"Silakan duduk dulu, Ummi!" Perintah Faruq dengan sopan. "Darimana ummi dan Aby tahu tempat tinggal Faruq ini?"Saat ummi Nayla akan menjawab. Tiba-tiba Sorot matanya menangkap dua wanita yang berdiri seperti mengintip ke arahnya."Mereka siapa, Nak?""Mereka siapa?" tanya Gus Faruq pura-pura tidak tahu."Itu, mereka yang berdiri di balik pintu!" Tunjuk ummi Nayla dengan diikuti tatapan oleh Faruq, Rumanah dan Ustadz Hameed. "Kok pakaiannya bukan tipe keluarga kita ya?""Mereka siapa, Faruq?" Kali ini, Ustadz Hameed yang bertanya dengan sedikit tegas dan menekan. Sorot mata Faruq langsung memerah saat melihat dua wanita itu hanya tersenyum manis menyambut kedatangan mertuanya meskipun dari kejauhan."Aby, jangan garang seperti itu lah!" Tegur Faruq seraya mengambil peluang untuk memutar otak. "Mereka hanya pembantu disini, By!"Apa?"Rumanah dan ummi Nayla sponta
Bersamaan itu pula, pria yang baru berhijrah itu tengah berjalan terburu-buru, bahkan sedikit berlari seraya menunduk menuju dapur ummu Salamah. Dan tiba-tiba....Bruk!Aw!Dua manusia yang sesungguhnya adalah dua hati yang sama-sama merindu, bertabrakan."Afwan, Ukhty!" Arash yang menunduk, mengangkat wajahnya, seraya segera membetulkan topinya yang hampir lepas dari kepalan yang rambutnya sudah di cukur itu. Ia bangkit dan mengambil kompan galon yang konon akan diisi air masak."Tidak apa-apa kok, Mas!" Sahut Aina, wanita itu membantu membangunkan Aisha yang tersimpuh di tanah akibat tertubruk seraya menepuk-nepuk gamisnya dari debu.Arash, melihat sosok wanita yang menggunakan niqab, fikirannnya langsung melesat pada sosok Aisha. Bentuk tubuh serta harum wanginya pun mengingatkan pada sosok wanita yang sangat ia rindukan. Lelaki yang baru berhijrah itu menga
Hari terus berganti, dan selalu memiliki kisah untuk setiap manusia di muka bumi ini. Hingga, kini sudah tiba waktu satu tahun setelah kepergian Aisha, sekaligus kematian sang ayahanda dan satu tahun Arash Ryan Nugraha berhijrah, dengan menimba ilmu di pondok pesantren Bahrul Anwar. Sayang, semua tentang Arash tak ada yang Aisha tahu, pun sebaliknya. Tak ada satu kabarpun yang terendus di gendang telinga Arash tentang Aisha Ulya Sakinnatazzahra.Seorang wanita sedang memomong bayi berusia tiga bulan itu, merasakan kelembutan tangan sang buah hati dan terus menciuminya penuh cinta."Teh Aisha, katanya nanti akan ada pengajian yang diisi oleh Abah Hasan sendiri," seru Aina yang baru saja pulang dari pasar berbelanja, menemukan sebuah iklan dalam kertas seperti browsur. "Wah iyakah?" Aisha menjawab dengan antusias sambil meraih kertas iklan yang di sodorkan padanya. "Kapan?""Mungkin ada tanggalnya disana, Teh!" ja
Seketika, senyuman wanita itu mengembang. Harapannya kembali mengisi lubuk hatinya. Kali ini, ia yakin akan berhasil menemukan putrinya. Tak seperti dalam satu tahun ke belakang."Terima kasih, Nak. Ummi simpan brosur ini!" Wajah ummi Rasyidah mendadak cerah dan ceria, hal itu terlihat oleh santriwati yang berdiri di depannya. "Iya, ummi. Anna yakin disana kita pasti akan bertemu dengan teh Aisha!" Pendapat yang merupakan dukungan dari sang santriah itu membakar ummi Rasyidah sehingga semakin besar optimisnya untuk bertemu dengan putri yang telah satu tahun lebih tak ada kabar. Tak urung, itu adalah kesalahannya sendiri saat memikirkan ego dan keadaan. Lupa mengingat pada takdir, karena nyatanya semua ini sudah tercatat di zaman Azali.Wanita itu menutup kembali pintu rumah. Langsung berhambur ke ruang tamu, menatap photo sang suami yang sudah satu tahun meninggalkannya."Maafkan ummi, Aby. Ummi janji ummi akan bawa
"Aisha?"Degh!.Langkah Aisha yang tiba dekat mobil, spontan terhenti, dan napas seketika tercekat. Kemudian menoleh ke arah sumber suara. Dan..."Aisha," lirih Ummi Rasyidah saat wanita yang tengah menggendong putranya menoleh. Ummi Rasyidah melangkah cepat, dengan mata yang tiba-tiba mengembun melihat putrinya ternyata sudah memiliki buah hati. Ya, kali ini ummi Rasyidah tak salah orang, dengan melihat Aina disamping Aisha. Ia yakin, bahwa wanita bercadar itu adalah putrinya. Putri yang selama satu tahun tak kunjung ia temukan keberadaannya."Putriku...""Aina, ayok masuk!" Perintah Aisha, segera ia membuka pintu mobil, dan meminta sang supir untuk melajukannya."Aisha," ummi Rasyidah berteriak dan berlari. sayang, mobil yang membawa sang putri tercintanya telah melesat meninggalkan taman kota ini yang dihuni beberapa ratusan manusia yang bersiap untuk pulang. Wanita yang sudah berbadan kurus dan tubuh layu itu hanya tersedu seraya tangannya memegang udara kosong."Kau pasti akan s
Lama, lama Rumanah memejamkan mata. Meskipun air mata itu tetap luruh hingga mengenai hijabnya yang telah berantakan. Sedangkan Faruq, lelaki berjenggot tipis itu memejamkan mata, menetralkan debar dalam dada meluapkan semua kerinduan. Bibirnya tak henti mengucapkan kata maaf."Dimana kedua istrimu?" Pertanyaan itu terlontar lembut setelah beberapa detik diam. Meskipun hati Rumanah terasa pilu mengingat kejadian menyakitkan itu."Mereka telah kutalaq, Rum!""Kenapa mereka kau talaq? Kenapa tidak aku saja, dan kenapa kau tak biarkan saja aku mati?""Karena aku mencintaimu seorang, Rum! Dan mereka hanya pelampiasan sikap bejatku." Faruq semakin mengeratkan rengkuhan, ia memejamkan mata menenggelamkan rasa rindunya yang perlahan terkikis.Rumanah terjeda. Namun, tiba-tiba beberapa dokter masuk sehingga tak lama, ummi Nayla dan ustadz Hameed datang beriring.Rumanah hanya pasrah saat
"Maafkan saya!" Suara lemah yang diiringi isakan dan linangan air mata itu terlontar dari mulut Arash. "Saya malu bahkan untuk sekedar menyebutkan namanya! Karena kebodohan saya, saya harus melukai wanita sebaik dirinya!" Tak kuasa, akhirnya isakan itu terdengar pilu dan menyayat hati. Ustadz Hasan menatap dengan tatapan menerawang. Selama ini, ia selalu melihat Arash, bahkan saat tengah orang lain tertidur. Menangis, meratapi dan selalu mengatakan bahwa semoga bisa mati setelah bertemu dengan wanita yang selama ini dicarinya. Sayangnya, Ustadz Hasan tak pernah bertanya dan ingin tahu siapa sosok wanita yang dimaksud. Pun, Arash terlihat gigih membuat ia yakin bahwa Arash bisa memperjuangkan semuanya.Dan kini, baru ia tahu bahwa wanita yang dimaksud dari santri kesayangannya adalah muridnya sendiri. Murid yang pernah dia temui empat tahun yang lalu saat mengisi pengajian di sebuah taman kota."Saya tidak tahu apa yang harus saya lakuk
Rumah mewah dengan nuansa putih tulang dan bertiang besar tengah dipenuhi oleh daun-daun yang merambat hingga dindingnya. Rumput liar dan pepohonan yang rimbun membuat tempat itu nampak horor bagi siapapun yang melihat. Daun kering yang terbang di tiup angin menyentuh sorban laki-laki yang telah lima tahun meninggalkannya."Tomo! Dimana mereka?" tanya Arash yang menatap menembus daun merambat menghiasi rumah mewahnya yang setelah bertahun-tahun tak terpenghuni. "Mereka telah kembali ke tempat masing-masing, Bang eh ustadz!" Sahut Tomo gugup dan segan. Hanya dia yang masih bisa Arash hubungi karena nomor miliknya yang Arash ingat, pun tertulis didalam kitab yang merupakan sesuatu yang Arash candu hingga kini."Maafkan saya, lima tahun telah meninggalkan kalian!" ucap Arash dengan menoleh ke arah Tomo, ada haru yang tak bisa ia ungkapan dengan kata-kata. "Saya bahkan tidak menyangka bahwa kalian akan tetap setia!""Selama ini, kami setia Bang! Kami tak melupakan Abang, hanya saja kami