Ketika Sean mengungkapkan perasaannya, Bayu mendadak dipanggil komite sekolah. Biasanya ada rapat rutin yang di adakan yayasan. Mau tak mau dia memang harus ikut. Secara gitu dia pewaris tunggal yayasan ini.
“Pak, tolong keluar kalo saya abis tesnya dong.” Kia memohon. “Minggu depan aja ya, bareng sama Karina. Masih ada beberapa lagi ‘kan yang belum tes.” “Yaaah, baik deh, pak.” Kia kembali ke meja dengan muka yang kusut. “Oke, temen-temen, kita lanjutin tes percakapannya minggu depan ya. Hari selasa. Bagi yang belum, saya harap nilai kalian lebih bagus dari yang sudah karena waktu latihannya panjang banget loh.” Karina menutup bukunya, ia menatap Bayu penuh cinta seperti biasa, “Pak Bayu, makasih banyak ya, saya jadi punya kesempatan untuk menghapal.” “Sama-sama Karina. Kalau begitu saya, permisi. Bonjour.” “Bonjour.” Bayu keluar dari kelas, berbarengan dengan masuknya pak Andre yang memang jadw“Dia--dia tuh ribet banget, Ra. Pokoknya nanti lo jangan kelepasan manggil gue Ananta ya, awas lo!” “Beberapa hari ini rasanya mulut gue lagi baik deh, gue selalu manggil, Bay, Bayu, Bayuuuuuuu.” “Gak usah di contohin kali.” Ku lirik wajahnya yang seperti nahan eek, “Kenapa sih lo, ketemu aki-aki doang.” “Kakek gue bukan sembarang aki-aki.” “Dia umuran berapa sih?” “Umuran...” “Seumuran lo ada? Hahaha.” Bayu meniup rambutku. Mobil berhenti di depan teras. Setelah Bayu turun, aku berniat memasukkannya ke dalam garasi, tapi supir pribadi papa menghampiriku. “Non Aura, biar bapak yang parkirin.” “Oh, ya udah, pak, makasih ya.” Aku masuk ke dalam rumah. Semua orang sibuk sekali. Ada yang mengganti seluruh bunga di meja, ada yang mengelap nakas, dan lain sebagainya. Mama yang sibuk menjadi mandor menghampiriku yang baru masuk, “Aura, kamu mandi dulu ya, soalnya nanti ada MUA yang mau dandanin kamu. Kakek mau kesini.” “Iya, tadi kak Bayu udah bilang, ma. Tapi—ken
Setelah makan malam dan berbincang ringan dengan kakek, aku pamit ke kamar duluan. Karena besok libur sekolah, aku membawa Askara untuk tidur bersamaku, sehingga sekalipun harus bergadang, itu tidak masalah. Aku sudah mengganti baju mengenakan piyama. Ku lirik Askara yang masih tidur. Karena belum mengantuk, aku menyempatkan diri untuk melukis. Ku siapkan semua peralatannya dan bersiap untuk membuat lukisan bunga mawar yang Sean berikan tadi sore. “Oaaak.” Aku membuang nafas pelan. Belum sampai si koas mengenai kanvas, si bandit sudah menangis. Aku terpaksa menggendongnya. “Cup-cup-cup. Askara bobo ya, ini udah malem.” Tumben-tumbenan, baru berkeliling kamar sekali, dia sudah berhenti menangis. Dia tidak tidur. Matanya yang belo mirip dengan si Bayu menatapku. “Seneng lo ya ganggu gue. Kalo lo gak ngantuk gak usah nangis, resek. Lo diem aja, chill, menikmati posisi jadi bagian pewaris kekayaan keluarga Anan
Aku tertawa, “Suka? Cuma karena gue melindungi lo barusan lo berpikir gue menaruh perasaan sama lo? Lawak lo. Mana ada gue suka sama cowok semprul modelan lo begini. Karena kenal dari kecil, gue tahu banget sifat jelek lo sampe akar-akarnya. Gak ada celah sedikit pun buat gue suka sama lo.” “Bagus kalo gitu, gue lega dengernya. Mulai sekarang, lo gak perlu lagi belain gue depan kakek. Lo urus aja kehidupan menyedihkan lo itu.” “Menyedihkan? Apanya yang menyedihkan?” aku mulai naik darah. “Karena gak pernah ada cowok manapun yang deketin lo. Mereka keburu takut sama sifat lo yang berasal dari keluarga—” “Kenapa berhenti? Lanjutin ngomongnya!” “Udah, gue mau bersih-bersih.” Bayu nyelonong masuk kamar mandi. “Sana lo tidur aja di kamar mandi bareng sama nyamuk!” teriakku. Aku terlanjur kesal karena ku tahu arah ucapannya barusan mau kemana. Aku membereskan alat-alat lukisku. Tak akan benar. Lukisannya tidak ak
Aku menggeliat nikmat ketika terdengar suara ketukan mama dipintu yang meminta kami bangun. Aku serasa tinggal bersama ibu, dimana tidak perlu memasang alarm karena pasti akan dibangunkan. Ketika membuka mata, aku melotot amat kaget ketika melihat wajah si Bayu sangat dekat denganku. “Pait-pait-pait.” Bayu terbangun sekaligus, “Apa sih lo, heboh banget.” Ku tendang kakinya yang menempel dengan kakiku. Ku usap-usap seluruh permukaan kulit yang terkena kulitnya. “Sok bersih lo. Gue mandi kali kemaren, pake di bersihin segala.” “Lagian kenapa lo tidur disini? Bukannya semalem lo tidur di box?” “Pegel kaki gue nekuk terus. Ini tuh kamar gue ya, Ra, yang numpang tuh elo. Bisa-bisanya lo bersikap seolah gue yang numpang disini.” “Masalahnya lo tuh nempel terus sama gue. Jijik tahu gak!” “Gue udah bilang gue mandi, kulit gue bersih nih, gak ada tuh budugan atau bekas cacar.” “Silu
Aku berjalan cepat meninggalkan si Bayu yang kesusahan berlari karena mendorong stroller Askara. “Ra, gue gak tahu nyokap bokap bilang gitu sama dokter Vanya.” Aku menoleh, “Lo pikir gue pabrik anak? Minta cucu kayak minta telor gulung.” “Ya ‘kan lo gak akan pernah kasih. Emang lo berniat kasih mereka cucu beneran?” Aku diam tiba-tiba. Iya juga ya. “Gak usah terlalu ditanggepin. Itu cuma harapan mereka aja pengen banyak anak kecil di rumah, karena mereka ngerasain betapa kesepiannya cuma punya satu anak.” “Ya udah kita pulang.” “Tunggu bentar, gue mau ketemu Maira.” “Punya nyali lo ketemu dia tanpa bawa hasil tes DNA?” “Dia pasti bisa maafin gue.” Bayu memberikan pegangan stroller padaku. “Jangan lama-lama.” “Iyaaaa.” Bayu berlari ke arah ruang Perina. Mereka mungkin sudah janjian. Aku juga tidak peduli sih. Ku dorong stroller dan duduk di kursi kosong
Senin pagi adalah hari paling menyebalkan di dunia. Tidak, itu berlebihan. Senin pagi adalah hari paling menyebalkan di kalangan anak sekolah, ya, upacara. Tapi meski begitu kami tetap mengikuti upacara dengan baik. Aku yang berbadan jangkung, berbaris paling belakang bersama Nadia. Dan setiap kali Bayu mondar-mandir bagai petugas sipir yang siap memberi hukuman pada yang ngobrol ditengah pembina upacara memberi pidato, aku membuang nafas. “Lo sakit?” sikut Nadia, dia juga menatap wajahku yang terus berkeringat. Aku menggeleng, “Enggak kok, panas doang.” “Gak ada yang ngobrol ya. Dengerin tuh pembina upacara.” tegur Bayu sok galak. Sinar matahari yang menyinari terlalu semangat, membuat beberapa orang di barisan pingsan. Hal itu membuatku dan Nadia harus maju ke depan untuk menutup barisan. Baru satu detik maju barisan, beberapa anak laki-laki kelasku tertawa pelan. Aku melirik Nadia untuk mencari tahu apa yang mereka tertawakan. “Ada apa sih?” Nadia mengangkat bahu ringan, “
Ketika kembali ke kelas setelah berganti rok, aku mendapati ada sebuah paper bag diatas meja. Nadia yang tak ada ditempat membuatku mengedarkan mata untuk tahu apakah barang itu adalah milikku atau milik orang lain. Aku duduk dibangku, berusaha mengacuhkan paper bag itu. Aku mengeluarkan semua buku dan alat tulis. “Ra,” Sean berdiri disamping meja, “Aku bawain jamu buat haid. Aku pikir itu bisa bantu kram perutnya. Ada coklat juga buat jaga mood kamu.” Aku menahan senyum mendengar penuturan Sean. Fix sih aku sedang jatuh cinta padanya. Buktinya aku bisa merasakan apa yang Adit laporkan dulu ketika sedang jatuh cinta juga. “Makasih,” kataku singkat. Mulutku berubah kelu dan tak mau bicara panjang. “Oyah, nanti lunch bareng mau gak? Ada stand baru di kantin.” “Hm, boleh.” “Tapi... cuma kita berdua aja.” Aku melirik bangku Nadia yang masih kosong. “Aku gak bicarain Nadia. Tapi... pak Bayu.” Aku menatap wajah Sean yang berhati-hati menyebut nama Bayu. Sepertinya dia sa
Mama menoleh mendengar ajakanku untuk pacaran pada Sean. Aku menurunkan kedua tanganku dari pipinya, “Maksudnya ayo kita makan, aku laper.” Sean berjalan membuntutiku. Sedang mama berdiri terpaku memangku Askara. Aku tahu mama pasti terkejut mendengar ucapanku. Atau mungkin kecewa karena menantunya ini sudah tidak pernah membantu mengurus anaknya, memegang Askara hanya jika sempat, sekarang malah cari masalah lain dengan nembak teman sekelasnya di depannya sendiri. Selama makan, mama terlihat lesu. Sudah pasti ini karena ulahku tadi. Aku sedikit merasa bersalah. Nanti begitu Sean pulang, aku akan minta maaf pada mama. “Ma, aku laper.” Bayu yang baru sampai berteriak kencang seperti anak kecil, “Ma, mama masak a-pa?” dia langsung berdiri di ujung ruang makan begitu melirik Sean yang duduk disampingku. Sean berdiri, “Selamat sore pak.” “Iya, sore.” Bayu berjalan mendekati meja, “Aku makannya nanti aja.” “Pak, saya langsung pulang kok, silakan kalo bapak mau makan.” “Gak