidak gila!” teriak Mbak Fiska ketika penjaga villa itu masuk dan menyimpan makanan. “Maaf, Ibu. Mana ada orang gila yang ngaku. Pak Fajri jelas-jelas bilang, kalau Ibu dikeluarkan bisa membunuh orang!” Pria tinggi tegap itu melirik sinis. Lalu segera keluar lagi dan menutup pintu ruangan. “Yang gila itu bukan saya, Pak! Yang gila itu Fajri!” teriak Mbak Fiska untuk ke sekian kali. Beberapa kali mencoba kabur dari ruangan itu, tapi sia-sia. Kini tubuhnya sudah kurus dan kumal, benar-bena
Mbak Fatma merasa lega ketika akhirnya Bu Rini pergi dari rumah. Dirinya yang memang terlalu perhitungan pun, merasa sangat terbebani dengan kehadiran Bu Rini yang selama tiga bulan kurang lebih tinggal di rumahnya. Apalagi gaya hidup Bu Rini yang tinggi sehingga uang bulanan yang diberikan oleh anak-anaknya selalu kurang. Apalagi Mbak Fiska yang seolah menyerahkan Bu Rini padanya begitu saja. Bahkan tak pernah lagi menelpon untuk sekadar menanyakan kabarnya. “Akhirnya uang aku aman, Pap.” Mbak Fatma tersenyum sumringah. Dia menatap ke arah depan sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan. “Lah memangnya selama ini gak aman kenapa?” Mas Arnold---suaminya bertanya. Tangannya masih fokus pada kemudi. “Mama tuh gak bisa lihat aku pegang uang agak banyak, langsung ada saja keinginannya. Mau ini, mau itu, bikin pusing.” Mbak Fatma mengomel. Mas Arnold menggeleng kepala. “Kamu juga waktu kecil gitu, Mam. Pasti bikin Mama kamu pusing. Lihat tuh Siska sama Saskia, sama juga kalau tahu kam
“Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,