"Tunggu!" Sebuah suara yang tak lain dari Ummu Rasyidah mengehentikan Aisha yang hendak menyalami tangan sang ayahanda."Ummi?" Lirih Aisha pilu saat sang ibunda berjalan ke arah kumpulan mereka.Ustadz Harun dan ummi Inayah saling lirik. Keduanya saling faham meskipun terdiam .Sedangkan H Karim. Sebuah senyuman pilu terlukiskan dari bibirnya. Sesekali ia mengusap wajahnya yang basah dengan sorban yang ia kenakan."Kau tak perlu pergi, Nak!" Ummi Rasyidah memegang wajah ayu Aisha. "Kita akan pergi bersama,"Ummi Rasyidah mengedarkan pandangannya pada semua yang hadir. Ia menyeka sudut mata yang masih basah. "Kita lebih baik katakan yang sejujurnya pada Gus Faruq,""Ummi benar. Kita tak perlu terfokus pada satu titik saja," Timpal ummi Inayah menguatkan ucapan Ummi Rasyidah."Tapi, bagaimana jika keluarga itu menagih janji yang tertulis
Arash mengguyur seluruh tubuhnya dengan air menenangkan dari shower. Sesungguhnya, andai orang lain tahu. selama ia melakukan hubungan intim dengan siapapun. Tak pernah merasakan tenang dan bahagia, Semuanya hanya atas dasar dendam dan pelampiasan pada ibunya yang entah dimana. Arash selalu membayar mahal para wanita manapun yang telah ia ajak bercinta. Dalam beberapa tahun ini, entah berapa ia menjamah gadis yang masih perawan. Namun, semuanya nampak hampa. dan tak satupun yang berhasil mengambil hati Arash. Saat ia menikmati setiap guyuran air yang seolah mengikis rasa marahnya, tiba-tiba pintu di ketuk dengan tergesa. Pertanda bahwa preman telah bersiap."Fuck!" Umpatnya.Arash segera menyudahi ritual mandinya yang sebenarnya hanya digunakan untuk menerawang diri ke masa lalu. Akibat banyak dosa sehingga ia tidak lagi percaya pada dirinya sendiri. Terlebih, Aisha kini tak ada kabar sama sekali. Pun
"Aku akan menemui Mas Arash!" Gumamnya penuh percaya diri. Ia segera seka air mata yang berlinang, tak ingin jadi wanita yang lemah."Apa kamu yakin, Nak?" tanya H. Karim langsung melepaskan genggaman tangannya, beralih menatap putrinya penuh pertanyaan.Aisha, wanita yang menggunakan niqab itu tersenyum, meskipun senyuman itu tak terlihat karena bibir manis itu berada dibalik kain tipisnya. "Mas Arash harus tahu Aisha tengah mengandung benihnya, Ayah. Aisha yakin dia akan sangat bahagia,"Ya, wanita itu optimis. Fikiran Aisha melayang beberapa hari yang lalu. Dimana, kata cinta itu terucap lembut dari bibir lelaki yang telah lama bersemayam di hati wanita itu. Ucapan yang menembus hingga ke jantung dan menetap melekat disana hingga meninggalkan bunga-bunga cinta yang indah bermekaran. Dan, ia yakin. Kabar kehamilannya akan menjadikan dia kembali bersatu dengan orang yang dicintai, serta bisa menjalankan perintah sang gur
Aisha menitikan mata saat melihat apa yang di sodorkan oleh lelaki yang bertugas menjaga rumah, tempat tinggal yang pernah memiliki kisah dengan Arash beberapa minggu yang lalu."Ini...?" Lirihnya seraya terisak, tak sanggup melanjutkan kata yang seolah tercekat di tenggorokan. Dengan berat, membuka lembaran putih digenggamnya. "Apa...ma-maksud se-sem-ua ini, Pak..?"Aisha masih berusaha untuk menahan gejolak di dada, demi sebuah jawaban dari sang penjaga. H. Karim yang melihat itu, langsung meraih kertas di tangan Aisha."Itu surat dari bang Arash, Pak. Dia menitipkan surat-surat berharga tentang restaurant yang ia hibahkan untuk nyonya Aisha. Dia, meminta Hubungi nomor dalam surat itu untuk informasi lebih lanjut!" Dengan debaran tak karuan, satpam itu menjelaskan.Aisha, seketika tubuhnya serasa ambruk dan lemas seolah tak bertulang. Dunia seakan runtuh dan menimpa hanya dirinya seorang.
"Maksudmu?" Tanya yang begitu terhenyak terucap dari bibir Aisha."Ya, Anna tahu teh. Sebenarnya, sikap Rum bisa dikatakan lancang, Rumanah berbalik, menatap Aisha dengan seksama. "Masih ada beberapa waktu untuk mempertimbangkan keputusan ini, Teh!"Aisha, ia mengerjapkan mata sesaat. Meskipun, apa yang terucap dari mulut Rumanah ada benarnya, Arash tak tahu entah dimana rimbanya. Tapi, tekanan Gus Faruq yang tak menginginkan mengurus anak dari pria lain, membuat wanita berbulu mata lentik itu membulatkan tekad, bahwa tetap akan bersikukuh pada keputusannya yang semula."Tetaplah menikah dengannya, Rum. Cintamu layak berlabuh pada makhluk," gumam Aisha pelan dengan patah-patah. "Anna yakin, dia bisa membimbingmu ke jalan syurga!""Tapi, bagaimana dengan bayi di rahimmu? Ia butuh sosok ayah," Sebelum mengangguk sempurna. Rumanah sengaja mempertanyakan agar tindakannya tidak salah.Ais
"Semoga saja, setelah ini tidak ada kejadian yang tak terduga. Apa Perlukah aku selidik?" Aula yang semula dihiasi dengan kerumunan banyak orang. Kini mulai sedikit senggang. Waktu selanjutnya menuju sesi ramah tamah para tamu. Pernikahan yang memang mendadak ini dilakukan cukup meriah, Grup Hadroh yang bertugas menyambut para tamu, diambil dari pesantren ini sendiri. Pun, yang datang bukan hanya para ustadz. Melainkan para pejabat dan pembisnis hebat."Kau senang kan dengan pernikahan ini?" Sindir ummi Nayla yang tidak sengaja berselingan, sambil menatap sinis pada Aisha. "Ini kan yang kau inginkan, hai wanita shalehah?""Tidak, Ummi. Aisha sama sekali tidak berniat dan tidak bahagia dengan semua ini," sanggah Aisha cepat. Suaranya kian serak karena sedari tadi menahan tangis yang semakin terisak. Bukan menangisi pernikahan Gus Faruq dan Rumanah. Ia, hanya menangisi nasib dirinya yang malang.
"Menurut saya...." Sang Rois menggantung ucapannya. Malu, karena telah mendahului gurunya yang belum mengatakan pendapat."Mohon maaf, pak kyai! Saya takut salah!" Undur Qomarudin membatalkan ucapannya. "Kita hanya manusia, Qomar!" Sahut kyai Samsul dengan lembut seraya melirik ke arah lelaki yang menjabat sebagai Rais. Kemudian ia menoleh kembali pada lelaki bertato yang ia temui dini hari dalam sumur."Kamu lelaki yang bertekad datang ke tempat ini, untuk membersihkan dirimu dari noda-noda hitam Kehidupan, dan ingin kembali ke jalan yang benar, Nak!" Tutur ustadz Samsul dengan bijaksana. Ia menatap penuh harap pada lelaki gondrong dan bertato yang berada tepat di hadapannya.Apa? Seketika Arash merasa lemas. Kenapa kyai di hadapannya mengatakan hal yang sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan?Arash, betapa seperti ada sebilah pisau yang menggores ulu hatinya. Ia, lelaki yang hendak membunuh,
Ketika tubuh lelaki yang duduk tak bergerak itu, tiba-tiba rubuh dan hampir terjatuh pada lantai, membuat Aisha seketika memekik histeris."Ayaaaaaaaah!"Tangisan histeris Aisha menggema ke seluruh ruangan. Tangan bergetar itu menggoyang-goyangkan tubuh sang ayahanda yang sudah kaku dan pucat serta sedikit memutih tapi bercahaya."Ayah, Maafkan Aisha ayah!" Ratap wanita yang menggunakan niqab itu dengan tangisan pilu. Tangannya memeluk tubuh manusia yang ternyata sudah tidak bernyawa itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Aisha, Ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini? Ayah mengatakan bahwa Aisha harus kuat, tapi kenapa ayah pergi? Ayah benci Aisha?"Tenggelam dalam tangisan akan kesalahan dan kehilangan, Tiba-tiba sebuah tangan menarik jilbab Aisha sehingga wajah wanita itu tercekat dan kepalanya menengadah."Semua ini gara-gara kamu, Aisha!"Plak!Satu tam
"Lihat ini!" Lelaki paruh baya nan gondrong dan dekil itu menunjukkan sebuah photo seorang perempuan. "Ini adalah target kita!"Arash mengerutkan kening saat melihat wajah ayu perempuan dalam photo tersebut."Dia adalah pengusaha kaya raya. " Terang Gatot menjelaskan seraya menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang. "Jika kau berhasil, maka kau akan dapat delapan digit angka rupiah, Arash.""Gue tak perlu karena uang," tolak Arash angkuh."Oh, gue lupa." Celetuk Gatot menepuk kening lalu menyeringai. "Dia anak seorang pejabat,""Apa?" Seketika mata Arash memanas, dan dadanya langsung seperti hendak menyemburkan timah panas. "Dia putri dari seorang pejabat?"Gatot hanya mengangguk, mengerti arti keterkejutan lelaki yang selama ini berguru padanya. "iya, Dia putri pejabat!"Arash meremas photo itu kuat-kuat. Bayanga
Kendaraan roda empat mulai menepi di halaman rumah sakit PERMATA BUNDA. Buru-buru Arash berlari dan menanyakan keberadaan putranya dilobi."Dilantai satu ruangan Dahlia, Mas Ustadz!" Tunjuk sang wanita lembut. Namun, membuat sekujur tubuh Arash melemah. Putranya dirawat di lantai satu? Bukan ruangan istimewa, hanya ruangan kelas menengah ke bawah dan tentunya penanganan tidak seistimewa dilantai tiga dan seterusnya.Tanpa berfikir panjang, setelah mengucapkan kata terima kasih. Lelaki yang telah menjelma jadi ustadz itu berlari yang disusul oleh Tomo. Hingga, tubuhnya kembali lemas saat melihat anak berusia lima tahun terbaring lemah dengan darah yang masih bersimbah dan berbagai selang menempel di tubuhnya."Ini yang akan mendonorkan darahnya?" tanya sang dokter yang tengah bernegosiasi dengan ummi Rasyidah, menyambut kedatangan Arash. Cukup menyadarkan Aisha yang tengah termenung lemah dengan air mata yang terus berderai.
"Ibu?"Arash memekik bersamaan dengan kaki menginjak rem sehingga menimbulkan suara berdecit karena ban yang beradu dengan aspal.Wanita yang dia duga adalah ibunya yang telah tega membakar ayahnya hidup-hidup beberapa puluh tahun yang lalu, tengah berlari dan terus tertawa. Sesekali, ia mengamuk dan memukul beberapa perawat yang terus mengejar."Tidak, itu tidak mungkin ibu. Ibu pasti tengah berbahagia dengan suaminya, atau bahkan mereka telah dikaruniai anak yang merupakan adik tiriku." Arash mengusap wajah dengan kasar untuk menetralkan pemandangannya. Sedangkan, perempuan yang berambut acak-acakan itu telah hilang dari pandangan bersamaan dengan kendaraan yang berlalu lalang.Lelaki yang menggunakan baju koko dan sarung bermotif batik itu menginjak pedal gas, melajukan roda duanya menuju rumahnya yang tanpa jendela. Ya, rumah yang hanya dihuni seorang diri tanpa kehadiran sang istri tak ubahnya seperti rumah tanpa
"Oh, Ya Mas. Bagaimana masalah hutang yang harus dilunasi Aisha? Apakah kau mau memberikan kebijakan?" Pertanyaan Rumanah cukup membuat Faruq terkesiap. Bersamaan itu, Arash yang berada tidak jauh itu seketika menoleh."Untuk hal ini, Mas akan bicara sama Aby untuk menutup itu." Jelas Faruq setelah beberapa menit ia terdiam, seraya menikmati setiap sentuhan kain hangat diwajahnya. "Bukankah dulu ayah mendonaturkan? Bukan menghutangkan?""Tolong beritahu saya dimana ayahmu?" Pinta Arash yang memotong tiba-tiba membuat Rumanah dan Faruq terkesiap, dan menghentikan aksinya kemudian menoleh ke arah sumber suara."Mas Ustadz?" Pekik suami istri itu bersamaan."Enggak kok, itu itu hanya...""Aisha tengah merawat putraku. Dan aku tak ingin terbebani dengan donatur yang dianggap hutang itu," potong Arash cepat nan tegas."Saya, saya akan meminta...""Hutang tetaplah hutang, Mas. Jika Aisha tiada da
____"Untuk anak istrimu, kau tenang saja! saya yang akan menanggungnya," lanjutnya seraya menatap Gerry yang mengerikan dengan darah tetus mengucur seta baju robek-robek yang warnya telah memerah dengan tangan diikat. Melihat orang yang hampir lima tahun ia percaya dalam keadaan tragis dan berlumuran darah, hatinya iba. Namun, keadilan harus tetap di tegalan."Tapi...""Penjara pun saya akan meminta untuk tidak lama, hanya sebagai pelajaran dan semua orang yakin bahwa hukuman tetap berlaku sekalipun kau orang terdekat saya!"Gerry hanya mengangguk pilu dan penuh kepasrahan. Diberikan kelonggaran serta hukuman sedikit bijak, ini sudah membuatnya cukup. Ia ikhlas jika memang harus terdekam di penjara. Asalkan anak dan istrinya baik-baik saja.Semua ini, tak lepas atas campur tangan Arash. Karena, terkadang ketika seseorang pernah mengalami hal itu, maka ia akan lebih bijak untuk menangani hal demikian.
"Ummi, apapun yang dilakukan Arash. Aisha tetap belum siap membuka hati ini, rasa sakit atas perlakuannya waktu itu, bertekad membuat keputusan bertanda tangan darah membuat hati Aisha ini seolah terkunci, Ummi!"Ummi Rasyidah menarik napas kasar, Ia faham akan perasaan putrinya pasti akan sangat perih dan tak berperi. Harga diri serta kehormatan seolah dipandang sebelah mata. Tapi, Tak sepenuhnya ini salah Arash, karena nyatanya. saat itu ia meminta Arash untuk tidak menyentuh Aisha padahal wanita berniqab sedang menempati posisi sebagai istrinya. Dan, dengan kehadiran Rayyan disini. Wanita yang telah lama menyandang gelar janda ini yakin. bahwa saat itu juga Arash telah benar-benar mencintai Aisha. Meskipun keputusan yang bertanda tangan darah itu telah menjadi garis takdir Aisha."Maafkan ummi, Aish!" Lirihnya tak kuasa. Ia merangkul putrinya dengan erat. Harta dan keluarga satu-satunya yang dia miliki.🍁🍁🍁Ger
________"Apa?" Sontak ratusan pasang mata menatap nyalang ke arah Faruq, sehingga mengakibatkan tanpa menunggu lama. Bugeman bertubi-tubi melayang di wajah lelaki yang merupakan mantan calon suami Aisha.Bugh!Bugh!PlakPlakBugh!Hantaman demi hantaman terus diberikan pada Faruq hingga terhuyung dan mulutnya keluar darah. Warga- warga yang sedari tadi memasang kamera termasuk yang hanya melihat, melayangkan hantaman serta pukulan tanpa perasaan. Membuat Faruq yang masih terkejut dan tanpa persiapan terus terpental, serta babak belur dan tanpa benteng pertahanan.Rumanah yang sedari tadi diam menunggu sang suami di restauran pun, segera bangkit saat mendengar keributan bahkan teriakan dan serangan. membuat ia syok saat melihat suaminya telah terhuyung lemah. Segera ia berlari sekuat tenaga."Mas?" Teriaknya lantang." Hentikan kalian semua!"
"Memangnya kenapa, Dek?" Fahmi yang terkesiap atas permintaan Nurma yang tiba-tiba. Segera memindahkan makanan yang telah tertata di atas meja sehingga tangannya bisa terulur. "Kita belum makan!""Enggak kok, Mas! Aku sudah kenyang!" Jawab Nurma segera memangku anaknya yang berusia lima tahun itu."Tapi, Dek!" Sanggahan Fahmi laksana harapan yang terbang ke awan berhembus angin kehampaan. Nurma, wanita yang telah ia nikahi atas dasar tanggung jawab karena ada janin yang dikandungnya, janin yang tak diketahui entah siapa ayahnya, telah melenggang pergi.Sehingga, mau tau tidak. Fahmi bangkit dan mengejar sang istri yang bersikap aneh tiba-tiba.Sedangkan dipojok ruangan, Mata Faruq menelisik saat ia melihat orang yang sedari tadi menatap ke arahnya, dengan tatapan ketakutan."Tunggu disini, Dek!" Pintanya pada Rumanah, Namun matanya tak lepas terus menatap wanita yang berlari dikejar pasangannya. "Gerry,
"Pergilah, Nak. Ummi meridhoi. Meskipun, ummi tidak akan sekedar untuk membantumu!" Dengan lirih dan sedikit mengangkat kepala. Ummi Rasyidah menatap sang mantan preman itu dengan penuh harap.Bukan karena melihat Arash yang sudah berubah menjadi lebih baik. Tapi, lebih dari pada nasib Rayyan. Cucu satu-satunya yang terlahir tanpa sosok ayah. Bagaimana kalau kelak anaknya mempertanyakan? Pun, Aisha tak memiliki surat pernikahan, juga surat perceraian. Ia tak sanggup menyaksikan cucunya kelak bertanya sosok ayah, jika mengatakan telah bercerai, tak ada buku pernikahan yang tentunya tak memiliki buku surat perceraian juga. Bukankah itu sangat malang?"Terima kasih, ummi. Ridha ummi yang Arash harapkan kini," Arash mencium tangan sang wanita yang telah melahirkan wanita sebaik dan secantik Aisha. Wanita yang memiliki tekad kuat serta keteguhan hati.Ia melangkah, meninggalkan rumah yang lebih sempit dan sederhana. Namun