Setibanya di apartemen, Karina langsung menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk yang masih rapi dengan seprai warna putih. Bantal, selimut tebal terlipat diatas bantal. “Ya ampuun, ternyata punya kakak itu belum tentu enak, ya … buktinya orang tua sama kakaknya Mas Baska toxic semua. Harus disemprot biar racunnya hilang. Jadi target pertamaku itu mentraining Mbak Aya. Mari, Mbak Aya … kita buat para toxic itu mati kutu.” Gadis berponi itu menatap langit-langit bercat putih lalu menghela napas kasar. Lalu dia memejamkan mata, sore sudah menjelang. Cahaya, Baska dan Kirana sudah pulang. Meskipun, Kiran tadi sepertinya ingin menginap, tapi Cahaya melaranganya. Matanya terpejam, tapi tak bisa tidur. Otak dan hatinya berkelana entah ke mana. Tiba-tiba saja teringat wajah Mas Fajri yang sangat mirip dengan lelaki pujaannya. “Ah iya, aku mau kepon akun IG nya dia.” Karina segera mengambil benda pipih berlambang apel kroak miliknya. Lalu segera berselancar mengintip akun Bang Fajar yang
“Ayamnya setengah kilo, Mang, taugenya satu, tauconya dua, kelapa parut, lengkuas, cumi asin, cabe hijau, tomat, sama ini sayur asem.” Cahaya memasukkan barang-barang belanjaan yang diambilnya dari dorongan gerobak tukang sayur sambil menyebutkannya. Penjual sayur itu menyebutkan sejumlah nominal, lalu Cahaya membayarnya. “Mari Mbak,” tukasnya seraya mendorong gerobak sayurnya. Cahaya mengangguk. Baru saja Cahaya hendak masuk ke dalam, sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berseberangan. Rumah yang lebih mewah. Seorang gadis cantik turun diikuti seorang perempuan paruh baya. “Baru pulang, Bu Wati! Mbak Ning!” Cahaya menganggukkan kepala, menyapa Bu Wati---istrinya Pak Yono yang bekerja sebagai pegawai pemda. Rumah besar itu dihuni oleh Bu Wati, Pak Yono dan Mbak Ning, gadis yang sebetulnya sudah cukup umur tapi belum nikah juga sampak sekarang. Bu Wati hanya melirik sekilas dengan wajah judes, sudah biasa. Hanya saja Mbak Ning mengangguk. “Iya Mbak Aya.” Lalu mereka masuk ke
[Selamat siang! Salam kenal, saya seorang Ibu rumah tangga. Suami saya mengalami kebangkrutan usaha. Saya butuh tambahan dana. Jika Bapak/Ibu ada rejeki berlebih, silakan kontak nomor ini untuk pemesanan makanan box. Terima kasih.] Mas Baska menatap sederet pesan yang masuk ketika sedang meeting tadi dari nomor baru. Awalnya sempat hendak mengabaikan. Namun melihat alasan yang berjualan, tiba-tiba dia teringat Cahaya. Dia pun akan bahagia jika ketika dia susah ada yang membantu istrinya. Akhirnya Mas Baska menyimpan nomor itu, sesekali kalau sedang tak sempat pulang bisa pesan delivery. Meeting ditunda pas jam makan siang. Mbak Nency merapikan pakaiannya dan bangun. Lalu matanya yang memakai bulu mata lebat, mengerjap. “Ahm, kita makan siang di mana sekarang?” Ditatapnya wajah tampan Mas Baska yang masih fokus pada gawai.“Kita ke saung lesehan saja, ada yang baru buka di dekat kantor marketing gallery. Rame terus tiap hari.” Bang Fajar yang menimpali. Karina tak menyia-nyiakan kes
Mas Baska keluar dari mobil. Senyumnya sudah terkulum. Tak sabar ingin mencicipi masakan spesial Cahaya yang katanya membuatkannya oseng cumi cabe hijau. Namun, baru saja hendak melangkah masuk, terdengar suara seseorang memanggilnya dari arah belakang. “Baska, sudah pulang? Saya cariin dari tadi.” Suara seorang perempuan membuat Mas Baska menoleh. “Eh Bu Wati. Iya, Bu.” Mas Baska menjawab seraya menutupkan pintu mobilnya. “Mampir ke rumah, Bas. Dicariin Pak Yono.” Bu Wati bicara sambil tersenyum.“Sudah pulang dinas luar kotanya, Bu?” Mas Baska masih berdiri menunggu Bu Wati pergi. “Duh, coba, tampan banget kayak gitu, makanya si Ning gak bisa move on,”batin Bu Wati menatap Mas Baska penuh kekaguman. Dalam pikirannya membayangkan senyuman lebar Ning yang tampak cerah ketika bersanding dengan Mas Baska di pelaminan.Mas Baska bingung, yang diajak bicaranya malah bengong dan senyum-senyum sendiri. Lalu dia menganggukkan kepala dan permisi pergi. “Saya ke dalam dulu, Bu Wati! Permi
Bunyi spatula dan wajan beradu setelah menyelesaikan menggoreng bawang untuk topping nanti. Wajah Karina sedikit pucat. Sejak tadi dia muntah-muntah karena mencium bau amis udang dan ikan yang dibelinya di pasar. Bang Fajar bilang, dia menyukai semua jenis olahan ikan dan seafood, paling suka kepiting, katanya. Hanya saja, untuk percobaan, Karina memutuskan untuk membeli ikan gurame dan udang dulu. Ikannya sudah minta disiangi ke penjualnya di pasar tadi, beruntung penjual itu mau. Pulang ke apartemen, Karina hanya tinggal mencucinya saja. Sementara itu, udang dengan ukuran jumbo tersebut belum disentuhnya. Cangkangnya yang keras, belum dia kelupasin karena keburu mabuk bau amis ikan yang sudah selesai di cucinya. Sesekali netranya bralih ke layar gawai yang dipasangnya menggunakan mini. Di sana dia sedang menonton tutorial membuat ikan gurame goreng yang menurutnya paling mudah. Karina pun membeli beberapa peralatan tradisional juga karena di apartemen hanya ada alat-alat modern
“Stop! Stop! Stop!” Karina meminta mobil yang tengah dikendarai mereka berhenti. Mas Baska menoleh pada gadis yang duduk di bangku belakang itu.“Apa lagi?” Alisnya terangkat, matanya memicing pada Karina. Tak banyak bicara, Karina langsung membuka pintu mobil. “Bye, Mas Baska!” Karina melambaikan tangan pada Mas Baska seraya membetulkan tas gendongnya yang kali ini berisi nasi dan sambal udang yang pagi tadi dibuatnya bareng Cahaya. “Hey, kenapa turun di sini?” Mas Baska menurunkan kaca mobil dan menatap heran pada gadis tomboy itu.“Pengen.’ Jawaban singkat Karina seraya berjalan menjauhi mobil Mas Baska lalu duduk di halte. Klakson yang terdengar membuat Mas Baska memilih menggerakkan mobilnya karena menyumbat laju jalanan. Sementara itu, Karina duduk santai dan mengeluarkan gawai. Seperti biasa, setiap pagi dan sore dia akan masuk ke akun sosial medianya.[Assalamu’alaikum!] [Wa’alaikumsalam!] Dua kata itu berderet-deret saling berganti. Ketika Karina tanya hal lain, pasti
“Astagaaa … ini masakan atau air laut?” Bang Fajar berhenti mengunyah. Aroma terkejut tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Sementara itu, Karina yang duduk di depannya memandangnya lekat sambil senyum-senyum. Dia masih menunggu pujian yang diharapkan terlontar dari mulut Bang Fajar. “Sepertinya dia suka banget masakan aku, sayangnya besok aku gak masuk kerja karena harus nganter Mbak Aya ke rumah Ibu Mertuanya … hmmm gimana, ya? Kok aku gak rela kalau Mbak Nency yang bawain makanan buat dia. Mana sepertinya dia beli pun, bukan masak. Hish, gak fair.” “Cobain yang ini juga, Mas.” Mbak Nency memindahkan satu potong fried chicken untuk Mas Fajar. “Hmmm … oke. Thanks, ya.” Bang Fajar segera menggigit potongan ayam itu untuk menetralisir rasa asin yang membuat lidah bahkan merasa tak nyaman. “Rasanya lumayan, tapi kayak enggak fresh, ini ada yang gosong-gosongnya, jadi pahit. Hanya saja lebih baik dari pada sambal udang rasa air lautnya Karina.” Bang Fajar mengunyah dengan sedikit leb
Mendengar penuturan Bu Wati yang panjang lebar, membanggakan Ningtias---putrinya yang sarjana serta terindikasi memandang rendah Cahaya, sepasang mata Karina menatap tajam pada Bu Wati yang masih hendak bicara. “Mulut orang ini belum pernah di sekolahkan sepertinya,” batin Karina dengan tangan bersedekap dan menatap awas pada Bu Wati yang kembali hendak membuka mulutnya. “Saya dari dulu percaya kata-kata bijak yang mana menyebutkan suksesnya seorang suami itu adalah berkat sosok seorang perempuan yang berdiri di belakangnya. Nah berarti bangkrutnya seorang suami, itu juga karena perempuan yang ada di belakangnya. Kalau wawasannya gak luas, pergaulan udik, hanya modal cantik doang, nol besar lah nilainya. Harusnya kalau sudah seperti itu, sadar diri … apa masih pantes menyandang gelar istri.” Lagi-lagi, sudut mata Bu Wati melirik ke arah Cahaya. Seolah semua ucapannya untuk menyindir Cahaya. “Ini sebetulnya acara arisan atau apa, ya, Bu Rini? Harusnya ibu ngundang orang ke acara ar