Share

9. Bertemu Pacar Bayu

Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada.

Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah.

“Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal.

“Elo? Kok ada disini?”

“Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.”

“Mulai deh jumawanya. Ayo balik.”

“Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.”

Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.”

Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?”

“Ngggggg, gak papa.”

“Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.”

Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu.

“Lo kalo mau bareng sama gue, kita mampir dulu ke rumah sakit. Kita jemput Maira.”

Aku mengangguk. Aku harus tahu diri karena bagaimana pun Bayu sudah menyelamatkanku, “Yaudin ayok. Jalannya harus kayak tuan Crab, gue gak mau keliatan si Sean.”

“Sama bule aja takut lo. Ayok.”

Meski protes, Bayu menurut pada ucapanku. Dia berjalan seperti Kepiting, melewati banyak anak-anak kelasku yang berpencar. Ku lihat Nadia kembali ke kelas. Pasti ada barangnya yang tertinggal. Anak itu memang pelupa. Ia bahkan pernah lupa membawa tas ranselnya pulang. Lama-lama ia bisa lupa untuk pulang.

Aku berjinjit begitu mendekati mobil Bayu. Secepat kilat aku memasuki mobil. Nafasku terasa lega begitu sudah duduk nyaman di dalam.

Aku menunduk, karena baru ku lihat tali sepatuku terlepas. Ku ikat segera dari pada lupa dan berakhir jatuh. Mana sedang pergi dengan si Bayu, bisa tertawa puas dia melihatku menderita.

“....plis, pak, hari ini aja.”

“Tapi saya gak bisa. Saya... Karina!”

Aku melotot begitu handel pintu mobil bergerak. Refleks badanku sedang baik, sehingga ku tarik dari dalam.

“Saya ada urusan. Kamu pulang sama yang lain aja ya?” Bayu berdiri menahan pintu.

“Pak, kok susah dibukanya?”

“Hah?”

Ku tatap wajah bodoh si Bayu. Jangan-jangan dia ketakutan dan menyangka didalam mobilnya ada hantu, bukan diriku.

“Oh ini... macet deh kayaknya. Udah, kamu pulang sama yang lain ya.”

“Tapi, pak—”

Bayu menatap kaca mobilnya dari luar. Setelah otaknya berpikir bahwa aku menahannya dari dalam, dia berlari untuk segera membawa pergi mobilnya.

Dia masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman.

“Ananta, lock dong pintunya.” pintaku cepat karena Karina masih berusaha membuka pintu dengan paksa.

“Oh iya.”

Aku memutar mataku kesal. Setelah mobil bergerak, ku lipatkan tangan dan meliriknya kesal, “Jangan-jangan lo gak tahu lagi ada fitur lock pintu.”

“Tahu, tadi cuma panik.”

“Panik gak panik otak lo tetep sama, gak ada bedanya. Ngeblank terus.”

“Gak ada terima kasihnya lo, udah untung gue mau angkut lo.”

Aku menaikkan bibir atasku.

Selama perjalanan aku sibuk memutar radio, mencari lagu yang enak di dengar sore hari begini.

“Nanti begitu ketemu Maira lo diem aja, gak usah ngomong.”

“Siapa juga yang mau ngomong. Suara diva kayak gue tuh mahal, gak bisa sembarangan orang denger suara gue.”

“Lagak lo.”

Mobil berhenti tiba-tiba.

“Kita udah sampe?”

“Mau beli bunga dulu. Tunggu.”

Bayu keluar. Aku melirik pergerakannya memilih bunga yang akan ia beli. Dia mencium beberapa jenis bunga, lalu menyimpannya. Sebetulnya dia mau beli bunga apa sih?

Ku lihat pelayan toko membawa bunga dari dalam. Jadi si kampret sudah memesan duluan? Boleh juga idenya. Ku pikir dia adalah makhluk tidak romantis dan hanya jual tampang.

Bayu membuka pintu mobilku, “Pegang.”

Aku cengo. Dia memberiku bunga? Serius? Bunga mawar merah yang kira-kira berisi dua puluh tangkai ini untukku?

Di sisa perjalanan menuju rumah sakit kami tak saling bicara. Ku lirik wajahnya diam-diam. Tidak ada ekspresi mencurigakan yang jatuhnya akan ngeprank.

Hatiku tiba-tiba menghangat. Ini kali pertamanya aku menerima bunga. Ternyata senang juga ya diperhatikan seperti ini. Meski tidak jatuh cinta padanya, tetap saja rasanya senang.

“Turun. Bawa bunganya.” katanya begitu kita sampai di depan UGD rumah sakit.

“Hah?”

Bayu keluar dari mobil lebih dulu. Aku pun mengikutinya membawa bunga ini. Ternyata Maira, pacarnya yang seorang perawat Perina itu sudah berdiri menunggu jemputan.

“Sayang, maaf ya lama.” mereka berpelukan seperti Teletubis. Si Bayu memang mirip Tinkiwinkie sih.

“Gak papa,” Maira melepaskan pelukannya, ia melirikku sedikit kecewa. Mungkin dia terkejut melihat kekasihnya membawa calon artis besar dunia sepertiku, “Sayang, kok dia ikut?”

“Eu...” Bayu melirikku, diambilnya buket bunga itu dari pelukanku, “Ini bunga buat kamu sayang.”

Begitu bunga diambil aku sedikit kaget. Hampir saja aku mau protes, kenapa bungaku diambil, tapi otakku langsung mencerna bahwa aku hanya ditugaskan untuk memegangi buket bunganya agar tidak rusak.

Maira tak tampak senang menerima bunga itu, ia terus melirikku, “Sayang, dia... bisa ‘kan kamu suruh pulang? Aku mau kita cuma makan berdua.”

Bayu melirikku. Aku juga meliriknya. Ku tunggu jawaban yang akan dikeluarkan mulutnya yang melongo.

“Eu... tapi...”

Kita lihat, apakah ia tega memintaku pulang sendiri?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status