Home / Romansa / PERFAKE HUSBAND / 1. Bayi Merah di Taman

Share

PERFAKE HUSBAND
PERFAKE HUSBAND
Author: Rahmani Rima

1. Bayi Merah di Taman

“Lo tuh kebiasaan ya! Gue ‘kan udah bilang baliknya jam lima. Lo malah jalan sama cewek lo dan ngelupain gue!” aku berteriak begitu mendengar jawaban mengesalkan si Adit.

“Eh, nyebelin lo ya! Pake teriak-teriak segala. Gue gak budek kalik, Ra!”

“Ya elo nyebelin! Bukan budek lagi tahu gak, tapi Bolot. Gue ‘kan udah bilang tadi pagi waktu sarapan. Emang Oneng lo!”

“Satu aja ya lo ngatain gue! Ngapa di borong?”

“Suka-suka gue lah! Pokoknya gue gak mau tahu, gue pengen dijemput sekaraaaang!”

Klik.

Aku mematikan sambungan telpon dengan kakak tunggal nyebelin itu. Selain Bolot, dia emang Oneng, persis ucapanku beberapa detik lalu.

Belum hilang rasa marahku, ponsel yang masih ku genggam bergetar pendek. Ada pesan singkat dari Adit Similikiti yang doyan mangkir dari jadwal mengantar jemputku sepulangnya kerja.

Dia tuh sebenarnya sempat-sempat saja, cuma masalahnya tuh anak malesnya naudzubillah. Sok-soan sibuk dengan kehidupan dewasanya yang enggak banget.

“Gue dijemput si Bayu? Bayu siapa?”

Aku tak sempat berpikir, karena sebuah mobil Honda HR-V tiba-tiba berhenti di depan tubuhku yang sedikit sempoyongan karena lapar. Kaca mobilnya terbuka.

“Ra, ayo.”

“Ayo kemana?” tanyaku pada guru baru Bahasa Perancis.

“Balik lah. Emang lo mau nginep disini? Buru!”

“Si Adit bilang gue dijemput si Bayu.”

Cowok usia dua puluh tujuh tahun itu membuang nafas malas, “Gue Bayu.”

“Hah? Bukannya lo... Ananta?”

“Bayu Ananta. Lo cuma panggil nama belakang gue aja. Buruan!”

“Bentar kalik.” aku membuka pintu mobil dan duduk disebelah cowok sok kecakepan itu, “Cari makan dulu yuk. Laper nih.”

“Ra, gue mau jalan sama cewek gue. Sekarang gue mau nganterin lo balik aja harusnya sujud syukur. Gak tahu diri!”

“Dih. Yang gak tahu diri tuh elo. Lo lupa kenapa bisa jadian sama pacar lo? Itu karena hasil sketsa lukisan gue yang ciamik ya. Gak tahu terima kasih lo!”

Bayu diam. Sepertinya dia baru mikir kalo mukanya yang ganteng itu bakal sangat percuma jika dijadikan pacar karena otaknya sedikit dodol. Untungnya aku pintar mencari peluang untuk menyerangnya seperti biasa.

“Oke, gue hutang budi sama lo. Mau makan dimana?” tanyanya kemudian.

“Ntar gue mikir dulu.” kataku sok jual mahal.

Bayu yang tengah menyetir mengerem tiba-tiba. Dia menoleh dan menjitak kepalaku, “Ra, ini tuh Jakarta. Lo mikir lima menit aja udah membuang sisa waktu gue buat jemput pacar gue yang ada di Bekasi.”

Aku mengusap kepalaku dan meringis menatapnya, “Lagian ngapain macarin mahluk beda planet sih? Nyusahin diri sendiri tahu gak!”

“Ya terus gue harusnya macarin orang Jakarta gitu, misalnya siapa? Elo?”

“Gue gak ngomong kayak gitu. Buat bayanginnya aja gak ada ya, Ta, lo jadi pacar gue. Soalnya lo tuh tua, bangkotan juga.”

“Nama gue Bayu, berhenti panggil gue Ananta dan berhenti ledek gue tua.” protesnya lanjut menyetir.

“Gue gak suka arti nama lo. Apaan Angin. Bisa-bisa hidup gue yang tenang ini berantakkan kalo gue deket-deket lo.”

“Terserah. Kita makan di taman komplek rumah lo aja. Karena kalo makan di kafe, lo suka gak punya adab minta bayarin yang mahal-mahal.”

“Cewek High Value kayak gue cuma di bawa ke taman komplek? Keterlaluan lo.”

“Keterlaluan itu elo yang doyan morotin pacar orang.”

“Liatnya jangan dari arah sana dong. Lo ‘kan sahabat dunia akhiratnya si Adit. Jadi hal yang wajar kalo lo bayarin adik imutnya ini.”

“Huwek. Turun!”

“Keterlaluan lo nurunin gue di tengah jalan! Angin!”

Bayu tak menggubris suara kencangku. Dia keluar dari mobil lebih dulu. Aku pun mengedarkan mata indah ini ke sekeliling. Aku baru sadar sudah sampai. Aku juga baru ingat kalau Bayu membawa mobil dengan kecepatan setara Kijang berlari sedari tadi.

“Pak, Siomaynya dua porsi. Yang satu campur yang satu Pare semua.”

“Yang bener, mas?” bapak penjual menatap Bayu yang berwajah bule itu ragu.

Aku melirik Bayu sinis. Aku juga curiga dengan pesanannya, “Yang Pare semua punya siapa?”

“Elo lah. Muka lo asem tuh, perlu di seimbangkan sama yang pait.”

Aku menggebug lengan kekar Bayu, “Pak, yang Pare buat supir saya nih.”

“Supir?! Wah, kurang didik ya tuh mulut!” Bayu menyusulku duduk ditembok bawah pohon Mangga yang baru berbunga.

Saat tengah sama-sama menikmati suasana sore yang ceria, dengan sinar matahari mengenai sebagian tubuh, serta suara anak-anak yang riang, Bayu tersenyum.

“Gejala nih.” ledekku.

Bayu tersenyum, “Gue suka anak kecil.”

“Termasuk gue?” tunjukku pada diri sendiri.

Bayu memasang wajah super datar, “Jenglot mah enggak.”

Aku mengangkat tinggi-tinggi lengan kemejaku untuk kemudian menggebug lengan Bayu seperti biasa. Tapi tidak jadi karena bapak penjual Siomay sudah berdiri dihadapan kami membawa dua porsi berisi Siomay campur.

“Makasih banyak ya, pak, gak jadi bikin yang isinya Pare semua.” ungkap Bayu memamerkan barisan giginya yang sebesar gigi Kuda.

“Hehehe, soalnya kalian pesennya gak serius tadi. Dari pada mubadzir gak di makan, saya bikin campur aja. Silakan di nikmati mas, dek.”

“Makasih, pak.” Bayu melirikku, “Makan, Ra.”

“Ya iya lah di makan, masa gue goyang Dombretin.”

“Ck, basa-basi doang gue.”

Kami makan dalam keadaan tenang dan khidmat, bukan karena mahluk terpelajar, tapi karena takut keselek karena sangking cepatnya masing-masing menyuap.

“Oaaaak.” terdengar sayup suara bayi.

Bayu melirikku.

“Apa?”

“Lo gak denger suara barusan?”

“Denger. Suara lo ngomong ‘kan?”

“Bukan suara gue.”

“Jelas lo ngomong barusan. Masa Pare yang ngomong?”

Bayu sudah mengacungkan tangannya untuk menjitakku seperti biasa.

“Apa? Lo ih, kalo gue geger otak gimana?”

“Gak ada orang geger otak karena di jitak.”

“Ada, gue!”

“Oaaaaak.”

“Tuh, denger, kedengeran gak?”

“Oaaaak.”

Aku menatap piring Siomay, “Itu suara Kentang Siomay?”

Bayu ikut melirik piring milikku dengan polosnya, “Sejak kapan Kentang punya suara? Buka dong kuping lo lebar-lebar, itu suara bayi, Ra.”

Aku menyimpan piring milikku lalu berdiri mencari sumber suara. Semakin dekat suara itu semakin terdengar jelas, “Ananta sini, suaranya makin jelas.”

Bayu mengikuti kemana aku berjalan pelan.

Aku menoleh menatap wajahnya yang bloon, “Itu mungkin gak ya suara bayi Thumbelina?”

“Thumbelina apaan?”

“Barbie.” jawabku tanpa dosa.

Bayu meniup rambutku sehingga beberapa helainya mengenai pipi, “Keadaan lagi tegang gini lo malah bahas Barbie. Itu suara orok manusia, Ra. Dengerin dong.”

“Oaaaaak-oaaaaak.”

Suara bayi itu semakin kencang, membuatku kini bisa lebih mudah menyusurinya setelah berjalan beberapa langkah mendekati semak.

“Ananta, sini, buru!” kataku sedikit panik.

Bayu kini berdiri dibelakang tubuhku. Kami sama-sama bisa melihat bayi merah di sebuah keranjang yang diletakkan dibawah semak taman komplek.

“Ananta, itu—ba-yi si-apa?” tanyaku terbata.

“Kalo gue tahu, nama gue bukan Bayu Ananta, tapi mbah Bayu.”

Aku melirik sahabat si Adit yang tampak terpukau menatap bayi laki-laki itu. Meski begitu dia tidak kaget sama sekali, “Kok lo gak kaget. Jangan-jangan... itu anak lo ya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status