"Ada apa janda kembang itu datang kesini?" Gumamnya bangkit seraya meraih koko serta sorban yang menggantung di hanger. Setelah semuanya terpasang rapi, dan menampakkan ia seperti seorang Gus_panggilan yang dilekatkan oleh orang lain padanya. Ia membuka pintu kamar setelah mengambil sebuah kalung tasbeh sebagai hiasannya.Suasana di ruang tamu cukup sejuk dengan AC yang menyala di ukuran sedang. Namun, tidak untuk semua keluarga H. Karim. Panik bercampur dengan takut. Sejuk diruang tamu, tapi tidak di ruang hati dari masing-masing mereka. Bukan takut akan ancaman yang akan di lontarkan oleh Ustadz Hameed. Melainkan mereka merasa bersalah dan takut malah saat ini akan menjadi detik-detik terakhir persahabatan mereka."Selamat datang di rumah kami!" Sambut Gus Faruq menyalami tangan H. Karim, sedangkan untuk ketiga wanita yang berjejer di sampingnya hanya menangkupkan kedua tangannya, sebagai isyarat."Teri
"Tunggu!" Sebuah suara yang tak lain dari Ummu Rasyidah mengehentikan Aisha yang hendak menyalami tangan sang ayahanda."Ummi?" Lirih Aisha pilu saat sang ibunda berjalan ke arah kumpulan mereka.Ustadz Harun dan ummi Inayah saling lirik. Keduanya saling faham meskipun terdiam .Sedangkan H Karim. Sebuah senyuman pilu terlukiskan dari bibirnya. Sesekali ia mengusap wajahnya yang basah dengan sorban yang ia kenakan."Kau tak perlu pergi, Nak!" Ummi Rasyidah memegang wajah ayu Aisha. "Kita akan pergi bersama,"Ummi Rasyidah mengedarkan pandangannya pada semua yang hadir. Ia menyeka sudut mata yang masih basah. "Kita lebih baik katakan yang sejujurnya pada Gus Faruq,""Ummi benar. Kita tak perlu terfokus pada satu titik saja," Timpal ummi Inayah menguatkan ucapan Ummi Rasyidah."Tapi, bagaimana jika keluarga itu menagih janji yang tertulis
Arash mengguyur seluruh tubuhnya dengan air menenangkan dari shower. Sesungguhnya, andai orang lain tahu. selama ia melakukan hubungan intim dengan siapapun. Tak pernah merasakan tenang dan bahagia, Semuanya hanya atas dasar dendam dan pelampiasan pada ibunya yang entah dimana. Arash selalu membayar mahal para wanita manapun yang telah ia ajak bercinta. Dalam beberapa tahun ini, entah berapa ia menjamah gadis yang masih perawan. Namun, semuanya nampak hampa. dan tak satupun yang berhasil mengambil hati Arash. Saat ia menikmati setiap guyuran air yang seolah mengikis rasa marahnya, tiba-tiba pintu di ketuk dengan tergesa. Pertanda bahwa preman telah bersiap."Fuck!" Umpatnya.Arash segera menyudahi ritual mandinya yang sebenarnya hanya digunakan untuk menerawang diri ke masa lalu. Akibat banyak dosa sehingga ia tidak lagi percaya pada dirinya sendiri. Terlebih, Aisha kini tak ada kabar sama sekali. Pun
"Aku akan menemui Mas Arash!" Gumamnya penuh percaya diri. Ia segera seka air mata yang berlinang, tak ingin jadi wanita yang lemah."Apa kamu yakin, Nak?" tanya H. Karim langsung melepaskan genggaman tangannya, beralih menatap putrinya penuh pertanyaan.Aisha, wanita yang menggunakan niqab itu tersenyum, meskipun senyuman itu tak terlihat karena bibir manis itu berada dibalik kain tipisnya. "Mas Arash harus tahu Aisha tengah mengandung benihnya, Ayah. Aisha yakin dia akan sangat bahagia,"Ya, wanita itu optimis. Fikiran Aisha melayang beberapa hari yang lalu. Dimana, kata cinta itu terucap lembut dari bibir lelaki yang telah lama bersemayam di hati wanita itu. Ucapan yang menembus hingga ke jantung dan menetap melekat disana hingga meninggalkan bunga-bunga cinta yang indah bermekaran. Dan, ia yakin. Kabar kehamilannya akan menjadikan dia kembali bersatu dengan orang yang dicintai, serta bisa menjalankan perintah sang gur
Aisha menitikan mata saat melihat apa yang di sodorkan oleh lelaki yang bertugas menjaga rumah, tempat tinggal yang pernah memiliki kisah dengan Arash beberapa minggu yang lalu."Ini...?" Lirihnya seraya terisak, tak sanggup melanjutkan kata yang seolah tercekat di tenggorokan. Dengan berat, membuka lembaran putih digenggamnya. "Apa...ma-maksud se-sem-ua ini, Pak..?"Aisha masih berusaha untuk menahan gejolak di dada, demi sebuah jawaban dari sang penjaga. H. Karim yang melihat itu, langsung meraih kertas di tangan Aisha."Itu surat dari bang Arash, Pak. Dia menitipkan surat-surat berharga tentang restaurant yang ia hibahkan untuk nyonya Aisha. Dia, meminta Hubungi nomor dalam surat itu untuk informasi lebih lanjut!" Dengan debaran tak karuan, satpam itu menjelaskan.Aisha, seketika tubuhnya serasa ambruk dan lemas seolah tak bertulang. Dunia seakan runtuh dan menimpa hanya dirinya seorang.
"Maksudmu?" Tanya yang begitu terhenyak terucap dari bibir Aisha."Ya, Anna tahu teh. Sebenarnya, sikap Rum bisa dikatakan lancang, Rumanah berbalik, menatap Aisha dengan seksama. "Masih ada beberapa waktu untuk mempertimbangkan keputusan ini, Teh!"Aisha, ia mengerjapkan mata sesaat. Meskipun, apa yang terucap dari mulut Rumanah ada benarnya, Arash tak tahu entah dimana rimbanya. Tapi, tekanan Gus Faruq yang tak menginginkan mengurus anak dari pria lain, membuat wanita berbulu mata lentik itu membulatkan tekad, bahwa tetap akan bersikukuh pada keputusannya yang semula."Tetaplah menikah dengannya, Rum. Cintamu layak berlabuh pada makhluk," gumam Aisha pelan dengan patah-patah. "Anna yakin, dia bisa membimbingmu ke jalan syurga!""Tapi, bagaimana dengan bayi di rahimmu? Ia butuh sosok ayah," Sebelum mengangguk sempurna. Rumanah sengaja mempertanyakan agar tindakannya tidak salah.Ais
"Semoga saja, setelah ini tidak ada kejadian yang tak terduga. Apa Perlukah aku selidik?" Aula yang semula dihiasi dengan kerumunan banyak orang. Kini mulai sedikit senggang. Waktu selanjutnya menuju sesi ramah tamah para tamu. Pernikahan yang memang mendadak ini dilakukan cukup meriah, Grup Hadroh yang bertugas menyambut para tamu, diambil dari pesantren ini sendiri. Pun, yang datang bukan hanya para ustadz. Melainkan para pejabat dan pembisnis hebat."Kau senang kan dengan pernikahan ini?" Sindir ummi Nayla yang tidak sengaja berselingan, sambil menatap sinis pada Aisha. "Ini kan yang kau inginkan, hai wanita shalehah?""Tidak, Ummi. Aisha sama sekali tidak berniat dan tidak bahagia dengan semua ini," sanggah Aisha cepat. Suaranya kian serak karena sedari tadi menahan tangis yang semakin terisak. Bukan menangisi pernikahan Gus Faruq dan Rumanah. Ia, hanya menangisi nasib dirinya yang malang.
"Menurut saya...." Sang Rois menggantung ucapannya. Malu, karena telah mendahului gurunya yang belum mengatakan pendapat."Mohon maaf, pak kyai! Saya takut salah!" Undur Qomarudin membatalkan ucapannya. "Kita hanya manusia, Qomar!" Sahut kyai Samsul dengan lembut seraya melirik ke arah lelaki yang menjabat sebagai Rais. Kemudian ia menoleh kembali pada lelaki bertato yang ia temui dini hari dalam sumur."Kamu lelaki yang bertekad datang ke tempat ini, untuk membersihkan dirimu dari noda-noda hitam Kehidupan, dan ingin kembali ke jalan yang benar, Nak!" Tutur ustadz Samsul dengan bijaksana. Ia menatap penuh harap pada lelaki gondrong dan bertato yang berada tepat di hadapannya.Apa? Seketika Arash merasa lemas. Kenapa kyai di hadapannya mengatakan hal yang sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan?Arash, betapa seperti ada sebilah pisau yang menggores ulu hatinya. Ia, lelaki yang hendak membunuh,