Mendengar penuturan Bu Wati yang panjang lebar, membanggakan Ningtias---putrinya yang sarjana serta terindikasi memandang rendah Cahaya, sepasang mata Karina menatap tajam pada Bu Wati yang masih hendak bicara. “Mulut orang ini belum pernah di sekolahkan sepertinya,” batin Karina dengan tangan bersedekap dan menatap awas pada Bu Wati yang kembali hendak membuka mulutnya. “Saya dari dulu percaya kata-kata bijak yang mana menyebutkan suksesnya seorang suami itu adalah berkat sosok seorang perempuan yang berdiri di belakangnya. Nah berarti bangkrutnya seorang suami, itu juga karena perempuan yang ada di belakangnya. Kalau wawasannya gak luas, pergaulan udik, hanya modal cantik doang, nol besar lah nilainya. Harusnya kalau sudah seperti itu, sadar diri … apa masih pantes menyandang gelar istri.” Lagi-lagi, sudut mata Bu Wati melirik ke arah Cahaya. Seolah semua ucapannya untuk menyindir Cahaya. “Ini sebetulnya acara arisan atau apa, ya, Bu Rini? Harusnya ibu ngundang orang ke acara ar
Mbak Ning sudah berada di kantor milik Mas Baska. Sedikit terkejut ketika Mas Baska melihat kemunculannya. “Ning?” Mas Baska menatap ragu pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil online itu. “Pagi, loh Mas Baska? Kerja di sini juga? Saya dapat referensi dari Mbak Nency untuk interview di sini.” Mbak Ning terkejut melihat sosok yang dulu pernah hadir di hatinay itu kini ada di depan mata.“Oh Nency, ya? Iya saya kerja di sini juga. Oh mau interview, ya? Silakan nunggu di dalam.” Mas Baska mempersilakan Mbak Ning masuk.“Duh, kalau Ning tahu apa posisiku di sini, bisa gagal kejutanku buat Aya,” batin Mas Baska. Dilihtanya tanggalan dalam jam tangannya. Masih satu minggu lagi pada hari H. “Baru tanggal segini lagi,” batin Mas Baska seraya menatap tanggalan pada arloji yang dipakainya itu. Mas Baska lekas mencari Mbak Nency sang konsultant agency. Mbak nency membawahi juga rekrutment, pajak dan perijinan. Mas Baska lekas minta izin untuk tak join interview, sebagai gantin
Acara syukuran untuk perusahaan yang tengah mulai beroperasi yang Mas Baska rencanakan hampir tiba. Semua sudah terkoordinasi dengan baik. Acara akan dilaksanakan lusa sekitar jam sepuluh pagi mulainya. Hari ini, Mas Baska baru saja pulang dan disambut senyuman manis Cahaya. Diangsurkannya sebuah paper bag pada istri tercintanya yang menyambut dan segera mengambil tas kerja dari tangannya. “Dek, lusa dandan yang cantik, terus pakai baju ini, ya!” “Emang mau ke mana, Mas? Ini baju apa?” Cahaya memeriksa isi paper bag yang baru saja diberikan oleh Mas Baska. “Masya Allah, Mas … kok beli batik pedang, sih, Mas? Harganya bisa buat kita makan sebulan ini mah. Kenapa buang-buang uang sih, Mas? Padahal gak harus beli yang sebagus ini.” Cahaya menatap takjub pada baju batik yang sudah terkenal harganya dan tampak terlihat mewah itu. “Dibeliin kantor, Dek! Lusa pagi bersiap, ya! kita akan pergi sama-sama ada acara di tempat kerja Mas.” Mas Baska memilih duduk berselonjor setelah meraih sa
“Biar saya samperin, deh, Jeng! Malu-maluin banget sih mantu sampean! Orang disuruh pake dress code putih, malah batik! Aneh! Sudah gitu, kepedean juga malah duduk di paling depan! Apa kita tonton saja biar dia dipermalukan dan diomeli lelaki yang tadi,” kekeh Bu Wati seraya menertawakan Cahaya yang menurutnya salah kostum.“Ya sudah, sana.” Bu Rini hanya mendukung saja. Dirinya sendiri tak sampai hati menunjukkan sikap seperti itu di depan Mas Baska. Konsep Bu Rini, dia harus berada di tengah agar posisi selalu aman. Andai Mas Baska sukses, dia tak malu juga nantinya. Dulu pun sudah terbukti, Mas Baska begitu baik dan royal pada keluarga. Hanya saja, sekarang, dirinya memang butuh penopang. Dia tak tahu saja kalau Mas Baska punya saham di perusahaan dagang yang sekarang ini dihadiri acaranya. Bu Wati sudah mau bangkit ketika tangan Mbak Ning menahannya. “Ibu mau ke mana?” Sorot mata Mbak Ning yang tampak lelah itu menatap Bu Wati. “Sudah kamu diem saja di sini, Ning! Ibu ada urusa
Wajah Bu Wati yang sudah merah padam bertambah gusar. Dia menatap nyalang pada Karina, apalagi mendengar jika dia akan membatalkan perjanjian kerjanya Ningtias dengan perusahaan yang sama di mana Mas Baska bekerja. "Jadi dia beneran pemilik saham, ya? Duh kok bisa-bisanya malah jadi gini?" sesal Bu Wati dalam hati. Dia pun meronta meminta lepas dari tarikan dua tim keamanan itu.Mbak Ning sudah telanjur malu, dia segera menelpon Pak Yono yang tadi minta izin buat ngopi saja di parkiran bareng dengan beberapa supir. Mbak Ning meminta Pak Yono segera standby di depan gerbang. Mbak Ning menjelaskan secara singkat keributan yang sudah Bu Wati buat di dalam sana. “Astagaa, Ning. Mama kamu itu, bikin malu Bapak saja.” Pak Yono geleng-geleng kepala. Namun dia pun lekas membawa mobil ke area gerbang di dekat pos security dan menunggu di sana. Bu Rini yang mendengar inti sari dari huru-hara tersebut, cukup kaget ketika mendengar jika yang mengenakan batik itu para pemilik saham. Dia membiar
Mas Fajri menatap perempuan dengan lingerie warna hitam yang tengah duduk di sofa dengan kaki menumpang. “Kapan kamu bisa menggaet Baska, Ren? Rasanya … sudah berbulan-bulan, tapi gak ada kemajuan.” Mas Fajri mematikan puntung rokok yang sudah tak lagi panjang dan membiarkan tergeletak di dalam asbak. “Susah, Mas. Aku sudah berusaha nawarin makanan ‘kan? Bela-belain beli dulu di restoran biar dia terkesan, sudah pake baju seksi juga, pas datang nganter, eh ngelihat batang hidungnya saja enggak. Yang ngambil makanannya nyuruh OB,” omel Rena.“Usaha lebih keras, dong, Sayang … katanya suka.” Mas Fajri mencebik. Geram juga melihat pergerakan Rena yang lambat seperti siput. “Ini juga lagi mikir lah, Mas. Kamu kira, dia kek kamu. Aku telepon langsung saja nyamber. Dia itu sepertinya tipe-tipe lempeng. Aku beberapa kali mengirim pesan selain promo makanan, tak ada sedikitpun dia respon.” Rena mendengus. “Coba yang lebih agresif dikit, Ren. Pura-pura jadi tukang pijat, kek. Jadi, tukang
Semenjak acara syukuran tempohari, Mas Baska sudah tak lagi menyembunyikan statusnya pada siapapun. Rupanya hal itu berimbas pada kehidupan bertetangganya. Siapa lagi kalau bukan dengan Bu Wati dan Mbak Ning. Setelah keributan di kantor Mas Baska, membuat nuansa bertetangga pun menjadi tak nyaman. Bahkan Cahaya tak menolak ketika dirinya mengajak pindah rumah. Apalagi, Bu Rini sekarang sering datang dengan memberi yang meminta timbal baliknya. Memberi mainan seharga dua puluh lima ribuan, pulangnya minta uang katanya buat tambahan bayar arisan, tak banyak paling dua atau tiga ratus ribuan, tapi sering. Yang membuat Cahaya tak nyaman, Bu Rini pun selalu saja mengungkit jasanya ketika membantu mencarikan rumah itu, meskipun dari uang Cahaya semua yang bayarnya. Padahal dulu saja dia tak mau tahu lagi kehidupan Mas Baska mau seperti apa, bahkan hendak menjodohkannya dengan Mbak Ning. “Mau rumah yang seperti apa?” Mas Baska menatap Cahaya yang tengah mengaduk teh gula batu hangat untukny
Mbak Fiska sejak tadi mondar-mandir di dalam kamar. Ponsel Mas Fajri yang tak aktif membuatnya makin uring-uringan. Apalagi terbukti sudah alasan lembur yang diberikannya selama ini hanya sebuah kebohongan. “Gak ada yang lembur, Bu! Selama ini jarang sekali ada yang lembur pada saat weekend.” Keterangan dari security yang berjaga di tempat Mas Fajri bekerja benar-benar melukai perasaan Mbak Fiska. Dia pun menelpon Mas Baska karena jika Mas Fajri pergi bersama Cahaya pasti perempuan itu juga sedang tak ada di rumah.“Hallo, Assalamu’alaikum, Mbak!” “Baska, istri kamu ada di rumah gak?” Tak ada basa-basi, Mbak Fiska langsung saja pada inti persoalan. “Sedang pergi, Mbak. Bapak kambuh lagi semalam sakitnya.” “Jadi, istri kamu sejak malam gak pulang juga?” “Iya, Mbak. Nginep di rumah orang tuanya. Ada perlu apa cari Aya, Mbak?” “Anter Mbak ke sana sekarang! Kamu juga jangan mau dibeg*in istri kamu, Baska. Dia itu ada main sama Mas Fajri. Anter Mbak ke sana! Sekarang!” Panggilan pu