Aku belum bicara lagi dengan si Bayu dari semalam. Dia keterlaluan. Sudah ku jauhkan dari jangkauan aset berharga yang tak boleh di lihat, ia malah menghampiriku diam-diam demi bisa melihat bentuknya. “Baru segitu doang. Gak gue apa-apain juga.” katanya bela diri, ketika kita ada di perjalanan ke sekolah. “Lo mana ngerti sih. Tetek lo ‘kan gak berharga.” Dia dengan polosnya menyentuh sebelah payudara miliknya. Kita saling diam lagi. Selain kesal, aku juga ngantuk. Semalam, setelah aksi dia mengintip, Askara tak langsung tidur. Kita bergadang gantian sampai subuh. Ternyata menjadi orang tua baru memang tidak pernah semudah itu. “Gue pulang agak sore. Ada kuis di kelas lain dan gue perlu imput nilai.” “Terserah.” Bayu melirikku, “Mau pulang bareng gue lagi gak?” “Itu bukan pertanyaan. Itu syarat mutlak dari bokap lo. Gue bisa pulang sama si Adit, gak perlu nungguin elo yang malah suka sibuk tebar pesona di sekolah. Euh, kalo si Maira tahu bisa diputusin lo.” “Dia gak s
Aku melewati Sean karena merasa tak perlu membalas pertanyaan. Mana mungkin aku bilang baru saja payudaraku yang suci menempel pada dada si Bayu. Aku yakin Sean tidak akan berkomentar apapun, tapi risih saja mengatakannya. Aku masuk kelas dan duduk di meja, merebut kipas angin mini milik Nadia dan mengipasi leherku yang tiba-tiba berkeringat. “Buku gue aman ‘kan?” “Aman, gue taro dibawah meja lo.” Aku duduk bersandar di kursi. Belum selesai mengistirahatkan badan dan pikiran, si Karina datang bersama genk Barbienya itu. “Mau apa? Masih pagi jangan cari perkara sama gue.” gertakku. “Geer, siapa yang mau ganggu lo. Gue cuma mau...” Karina mendekatkan badannya padaku, “Nanya. Lo semiskin itu sampe harus nebeng sama pak Bayu tiap hari?” Aku tertawa, “Harus banget lo tahu?” “Tinggal jawab aja.” “Gue gak miskin, Karina.” “Terus kenapa lo terus nempelin pak Bayu gue?” “Pak Bayu gue,” ledekku, “Dia punya orang tuanya, gak usah ngaku-ngaku.” “Lo gak takut sama gue? Masi
“Oke.” jawabku pelan. “Serius?” biji mata Sean nyaris keluar karena mungkin dia tidak menyangka aku akan menjawab begitu. “Hm.” “Kamu gak akan ngilang lagi ‘kan kayak kemarin?” “Hah? Hilang gimana?” telisikku. “Kamu ngilang gitu aja kemarin. Begitu aku beresin buku, kamu udah gak ada di kelas.” Aku tertawa, ku pukul juga lengannya sok asik, “Ah masa? Aku ada kok. Kamu aja gak liat.” Sean diam sejenak, "Hehe, iya kali ya.” Aku berdiri ketika melihat Bayu keluar dari kelas yang sedang ia ajar. Aku ada perlu dengannya, “Sean, aku duluan ya. Aku kebelet pipis.” Aku berlari melewati jalan menuju toilet agar Sean tidak curiga. Setelah aman, aku berlari ke arah dimana Bayu ternyata akan ke toilet, “Bay.” “Lo ngapain disini?” Aku menarik lengannya, “Ini gawat, tolong nanti kita pulang cepet lagi kayak kemaren ya? Plisss.” “Lo pikun? Gue ‘kan udah bilang gue ha
Aku turun dari motor, dia juga begitu. “Kenapa lo mau cerai sama si Bayu?” muka Adit sangat seram ketika bertanya begitu. “Soalnya dia gak bisa kasih gue duit yang dia janjiin. Lo ‘kan tahu alesan gue mau nikah sama dia karena duit itu. Tapi yang gue dapet malah penderitaan karena harus ngurus si Askara yang rewel.” Adit membuka helmetnya, “Nanti si Bayu pasti kasih duitnya ke elo kok.” “Lo juga jadi pihak yang di rugikan. Lo malah dimintai dana buat kelangsungan hidup bayi sialan itu.” Wajah Adit berubah salah tingkah, “Gue—gue gak papa kok. Itung-itung sedekah. Gimana pun tuh bayi kita gak tahu keluarganya dimana.” “Kok lo gak kesel sih sama si Bayu? Lo juga menyetujui adanya pernikahan palsu ini karena uang itu ‘kan?” Adit memegangi kedua bahuku, “Lo denger baik-baik ya, kalo lo cerai sekarang gak baik buat ke depannya. Nanti lo susah pas mau nikah lagi begitu orang tahu riwayat hidup lo. Mereka akan tan
Bayu berjalan melewati papa dan aku yang masih diam ditengah tangga. Ia pasti marah karena papa memintanya ke sekolah naik angkot. Aku turun dari tangga, “Pa, jangan marahin si—eh, maksudnya kak Bayu. Kasian.” “Ra, kamu yang kasian kalo papa gak tegas. Bayu memang harus putus dari Maira karena dia udah jadi suami kamu.” Geli sekali bulu kudukku mendengarnya, “Pa, aku ke kamar Askara dulu ya.” “Iya.” Aku memasuki kamar Askara. Disana mama tertidur setelah menemani Askara sedari aku izin untuk mengerjakan PR. Beruntung sekali aku memiliki mertua sebaik papa dan mama yang selalu banyak membantuku. “Ma,” aku menyentuh lengan mama, “Mama tidurnya di kamar yuk.” Mama bangun, “Eh, Ra.” Aku duduk di sofa samping mama, “Ma, maaf ya, yang ngasuh Askara jadi mama.” “Gak papa, ‘kan kamu sekolah, malemnya harus ngerjain PR. Ra, pendidikan kamu itu paling penting. Mama gak keberatan sama sekali kok
Aku selesai sarapan lebih dulu dari yang lain. Aku membersihkan mulutku dengan serbet khusus yang biasanya aku temukan di restoran mewah dan besar yang langka ku kunjungi. Tak pernah kusangka, bahwa aku akan menemukan serbet ini setiap hari di rumah si Bayu. “Kalian pulangnya jam berapa hari ini?” tanya papa. “Aku gak ada ekskul, jadi bubarnya jam tiga. Kak Bayu gak tahu.” “Aku mau input nilai kuis, pa.” Papa diam sejenak, “Input aja nilainya di rumah.” “Hm.” Papa melirikku, “Kamu mau bawa mobil sendiri atau bareng sama papa?” Aku melirik si Bayu yang terlihat sangat kesal. Papa benar-benar mengambil remot mobilnya sebelum sarapan tadi. “Eum, kalo boleh aku mau bawa mobil sendiri, gak papa ‘kan, pa?” “Gak papa dong, Ra. Papa beli mobil emang untuk anak yang gampang di atur aja. Kalo anak keras kepala dan susah di atur, ya mobilnya papa ambil lagi.” Mama yang sedang mengaduk
“Anak bau kencur gak usah ikut campur.” bisiknya lalu pergi begitu saja. Aku melotot begitu mendengar jawaban dari pertanyaan serius yang aku berikan pada Bayu. Ku pukul lengannya hingga dia berjinjit menghindariku. “Gila ya, gue tanya serius juga. Eh, gue tuh berniat bantuin lo kalo misal—” sadar ada beberapa orang yang ada disana, aku diam. Akan ku tahan amarahku hingga jam pulang tiba. Aku menjalani hariku sebaik mungkin. Siang ini ada tes bahasa Prancis yang tertunda karena hari itu, si Bayu menikahiku. Padahal aku sudah senang kegirangan tidak perlu melakukan tes itu. Aku lupa, bahwa guru bahasa Prancisnya adalah suamiku sendiri. Di kelas, ketika baru menyimpan tas. Karina dan genk gak pentingnya itu duduk di mejanya paling depan. Mereka terus melirik ke arahku. Tak ku hiraukan tatapan itu. “Ra, lo udah ngapalin ‘kan?” Nadia sibuk memasang kuku palsu sambil mendengar rekaman orang sedang mengobrol dalam bahasa Prancis.
“Pak, saya—mau tes sendiri aja.” “Hm?” Bayu terkejut mendengar permintaanku yang dadakan. “Ra, kenapa? Kamu tinggal bilang yang udah kamu hapal tadi.” “Nanti nilai kamu kecil, Sean, kita sendiri-sendiri aja ya? Boleh ‘kan, pak?” Bayu tampak menimbang. Aku tahu dia tidak bisa seenak jidat memperbolehkanku berhenti begini karena ada anak-anak lain. Tapi kali ini aku berharap dia memperbolehkan aku dan Sean melakukan tes secara terpisah. “Pak, kita akan tes berpasangan. Kita minta waktu sebentar untuk mempersiapkan diri.” Sean menarik lenganku dan kembali ke mejaku. “Sean—” “Kamu mau bikin aku kecewa?” “Aku cuma gak mau nilai kamu kecil.” “Nilai itu urusan pak Bayu, bukan kamu. Aku tahu kamu tegang. Maaf tadi aku gak izin sama kamu untuk angkat tangan. Kita liat beberapa peserta lain, baru maju ya?” “Tapi—” “Aku gak menerima penolakkan, Ra.” Sean sibuk men