Ketika tubuh lelaki yang duduk tak bergerak itu, tiba-tiba rubuh dan hampir terjatuh pada lantai, membuat Aisha seketika memekik histeris."Ayaaaaaaaah!"Tangisan histeris Aisha menggema ke seluruh ruangan. Tangan bergetar itu menggoyang-goyangkan tubuh sang ayahanda yang sudah kaku dan pucat serta sedikit memutih tapi bercahaya."Ayah, Maafkan Aisha ayah!" Ratap wanita yang menggunakan niqab itu dengan tangisan pilu. Tangannya memeluk tubuh manusia yang ternyata sudah tidak bernyawa itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Aisha, Ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini? Ayah mengatakan bahwa Aisha harus kuat, tapi kenapa ayah pergi? Ayah benci Aisha?"Tenggelam dalam tangisan akan kesalahan dan kehilangan, Tiba-tiba sebuah tangan menarik jilbab Aisha sehingga wajah wanita itu tercekat dan kepalanya menengadah."Semua ini gara-gara kamu, Aisha!"Plak!Satu tam
"Tidak tahu, bang. Tapi perlu abang tahu bahwa nyonya Aisha...""Kenapa dia?" Sewot Arash tak sabar."Aisha hamil, Bang!""Apa?" Pekikan Arash membuat beberapa santri yang berada di kobong itu spontan menoleh. "H-ha-hamil?" Tegas Arash lagi dengan tangan menutup mulut. Tak kuasa mendengar berita yang begitu istimewa ini."Iya, Bang! Mereka datang dan mempertanyakan keberadaan Abang," Jawab Tomo dari sebrang telepon. "Saya mendapatkan berita ini dari Ucok, karena dia berharap dapat kabat keberadaan boss lewat saya!"Arash terdiam, ia masih mencerna kabar yang membuat seperti ada ribuan cahaya pelangi di matanya. Namun, masih terhalang kabut keraguan dan malu diri."Kami ingin berkumpul dengan Abang, Abang dimana sekarang?" Setelah lama diam, akhirnya pertanyaan itu terlontar dari Tomo, sehingga hatinya berharap akan sedikit mendapatkan kabar tentang lelaki yang selama ini jadi tuannya. "Boss baik-baik saja!""Tak perlu tahu dimana keberadaan gue, dan Jangan ragukan gue, gue disini ba
"Silakan duduk dulu, Ummi!" Perintah Faruq dengan sopan. "Darimana ummi dan Aby tahu tempat tinggal Faruq ini?"Saat ummi Nayla akan menjawab. Tiba-tiba Sorot matanya menangkap dua wanita yang berdiri seperti mengintip ke arahnya."Mereka siapa, Nak?""Mereka siapa?" tanya Gus Faruq pura-pura tidak tahu."Itu, mereka yang berdiri di balik pintu!" Tunjuk ummi Nayla dengan diikuti tatapan oleh Faruq, Rumanah dan Ustadz Hameed. "Kok pakaiannya bukan tipe keluarga kita ya?""Mereka siapa, Faruq?" Kali ini, Ustadz Hameed yang bertanya dengan sedikit tegas dan menekan. Sorot mata Faruq langsung memerah saat melihat dua wanita itu hanya tersenyum manis menyambut kedatangan mertuanya meskipun dari kejauhan."Aby, jangan garang seperti itu lah!" Tegur Faruq seraya mengambil peluang untuk memutar otak. "Mereka hanya pembantu disini, By!"Apa?"Rumanah dan ummi Nayla sponta
Bersamaan itu pula, pria yang baru berhijrah itu tengah berjalan terburu-buru, bahkan sedikit berlari seraya menunduk menuju dapur ummu Salamah. Dan tiba-tiba....Bruk!Aw!Dua manusia yang sesungguhnya adalah dua hati yang sama-sama merindu, bertabrakan."Afwan, Ukhty!" Arash yang menunduk, mengangkat wajahnya, seraya segera membetulkan topinya yang hampir lepas dari kepalan yang rambutnya sudah di cukur itu. Ia bangkit dan mengambil kompan galon yang konon akan diisi air masak."Tidak apa-apa kok, Mas!" Sahut Aina, wanita itu membantu membangunkan Aisha yang tersimpuh di tanah akibat tertubruk seraya menepuk-nepuk gamisnya dari debu.Arash, melihat sosok wanita yang menggunakan niqab, fikirannnya langsung melesat pada sosok Aisha. Bentuk tubuh serta harum wanginya pun mengingatkan pada sosok wanita yang sangat ia rindukan. Lelaki yang baru berhijrah itu menga
Hari terus berganti, dan selalu memiliki kisah untuk setiap manusia di muka bumi ini. Hingga, kini sudah tiba waktu satu tahun setelah kepergian Aisha, sekaligus kematian sang ayahanda dan satu tahun Arash Ryan Nugraha berhijrah, dengan menimba ilmu di pondok pesantren Bahrul Anwar. Sayang, semua tentang Arash tak ada yang Aisha tahu, pun sebaliknya. Tak ada satu kabarpun yang terendus di gendang telinga Arash tentang Aisha Ulya Sakinnatazzahra.Seorang wanita sedang memomong bayi berusia tiga bulan itu, merasakan kelembutan tangan sang buah hati dan terus menciuminya penuh cinta."Teh Aisha, katanya nanti akan ada pengajian yang diisi oleh Abah Hasan sendiri," seru Aina yang baru saja pulang dari pasar berbelanja, menemukan sebuah iklan dalam kertas seperti browsur. "Wah iyakah?" Aisha menjawab dengan antusias sambil meraih kertas iklan yang di sodorkan padanya. "Kapan?""Mungkin ada tanggalnya disana, Teh!" ja
Seketika, senyuman wanita itu mengembang. Harapannya kembali mengisi lubuk hatinya. Kali ini, ia yakin akan berhasil menemukan putrinya. Tak seperti dalam satu tahun ke belakang."Terima kasih, Nak. Ummi simpan brosur ini!" Wajah ummi Rasyidah mendadak cerah dan ceria, hal itu terlihat oleh santriwati yang berdiri di depannya. "Iya, ummi. Anna yakin disana kita pasti akan bertemu dengan teh Aisha!" Pendapat yang merupakan dukungan dari sang santriah itu membakar ummi Rasyidah sehingga semakin besar optimisnya untuk bertemu dengan putri yang telah satu tahun lebih tak ada kabar. Tak urung, itu adalah kesalahannya sendiri saat memikirkan ego dan keadaan. Lupa mengingat pada takdir, karena nyatanya semua ini sudah tercatat di zaman Azali.Wanita itu menutup kembali pintu rumah. Langsung berhambur ke ruang tamu, menatap photo sang suami yang sudah satu tahun meninggalkannya."Maafkan ummi, Aby. Ummi janji ummi akan bawa
"Aisha?"Degh!.Langkah Aisha yang tiba dekat mobil, spontan terhenti, dan napas seketika tercekat. Kemudian menoleh ke arah sumber suara. Dan..."Aisha," lirih Ummi Rasyidah saat wanita yang tengah menggendong putranya menoleh. Ummi Rasyidah melangkah cepat, dengan mata yang tiba-tiba mengembun melihat putrinya ternyata sudah memiliki buah hati. Ya, kali ini ummi Rasyidah tak salah orang, dengan melihat Aina disamping Aisha. Ia yakin, bahwa wanita bercadar itu adalah putrinya. Putri yang selama satu tahun tak kunjung ia temukan keberadaannya."Putriku...""Aina, ayok masuk!" Perintah Aisha, segera ia membuka pintu mobil, dan meminta sang supir untuk melajukannya."Aisha," ummi Rasyidah berteriak dan berlari. sayang, mobil yang membawa sang putri tercintanya telah melesat meninggalkan taman kota ini yang dihuni beberapa ratusan manusia yang bersiap untuk pulang. Wanita yang sudah berbadan kurus dan tubuh layu itu hanya tersedu seraya tangannya memegang udara kosong."Kau pasti akan s
Lama, lama Rumanah memejamkan mata. Meskipun air mata itu tetap luruh hingga mengenai hijabnya yang telah berantakan. Sedangkan Faruq, lelaki berjenggot tipis itu memejamkan mata, menetralkan debar dalam dada meluapkan semua kerinduan. Bibirnya tak henti mengucapkan kata maaf."Dimana kedua istrimu?" Pertanyaan itu terlontar lembut setelah beberapa detik diam. Meskipun hati Rumanah terasa pilu mengingat kejadian menyakitkan itu."Mereka telah kutalaq, Rum!""Kenapa mereka kau talaq? Kenapa tidak aku saja, dan kenapa kau tak biarkan saja aku mati?""Karena aku mencintaimu seorang, Rum! Dan mereka hanya pelampiasan sikap bejatku." Faruq semakin mengeratkan rengkuhan, ia memejamkan mata menenggelamkan rasa rindunya yang perlahan terkikis.Rumanah terjeda. Namun, tiba-tiba beberapa dokter masuk sehingga tak lama, ummi Nayla dan ustadz Hameed datang beriring.Rumanah hanya pasrah saat
"Lihat ini!" Lelaki paruh baya nan gondrong dan dekil itu menunjukkan sebuah photo seorang perempuan. "Ini adalah target kita!"Arash mengerutkan kening saat melihat wajah ayu perempuan dalam photo tersebut."Dia adalah pengusaha kaya raya. " Terang Gatot menjelaskan seraya menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang. "Jika kau berhasil, maka kau akan dapat delapan digit angka rupiah, Arash.""Gue tak perlu karena uang," tolak Arash angkuh."Oh, gue lupa." Celetuk Gatot menepuk kening lalu menyeringai. "Dia anak seorang pejabat,""Apa?" Seketika mata Arash memanas, dan dadanya langsung seperti hendak menyemburkan timah panas. "Dia putri dari seorang pejabat?"Gatot hanya mengangguk, mengerti arti keterkejutan lelaki yang selama ini berguru padanya. "iya, Dia putri pejabat!"Arash meremas photo itu kuat-kuat. Bayanga
Kendaraan roda empat mulai menepi di halaman rumah sakit PERMATA BUNDA. Buru-buru Arash berlari dan menanyakan keberadaan putranya dilobi."Dilantai satu ruangan Dahlia, Mas Ustadz!" Tunjuk sang wanita lembut. Namun, membuat sekujur tubuh Arash melemah. Putranya dirawat di lantai satu? Bukan ruangan istimewa, hanya ruangan kelas menengah ke bawah dan tentunya penanganan tidak seistimewa dilantai tiga dan seterusnya.Tanpa berfikir panjang, setelah mengucapkan kata terima kasih. Lelaki yang telah menjelma jadi ustadz itu berlari yang disusul oleh Tomo. Hingga, tubuhnya kembali lemas saat melihat anak berusia lima tahun terbaring lemah dengan darah yang masih bersimbah dan berbagai selang menempel di tubuhnya."Ini yang akan mendonorkan darahnya?" tanya sang dokter yang tengah bernegosiasi dengan ummi Rasyidah, menyambut kedatangan Arash. Cukup menyadarkan Aisha yang tengah termenung lemah dengan air mata yang terus berderai.
"Ibu?"Arash memekik bersamaan dengan kaki menginjak rem sehingga menimbulkan suara berdecit karena ban yang beradu dengan aspal.Wanita yang dia duga adalah ibunya yang telah tega membakar ayahnya hidup-hidup beberapa puluh tahun yang lalu, tengah berlari dan terus tertawa. Sesekali, ia mengamuk dan memukul beberapa perawat yang terus mengejar."Tidak, itu tidak mungkin ibu. Ibu pasti tengah berbahagia dengan suaminya, atau bahkan mereka telah dikaruniai anak yang merupakan adik tiriku." Arash mengusap wajah dengan kasar untuk menetralkan pemandangannya. Sedangkan, perempuan yang berambut acak-acakan itu telah hilang dari pandangan bersamaan dengan kendaraan yang berlalu lalang.Lelaki yang menggunakan baju koko dan sarung bermotif batik itu menginjak pedal gas, melajukan roda duanya menuju rumahnya yang tanpa jendela. Ya, rumah yang hanya dihuni seorang diri tanpa kehadiran sang istri tak ubahnya seperti rumah tanpa
"Oh, Ya Mas. Bagaimana masalah hutang yang harus dilunasi Aisha? Apakah kau mau memberikan kebijakan?" Pertanyaan Rumanah cukup membuat Faruq terkesiap. Bersamaan itu, Arash yang berada tidak jauh itu seketika menoleh."Untuk hal ini, Mas akan bicara sama Aby untuk menutup itu." Jelas Faruq setelah beberapa menit ia terdiam, seraya menikmati setiap sentuhan kain hangat diwajahnya. "Bukankah dulu ayah mendonaturkan? Bukan menghutangkan?""Tolong beritahu saya dimana ayahmu?" Pinta Arash yang memotong tiba-tiba membuat Rumanah dan Faruq terkesiap, dan menghentikan aksinya kemudian menoleh ke arah sumber suara."Mas Ustadz?" Pekik suami istri itu bersamaan."Enggak kok, itu itu hanya...""Aisha tengah merawat putraku. Dan aku tak ingin terbebani dengan donatur yang dianggap hutang itu," potong Arash cepat nan tegas."Saya, saya akan meminta...""Hutang tetaplah hutang, Mas. Jika Aisha tiada da
____"Untuk anak istrimu, kau tenang saja! saya yang akan menanggungnya," lanjutnya seraya menatap Gerry yang mengerikan dengan darah tetus mengucur seta baju robek-robek yang warnya telah memerah dengan tangan diikat. Melihat orang yang hampir lima tahun ia percaya dalam keadaan tragis dan berlumuran darah, hatinya iba. Namun, keadilan harus tetap di tegalan."Tapi...""Penjara pun saya akan meminta untuk tidak lama, hanya sebagai pelajaran dan semua orang yakin bahwa hukuman tetap berlaku sekalipun kau orang terdekat saya!"Gerry hanya mengangguk pilu dan penuh kepasrahan. Diberikan kelonggaran serta hukuman sedikit bijak, ini sudah membuatnya cukup. Ia ikhlas jika memang harus terdekam di penjara. Asalkan anak dan istrinya baik-baik saja.Semua ini, tak lepas atas campur tangan Arash. Karena, terkadang ketika seseorang pernah mengalami hal itu, maka ia akan lebih bijak untuk menangani hal demikian.
"Ummi, apapun yang dilakukan Arash. Aisha tetap belum siap membuka hati ini, rasa sakit atas perlakuannya waktu itu, bertekad membuat keputusan bertanda tangan darah membuat hati Aisha ini seolah terkunci, Ummi!"Ummi Rasyidah menarik napas kasar, Ia faham akan perasaan putrinya pasti akan sangat perih dan tak berperi. Harga diri serta kehormatan seolah dipandang sebelah mata. Tapi, Tak sepenuhnya ini salah Arash, karena nyatanya. saat itu ia meminta Arash untuk tidak menyentuh Aisha padahal wanita berniqab sedang menempati posisi sebagai istrinya. Dan, dengan kehadiran Rayyan disini. Wanita yang telah lama menyandang gelar janda ini yakin. bahwa saat itu juga Arash telah benar-benar mencintai Aisha. Meskipun keputusan yang bertanda tangan darah itu telah menjadi garis takdir Aisha."Maafkan ummi, Aish!" Lirihnya tak kuasa. Ia merangkul putrinya dengan erat. Harta dan keluarga satu-satunya yang dia miliki.🍁🍁🍁Ger
________"Apa?" Sontak ratusan pasang mata menatap nyalang ke arah Faruq, sehingga mengakibatkan tanpa menunggu lama. Bugeman bertubi-tubi melayang di wajah lelaki yang merupakan mantan calon suami Aisha.Bugh!Bugh!PlakPlakBugh!Hantaman demi hantaman terus diberikan pada Faruq hingga terhuyung dan mulutnya keluar darah. Warga- warga yang sedari tadi memasang kamera termasuk yang hanya melihat, melayangkan hantaman serta pukulan tanpa perasaan. Membuat Faruq yang masih terkejut dan tanpa persiapan terus terpental, serta babak belur dan tanpa benteng pertahanan.Rumanah yang sedari tadi diam menunggu sang suami di restauran pun, segera bangkit saat mendengar keributan bahkan teriakan dan serangan. membuat ia syok saat melihat suaminya telah terhuyung lemah. Segera ia berlari sekuat tenaga."Mas?" Teriaknya lantang." Hentikan kalian semua!"
"Memangnya kenapa, Dek?" Fahmi yang terkesiap atas permintaan Nurma yang tiba-tiba. Segera memindahkan makanan yang telah tertata di atas meja sehingga tangannya bisa terulur. "Kita belum makan!""Enggak kok, Mas! Aku sudah kenyang!" Jawab Nurma segera memangku anaknya yang berusia lima tahun itu."Tapi, Dek!" Sanggahan Fahmi laksana harapan yang terbang ke awan berhembus angin kehampaan. Nurma, wanita yang telah ia nikahi atas dasar tanggung jawab karena ada janin yang dikandungnya, janin yang tak diketahui entah siapa ayahnya, telah melenggang pergi.Sehingga, mau tau tidak. Fahmi bangkit dan mengejar sang istri yang bersikap aneh tiba-tiba.Sedangkan dipojok ruangan, Mata Faruq menelisik saat ia melihat orang yang sedari tadi menatap ke arahnya, dengan tatapan ketakutan."Tunggu disini, Dek!" Pintanya pada Rumanah, Namun matanya tak lepas terus menatap wanita yang berlari dikejar pasangannya. "Gerry,
"Pergilah, Nak. Ummi meridhoi. Meskipun, ummi tidak akan sekedar untuk membantumu!" Dengan lirih dan sedikit mengangkat kepala. Ummi Rasyidah menatap sang mantan preman itu dengan penuh harap.Bukan karena melihat Arash yang sudah berubah menjadi lebih baik. Tapi, lebih dari pada nasib Rayyan. Cucu satu-satunya yang terlahir tanpa sosok ayah. Bagaimana kalau kelak anaknya mempertanyakan? Pun, Aisha tak memiliki surat pernikahan, juga surat perceraian. Ia tak sanggup menyaksikan cucunya kelak bertanya sosok ayah, jika mengatakan telah bercerai, tak ada buku pernikahan yang tentunya tak memiliki buku surat perceraian juga. Bukankah itu sangat malang?"Terima kasih, ummi. Ridha ummi yang Arash harapkan kini," Arash mencium tangan sang wanita yang telah melahirkan wanita sebaik dan secantik Aisha. Wanita yang memiliki tekad kuat serta keteguhan hati.Ia melangkah, meninggalkan rumah yang lebih sempit dan sederhana. Namun