“Lo tuh kebiasaan ya! Gue ‘kan udah bilang baliknya jam lima. Lo malah jalan sama cewek lo dan ngelupain gue!” aku berteriak begitu mendengar jawaban mengesalkan si Adit.
“Eh, nyebelin lo ya! Pake teriak-teriak segala. Gue gak budek kalik, Ra!” “Ya elo nyebelin! Bukan budek lagi tahu gak, tapi Bolot. Gue ‘kan udah bilang tadi pagi waktu sarapan. Emang Oneng lo!” “Satu aja ya lo ngatain gue! Ngapa di borong?” “Suka-suka gue lah! Pokoknya gue gak mau tahu, gue pengen dijemput sekaraaaang!” Klik. Aku mematikan sambungan telpon dengan kakak tunggal nyebelin itu. Selain Bolot, dia emang Oneng, persis ucapanku beberapa detik lalu. Belum hilang rasa marahku, ponsel yang masih ku genggam bergetar pendek. Ada pesan singkat dari Adit Similikiti yang doyan mangkir dari jadwal mengantar jemputku sepulangnya kerja. Dia tuh sebenarnya sempat-sempat saja, cuma masalahnya tuh anak malesnya naudzubillah. Sok-soan sibuk dengan kehidupan dewasanya yang enggak banget. “Gue dijemput si Bayu? Bayu siapa?” Aku tak sempat berpikir, karena sebuah mobil Honda HR-V tiba-tiba berhenti di depan tubuhku yang sedikit sempoyongan karena lapar. Kaca mobilnya terbuka. “Ra, ayo.” “Ayo kemana?” tanyaku pada guru baru Bahasa Perancis. “Balik lah. Emang lo mau nginep disini? Buru!” “Si Adit bilang gue dijemput si Bayu.” Cowok usia dua puluh tujuh tahun itu membuang nafas malas, “Gue Bayu.” “Hah? Bukannya lo... Ananta?” “Bayu Ananta. Lo cuma panggil nama belakang gue aja. Buruan!” “Bentar kalik.” aku membuka pintu mobil dan duduk disebelah cowok sok kecakepan itu, “Cari makan dulu yuk. Laper nih.” “Ra, gue mau jalan sama cewek gue. Sekarang gue mau nganterin lo balik aja harusnya sujud syukur. Gak tahu diri!” “Dih. Yang gak tahu diri tuh elo. Lo lupa kenapa bisa jadian sama pacar lo? Itu karena hasil sketsa lukisan gue yang ciamik ya. Gak tahu terima kasih lo!” Bayu diam. Sepertinya dia baru mikir kalo mukanya yang ganteng itu bakal sangat percuma jika dijadikan pacar karena otaknya sedikit dodol. Untungnya aku pintar mencari peluang untuk menyerangnya seperti biasa. “Oke, gue hutang budi sama lo. Mau makan dimana?” tanyanya kemudian. “Ntar gue mikir dulu.” kataku sok jual mahal. Bayu yang tengah menyetir mengerem tiba-tiba. Dia menoleh dan menjitak kepalaku, “Ra, ini tuh Jakarta. Lo mikir lima menit aja udah membuang sisa waktu gue buat jemput pacar gue yang ada di Bekasi.” Aku mengusap kepalaku dan meringis menatapnya, “Lagian ngapain macarin mahluk beda planet sih? Nyusahin diri sendiri tahu gak!” “Ya terus gue harusnya macarin orang Jakarta gitu, misalnya siapa? Elo?” “Gue gak ngomong kayak gitu. Buat bayanginnya aja gak ada ya, Ta, lo jadi pacar gue. Soalnya lo tuh tua, bangkotan juga.” “Nama gue Bayu, berhenti panggil gue Ananta dan berhenti ledek gue tua.” protesnya lanjut menyetir. “Gue gak suka arti nama lo. Apaan Angin. Bisa-bisa hidup gue yang tenang ini berantakkan kalo gue deket-deket lo.” “Terserah. Kita makan di taman komplek rumah lo aja. Karena kalo makan di kafe, lo suka gak punya adab minta bayarin yang mahal-mahal.” “Cewek High Value kayak gue cuma di bawa ke taman komplek? Keterlaluan lo.” “Keterlaluan itu elo yang doyan morotin pacar orang.” “Liatnya jangan dari arah sana dong. Lo ‘kan sahabat dunia akhiratnya si Adit. Jadi hal yang wajar kalo lo bayarin adik imutnya ini.” “Huwek. Turun!” “Keterlaluan lo nurunin gue di tengah jalan! Angin!” Bayu tak menggubris suara kencangku. Dia keluar dari mobil lebih dulu. Aku pun mengedarkan mata indah ini ke sekeliling. Aku baru sadar sudah sampai. Aku juga baru ingat kalau Bayu membawa mobil dengan kecepatan setara Kijang berlari sedari tadi. “Pak, Siomaynya dua porsi. Yang satu campur yang satu Pare semua.” “Yang bener, mas?” bapak penjual menatap Bayu yang berwajah bule itu ragu. Aku melirik Bayu sinis. Aku juga curiga dengan pesanannya, “Yang Pare semua punya siapa?” “Elo lah. Muka lo asem tuh, perlu di seimbangkan sama yang pait.” Aku menggebug lengan kekar Bayu, “Pak, yang Pare buat supir saya nih.” “Supir?! Wah, kurang didik ya tuh mulut!” Bayu menyusulku duduk ditembok bawah pohon Mangga yang baru berbunga. Saat tengah sama-sama menikmati suasana sore yang ceria, dengan sinar matahari mengenai sebagian tubuh, serta suara anak-anak yang riang, Bayu tersenyum. “Gejala nih.” ledekku. Bayu tersenyum, “Gue suka anak kecil.” “Termasuk gue?” tunjukku pada diri sendiri. Bayu memasang wajah super datar, “Jenglot mah enggak.” Aku mengangkat tinggi-tinggi lengan kemejaku untuk kemudian menggebug lengan Bayu seperti biasa. Tapi tidak jadi karena bapak penjual Siomay sudah berdiri dihadapan kami membawa dua porsi berisi Siomay campur. “Makasih banyak ya, pak, gak jadi bikin yang isinya Pare semua.” ungkap Bayu memamerkan barisan giginya yang sebesar gigi Kuda. “Hehehe, soalnya kalian pesennya gak serius tadi. Dari pada mubadzir gak di makan, saya bikin campur aja. Silakan di nikmati mas, dek.” “Makasih, pak.” Bayu melirikku, “Makan, Ra.” “Ya iya lah di makan, masa gue goyang Dombretin.” “Ck, basa-basi doang gue.” Kami makan dalam keadaan tenang dan khidmat, bukan karena mahluk terpelajar, tapi karena takut keselek karena sangking cepatnya masing-masing menyuap. “Oaaaak.” terdengar sayup suara bayi. Bayu melirikku. “Apa?” “Lo gak denger suara barusan?” “Denger. Suara lo ngomong ‘kan?” “Bukan suara gue.” “Jelas lo ngomong barusan. Masa Pare yang ngomong?” Bayu sudah mengacungkan tangannya untuk menjitakku seperti biasa. “Apa? Lo ih, kalo gue geger otak gimana?” “Gak ada orang geger otak karena di jitak.” “Ada, gue!” “Oaaaaak.” “Tuh, denger, kedengeran gak?” “Oaaaak.” Aku menatap piring Siomay, “Itu suara Kentang Siomay?” Bayu ikut melirik piring milikku dengan polosnya, “Sejak kapan Kentang punya suara? Buka dong kuping lo lebar-lebar, itu suara bayi, Ra.” Aku menyimpan piring milikku lalu berdiri mencari sumber suara. Semakin dekat suara itu semakin terdengar jelas, “Ananta sini, suaranya makin jelas.” Bayu mengikuti kemana aku berjalan pelan. Aku menoleh menatap wajahnya yang bloon, “Itu mungkin gak ya suara bayi Thumbelina?” “Thumbelina apaan?” “Barbie.” jawabku tanpa dosa. Bayu meniup rambutku sehingga beberapa helainya mengenai pipi, “Keadaan lagi tegang gini lo malah bahas Barbie. Itu suara orok manusia, Ra. Dengerin dong.” “Oaaaaak-oaaaaak.” Suara bayi itu semakin kencang, membuatku kini bisa lebih mudah menyusurinya setelah berjalan beberapa langkah mendekati semak. “Ananta, sini, buru!” kataku sedikit panik. Bayu kini berdiri dibelakang tubuhku. Kami sama-sama bisa melihat bayi merah di sebuah keranjang yang diletakkan dibawah semak taman komplek. “Ananta, itu—ba-yi si-apa?” tanyaku terbata. “Kalo gue tahu, nama gue bukan Bayu Ananta, tapi mbah Bayu.” Aku melirik sahabat si Adit yang tampak terpukau menatap bayi laki-laki itu. Meski begitu dia tidak kaget sama sekali, “Kok lo gak kaget. Jangan-jangan... itu anak lo ya!”“Cuh-Cuh-Cuh!” Bayu membuang ludahnya beberapa kali, “Nyebut lo! Enak aja itu anak gue. Kenapa anak gue ada disana? Harusnya dia ada di rumah sakit lah sama ibunya. Inget ya, Ra, di rumah sakit mewah.” “Ya mana gue tahu. Gue cuma nebak karena wajahnya mirip lo.” “Emang iya? Bukannya wajahnya mirip lo?” Aku mengangkat hidung dengan jari telunjuk sehingga menampilkan hidung seperti Babi, “Nih, mirip sama gue!” “Udah lo, bercanda terus. Bawa bayinya.” “Kok gue?” “Karena lo... cewek.” “Apa urusannya?” “Bawa! Ngelawan mulu lo sama yang tua.” “Iya-iya. Ngatur mulu. Donatur lo?” Dengan mulut monyong karena menggerutu tidak jelas, aku memangku bayi merah itu. Begitu berhasil membawanya aku menyerahkan bayi itu pada Bayu, “Lo aja nih, masih kenyal banget, geli gue.” “Lo kata Yupi?” Bayu mengambil alih bayi yang terbalut kain bergambar Helikopter berwarna biru itu. Dia yang memang suka anak kecil, tersenyum menatap wajah bayi itu yang mendadak diam ketika digendongnya, “H
Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore. “Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.” Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.” “Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.” “Tapi kasian, Ra.” “Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.” Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.” “Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.” Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus. Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki a
“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.” Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.” “Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?” Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini. “Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya. “Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.” “Kok bisa? Elo sih teledor.” Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.” “Kok lo... bisa nangis?” “Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!” Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?” Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati ba
Aku melambaikan tangan ketika mobil ibu bergerak menjauhi pagar rumah. Ibu harus kembali ke Surabaya karena tidak ada pegawai kepercayaan disana. Aku membalikkan badan dan menatap Bayu yang duduk bersebelahan dengan Adit di kursi teras. “Ra,” Bayu berdiri, “Malam ini gue tidur dimana?” “Terserah lo lah.” “Kita—gak satu kamar?” Adit melirik Bayu yang bertanya seperti itu padaku, “Bay, sehat lo?” Bayu menggaruk kepalanya, “Kan gue cuma tanya.” Adit ikut berdiri dan mendorong kami untuk berkumpul di ruang tamu. Setelah menutup pintu, dia duduk dan menatap Bayu serius, “Bay, lo sadar ‘kan pernikahan ini tuh palsu? Kalian di nikahin paksa karena kasus si bayi merah itu?” Bayu mengangguk. “Terus? Kenapa lo pengen satu kamar sama adek gue?” “Kan gue udah bilang gue cuma tanya.” “Lo tidur disini aja, gue suka tidur disini.” Adit memukul sofa yang sedang di dudukkinya. “Tuh bener. Banyak tempat disini. Lo mau tidur sama si Adit juga gak masalah.” kataku menambahkan. Adi
Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah. Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar
“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng