Menginap semalam di rumah Mas Baska membuat Karina paham seperti apa kehidupan Cahaya selama Mas Baska tinggalkan ke Surabaya. Rumah yang kecil, perabotan seadanya serta menu-menu sederhana yang Cahaya sajikan membuat Karina menaruh satu kesimpulan, Cahaya memang perempuan sederhana dan tak neko-neko. “Kakak, hari ini ke apartemen kakak, ya?” Kiran menatap wajah Karina yang masih muka bantal. Dia masih terkantuk-kantuk ketika Kiran membangunkannya untuk sarapan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Rambutnya diikat asal, dia masih menguap berulang kali dan menggeliat kanan kiri. “Iya, tanya Om-Om itu saja, tuh! Mau gak nganterin Kakak hari ini!” Karina menoleh pada Mas Baska yang tampak masih mengeringkan keringat. Dia baru saja pulang jogging. Kaos tipisnya tampak basah oleh peluh. Mas Baska tengah melemaskan otot-otot kakinya dan duduk berselonjor. “Ayah?” Kiran langsung menoleh pada Mas Baska. “Iya, nanti sekalian kita main ke mall, ya! Kak Karin mau trakt
Mbak Fiska memutar bola mata ke atas. Lalu menarik satu sudut bibirnya meremehkan. “Mama, Mama … baru dengar cerita Mbak Fatma doang udah sampe segitunya! Kalau ternyata Baska itu padahal cuma lagi belanja disuruh bosnya, gigit jari, deh!” kekeh Mbak Fiska.Bu Rini terdiam sebentar. Ada benarnya juga apa yang Mbak Fiska bilang. Dia menggigit bibirnya sambil berpikir, “Duh, gimana, ya? Tapi tadi foto yang dikirim Fatma kayak gak lagi pakai seragam, deh! Kalau belanja buat kantor gitu disuruh orang, harusnya pake seragam!” Mbak Fiska mencebik melihat perubahan raut wajah Bu Rini. Lalu dia mencomot oseng cumi cabe hijau kesukaan Mas Baska yang sudah tersaji di atas meja. “Gak usah terlalu seneng dulu, Ma! Nanti kecewa,” kekeh Mbak Fiska seraya ngeloyor pergi meninggalkan Bu Rini yang masih sibuk dengan pikirannya. “Tapi tadi Baska gak pakai seragam kok, Fiska. Berarti dia belanja untuk dirinya sendiri, bukan buat kantor!” Bu Rini akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya. Dia hanya membutuh
Jiwa muda Karina memberontak. Rasanya kesal sekali dengan sikap tak baik Mbak Fiska. Akhirnya dia berdiri di ambang pintu sambil bersandar pada tembok. Tangannya sibuk mengusap-usap layar gawai yang sebenarnya tak ada apa-apanya, pura-pura saja biar gak kelihatan mau melakukan sabotase. Tepat ketika dua kakak beradik itu berjalan mendekat, Karina menjulurkan kakinya. Brugh!“Awww!” Mbak Fiska terjatuh ketika kakinya tersangkut pada kaki Karina. Karina segera menarik kakinya dan berpura-pura ikutan kaget. “Astagaaa!” Karina memekik, lalu berkata“Yes,” lanjutnya dalam hati sambil melenggang pergi. “Mbak, kamu kenapa, sih?” Mbak Fatma menatap kakaknya yang meringis, lututnya menghantam lantai dan cukup nyeri. Untung tubuh Mbak Fiska tak seberat bobot tubuh Mbak Fatma, hingga lantai yang tertimpanya masih baik-baik saja. “Sepertinya tersandung, tapi gak tahu ini nyangkut sama apa? Sama kaki setan kali, ya?” Mbak Fiska melirik ke arah Karina yang sudah berjalan tak acuh menghampiri Ma
“Rupanya tak selamanya peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah benar, atau Mas Baska saja yang jatuh dari pohon buah tetangga,” kekeh Karina seraya melengos pergi. “Hey, apa maksud kamu?” pekik Bu Rini tak terima. Karina berhenti, wajahnya merengut dan matanya menatap tajam pada Bu Rini. “Hmmm … gak ada maksud apa-apa, kok.” Dia berucap santai setelah melirik Mas Baska yang mengisyaratkannya untuk diam. Lalu wajahnya yang tadi merengut, berubah datar kembali. Suasana makan siang terasa semakin tak nyamna.“Ma, Kiran pengen pipis.” Cahaya bangun, lalu menoleh pada Bu Rini dan berkata, “Ikut ke toilet sebentar, ya, Ma.”Rasanya masih asing, perubahan sikapnya yang drastis selama empat tahun membuat kebaikan semu hari ini terasa amat janggal bagi Cahaya. Bu Rini hanya mengangguk. Mas Baska baru hendak bangkit ketika Bu Rini bicara, “Baska, apa kamu gak pergi merantau lagi saja? Mungkin cari kerjaan di sini akan susah, mengingat kasus kamu yang dulu itu.” “Akan kupikirka
Setibanya di apartemen, Karina langsung menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk yang masih rapi dengan seprai warna putih. Bantal, selimut tebal terlipat diatas bantal. “Ya ampuun, ternyata punya kakak itu belum tentu enak, ya … buktinya orang tua sama kakaknya Mas Baska toxic semua. Harus disemprot biar racunnya hilang. Jadi target pertamaku itu mentraining Mbak Aya. Mari, Mbak Aya … kita buat para toxic itu mati kutu.” Gadis berponi itu menatap langit-langit bercat putih lalu menghela napas kasar. Lalu dia memejamkan mata, sore sudah menjelang. Cahaya, Baska dan Kirana sudah pulang. Meskipun, Kiran tadi sepertinya ingin menginap, tapi Cahaya melaranganya. Matanya terpejam, tapi tak bisa tidur. Otak dan hatinya berkelana entah ke mana. Tiba-tiba saja teringat wajah Mas Fajri yang sangat mirip dengan lelaki pujaannya. “Ah iya, aku mau kepon akun IG nya dia.” Karina segera mengambil benda pipih berlambang apel kroak miliknya. Lalu segera berselancar mengintip akun Bang Fajar yang
“Ayamnya setengah kilo, Mang, taugenya satu, tauconya dua, kelapa parut, lengkuas, cumi asin, cabe hijau, tomat, sama ini sayur asem.” Cahaya memasukkan barang-barang belanjaan yang diambilnya dari dorongan gerobak tukang sayur sambil menyebutkannya. Penjual sayur itu menyebutkan sejumlah nominal, lalu Cahaya membayarnya. “Mari Mbak,” tukasnya seraya mendorong gerobak sayurnya. Cahaya mengangguk. Baru saja Cahaya hendak masuk ke dalam, sebuah mobil berhenti di depan rumah yang berseberangan. Rumah yang lebih mewah. Seorang gadis cantik turun diikuti seorang perempuan paruh baya. “Baru pulang, Bu Wati! Mbak Ning!” Cahaya menganggukkan kepala, menyapa Bu Wati---istrinya Pak Yono yang bekerja sebagai pegawai pemda. Rumah besar itu dihuni oleh Bu Wati, Pak Yono dan Mbak Ning, gadis yang sebetulnya sudah cukup umur tapi belum nikah juga sampak sekarang. Bu Wati hanya melirik sekilas dengan wajah judes, sudah biasa. Hanya saja Mbak Ning mengangguk. “Iya Mbak Aya.” Lalu mereka masuk ke
[Selamat siang! Salam kenal, saya seorang Ibu rumah tangga. Suami saya mengalami kebangkrutan usaha. Saya butuh tambahan dana. Jika Bapak/Ibu ada rejeki berlebih, silakan kontak nomor ini untuk pemesanan makanan box. Terima kasih.] Mas Baska menatap sederet pesan yang masuk ketika sedang meeting tadi dari nomor baru. Awalnya sempat hendak mengabaikan. Namun melihat alasan yang berjualan, tiba-tiba dia teringat Cahaya. Dia pun akan bahagia jika ketika dia susah ada yang membantu istrinya. Akhirnya Mas Baska menyimpan nomor itu, sesekali kalau sedang tak sempat pulang bisa pesan delivery. Meeting ditunda pas jam makan siang. Mbak Nency merapikan pakaiannya dan bangun. Lalu matanya yang memakai bulu mata lebat, mengerjap. “Ahm, kita makan siang di mana sekarang?” Ditatapnya wajah tampan Mas Baska yang masih fokus pada gawai.“Kita ke saung lesehan saja, ada yang baru buka di dekat kantor marketing gallery. Rame terus tiap hari.” Bang Fajar yang menimpali. Karina tak menyia-nyiakan kes
Mas Baska keluar dari mobil. Senyumnya sudah terkulum. Tak sabar ingin mencicipi masakan spesial Cahaya yang katanya membuatkannya oseng cumi cabe hijau. Namun, baru saja hendak melangkah masuk, terdengar suara seseorang memanggilnya dari arah belakang. “Baska, sudah pulang? Saya cariin dari tadi.” Suara seorang perempuan membuat Mas Baska menoleh. “Eh Bu Wati. Iya, Bu.” Mas Baska menjawab seraya menutupkan pintu mobilnya. “Mampir ke rumah, Bas. Dicariin Pak Yono.” Bu Wati bicara sambil tersenyum.“Sudah pulang dinas luar kotanya, Bu?” Mas Baska masih berdiri menunggu Bu Wati pergi. “Duh, coba, tampan banget kayak gitu, makanya si Ning gak bisa move on,”batin Bu Wati menatap Mas Baska penuh kekaguman. Dalam pikirannya membayangkan senyuman lebar Ning yang tampak cerah ketika bersanding dengan Mas Baska di pelaminan.Mas Baska bingung, yang diajak bicaranya malah bengong dan senyum-senyum sendiri. Lalu dia menganggukkan kepala dan permisi pergi. “Saya ke dalam dulu, Bu Wati! Permi