“Oke.” jawabku pelan.
“Serius?” biji mata Sean nyaris keluar karena mungkin dia tidak menyangka aku akan menjawab begitu. “Hm.” “Kamu gak akan ngilang lagi ‘kan kayak kemarin?” “Hah? Hilang gimana?” telisikku. “Kamu ngilang gitu aja kemarin. Begitu aku beresin buku, kamu udah gak ada di kelas.” Aku tertawa, ku pukul juga lengannya sok asik, “Ah masa? Aku ada kok. Kamu aja gak liat.” Sean diam sejenak, "Hehe, iya kali ya.” Aku berdiri ketika melihat Bayu keluar dari kelas yang sedang ia ajar. Aku ada perlu dengannya, “Sean, aku duluan ya. Aku kebelet pipis.” Aku berlari melewati jalan menuju toilet agar Sean tidak curiga. Setelah aman, aku berlari ke arah dimana Bayu ternyata akan ke toilet, “Bay.” “Lo ngapain disini?” Aku menarik lengannya, “Ini gawat, tolong nanti kita pulang cepet lagi kayak kemaren ya? Plisss.” “Lo pikun? Gue ‘kan udah bilang gue haAku turun dari motor, dia juga begitu. “Kenapa lo mau cerai sama si Bayu?” muka Adit sangat seram ketika bertanya begitu. “Soalnya dia gak bisa kasih gue duit yang dia janjiin. Lo ‘kan tahu alesan gue mau nikah sama dia karena duit itu. Tapi yang gue dapet malah penderitaan karena harus ngurus si Askara yang rewel.” Adit membuka helmetnya, “Nanti si Bayu pasti kasih duitnya ke elo kok.” “Lo juga jadi pihak yang di rugikan. Lo malah dimintai dana buat kelangsungan hidup bayi sialan itu.” Wajah Adit berubah salah tingkah, “Gue—gue gak papa kok. Itung-itung sedekah. Gimana pun tuh bayi kita gak tahu keluarganya dimana.” “Kok lo gak kesel sih sama si Bayu? Lo juga menyetujui adanya pernikahan palsu ini karena uang itu ‘kan?” Adit memegangi kedua bahuku, “Lo denger baik-baik ya, kalo lo cerai sekarang gak baik buat ke depannya. Nanti lo susah pas mau nikah lagi begitu orang tahu riwayat hidup lo. Mereka akan tan
Bayu berjalan melewati papa dan aku yang masih diam ditengah tangga. Ia pasti marah karena papa memintanya ke sekolah naik angkot. Aku turun dari tangga, “Pa, jangan marahin si—eh, maksudnya kak Bayu. Kasian.” “Ra, kamu yang kasian kalo papa gak tegas. Bayu memang harus putus dari Maira karena dia udah jadi suami kamu.” Geli sekali bulu kudukku mendengarnya, “Pa, aku ke kamar Askara dulu ya.” “Iya.” Aku memasuki kamar Askara. Disana mama tertidur setelah menemani Askara sedari aku izin untuk mengerjakan PR. Beruntung sekali aku memiliki mertua sebaik papa dan mama yang selalu banyak membantuku. “Ma,” aku menyentuh lengan mama, “Mama tidurnya di kamar yuk.” Mama bangun, “Eh, Ra.” Aku duduk di sofa samping mama, “Ma, maaf ya, yang ngasuh Askara jadi mama.” “Gak papa, ‘kan kamu sekolah, malemnya harus ngerjain PR. Ra, pendidikan kamu itu paling penting. Mama gak keberatan sama sekali kok
Aku selesai sarapan lebih dulu dari yang lain. Aku membersihkan mulutku dengan serbet khusus yang biasanya aku temukan di restoran mewah dan besar yang langka ku kunjungi. Tak pernah kusangka, bahwa aku akan menemukan serbet ini setiap hari di rumah si Bayu. “Kalian pulangnya jam berapa hari ini?” tanya papa. “Aku gak ada ekskul, jadi bubarnya jam tiga. Kak Bayu gak tahu.” “Aku mau input nilai kuis, pa.” Papa diam sejenak, “Input aja nilainya di rumah.” “Hm.” Papa melirikku, “Kamu mau bawa mobil sendiri atau bareng sama papa?” Aku melirik si Bayu yang terlihat sangat kesal. Papa benar-benar mengambil remot mobilnya sebelum sarapan tadi. “Eum, kalo boleh aku mau bawa mobil sendiri, gak papa ‘kan, pa?” “Gak papa dong, Ra. Papa beli mobil emang untuk anak yang gampang di atur aja. Kalo anak keras kepala dan susah di atur, ya mobilnya papa ambil lagi.” Mama yang sedang mengaduk
“Anak bau kencur gak usah ikut campur.” bisiknya lalu pergi begitu saja. Aku melotot begitu mendengar jawaban dari pertanyaan serius yang aku berikan pada Bayu. Ku pukul lengannya hingga dia berjinjit menghindariku. “Gila ya, gue tanya serius juga. Eh, gue tuh berniat bantuin lo kalo misal—” sadar ada beberapa orang yang ada disana, aku diam. Akan ku tahan amarahku hingga jam pulang tiba. Aku menjalani hariku sebaik mungkin. Siang ini ada tes bahasa Prancis yang tertunda karena hari itu, si Bayu menikahiku. Padahal aku sudah senang kegirangan tidak perlu melakukan tes itu. Aku lupa, bahwa guru bahasa Prancisnya adalah suamiku sendiri. Di kelas, ketika baru menyimpan tas. Karina dan genk gak pentingnya itu duduk di mejanya paling depan. Mereka terus melirik ke arahku. Tak ku hiraukan tatapan itu. “Ra, lo udah ngapalin ‘kan?” Nadia sibuk memasang kuku palsu sambil mendengar rekaman orang sedang mengobrol dalam bahasa Prancis.
“Pak, saya—mau tes sendiri aja.” “Hm?” Bayu terkejut mendengar permintaanku yang dadakan. “Ra, kenapa? Kamu tinggal bilang yang udah kamu hapal tadi.” “Nanti nilai kamu kecil, Sean, kita sendiri-sendiri aja ya? Boleh ‘kan, pak?” Bayu tampak menimbang. Aku tahu dia tidak bisa seenak jidat memperbolehkanku berhenti begini karena ada anak-anak lain. Tapi kali ini aku berharap dia memperbolehkan aku dan Sean melakukan tes secara terpisah. “Pak, kita akan tes berpasangan. Kita minta waktu sebentar untuk mempersiapkan diri.” Sean menarik lenganku dan kembali ke mejaku. “Sean—” “Kamu mau bikin aku kecewa?” “Aku cuma gak mau nilai kamu kecil.” “Nilai itu urusan pak Bayu, bukan kamu. Aku tahu kamu tegang. Maaf tadi aku gak izin sama kamu untuk angkat tangan. Kita liat beberapa peserta lain, baru maju ya?” “Tapi—” “Aku gak menerima penolakkan, Ra.” Sean sibuk men
Ketika Sean mengungkapkan perasaannya, Bayu mendadak dipanggil komite sekolah. Biasanya ada rapat rutin yang di adakan yayasan. Mau tak mau dia memang harus ikut. Secara gitu dia pewaris tunggal yayasan ini. “Pak, tolong keluar kalo saya abis tesnya dong.” Kia memohon. “Minggu depan aja ya, bareng sama Karina. Masih ada beberapa lagi ‘kan yang belum tes.” “Yaaah, baik deh, pak.” Kia kembali ke meja dengan muka yang kusut. “Oke, temen-temen, kita lanjutin tes percakapannya minggu depan ya. Hari selasa. Bagi yang belum, saya harap nilai kalian lebih bagus dari yang sudah karena waktu latihannya panjang banget loh.” Karina menutup bukunya, ia menatap Bayu penuh cinta seperti biasa, “Pak Bayu, makasih banyak ya, saya jadi punya kesempatan untuk menghapal.” “Sama-sama Karina. Kalau begitu saya, permisi. Bonjour.” “Bonjour.” Bayu keluar dari kelas, berbarengan dengan masuknya pak Andre yang memang jadw
“Dia--dia tuh ribet banget, Ra. Pokoknya nanti lo jangan kelepasan manggil gue Ananta ya, awas lo!” “Beberapa hari ini rasanya mulut gue lagi baik deh, gue selalu manggil, Bay, Bayu, Bayuuuuuuu.” “Gak usah di contohin kali.” Ku lirik wajahnya yang seperti nahan eek, “Kenapa sih lo, ketemu aki-aki doang.” “Kakek gue bukan sembarang aki-aki.” “Dia umuran berapa sih?” “Umuran...” “Seumuran lo ada? Hahaha.” Bayu meniup rambutku. Mobil berhenti di depan teras. Setelah Bayu turun, aku berniat memasukkannya ke dalam garasi, tapi supir pribadi papa menghampiriku. “Non Aura, biar bapak yang parkirin.” “Oh, ya udah, pak, makasih ya.” Aku masuk ke dalam rumah. Semua orang sibuk sekali. Ada yang mengganti seluruh bunga di meja, ada yang mengelap nakas, dan lain sebagainya. Mama yang sibuk menjadi mandor menghampiriku yang baru masuk, “Aura, kamu mandi dulu ya, soalnya nanti ada MUA yang mau dandanin kamu. Kakek mau kesini.” “Iya, tadi kak Bayu udah bilang, ma. Tapi—ken
Setelah makan malam dan berbincang ringan dengan kakek, aku pamit ke kamar duluan. Karena besok libur sekolah, aku membawa Askara untuk tidur bersamaku, sehingga sekalipun harus bergadang, itu tidak masalah. Aku sudah mengganti baju mengenakan piyama. Ku lirik Askara yang masih tidur. Karena belum mengantuk, aku menyempatkan diri untuk melukis. Ku siapkan semua peralatannya dan bersiap untuk membuat lukisan bunga mawar yang Sean berikan tadi sore. “Oaaak.” Aku membuang nafas pelan. Belum sampai si koas mengenai kanvas, si bandit sudah menangis. Aku terpaksa menggendongnya. “Cup-cup-cup. Askara bobo ya, ini udah malem.” Tumben-tumbenan, baru berkeliling kamar sekali, dia sudah berhenti menangis. Dia tidak tidur. Matanya yang belo mirip dengan si Bayu menatapku. “Seneng lo ya ganggu gue. Kalo lo gak ngantuk gak usah nangis, resek. Lo diem aja, chill, menikmati posisi jadi bagian pewaris kekayaan keluarga Anan