Aku berjalan cepat meninggalkan si Bayu yang kesusahan berlari karena mendorong stroller Askara.
“Ra, gue gak tahu nyokap bokap bilang gitu sama dokter Vanya.” Aku menoleh, “Lo pikir gue pabrik anak? Minta cucu kayak minta telor gulung.” “Ya ‘kan lo gak akan pernah kasih. Emang lo berniat kasih mereka cucu beneran?” Aku diam tiba-tiba. Iya juga ya. “Gak usah terlalu ditanggepin. Itu cuma harapan mereka aja pengen banyak anak kecil di rumah, karena mereka ngerasain betapa kesepiannya cuma punya satu anak.” “Ya udah kita pulang.” “Tunggu bentar, gue mau ketemu Maira.” “Punya nyali lo ketemu dia tanpa bawa hasil tes DNA?” “Dia pasti bisa maafin gue.” Bayu memberikan pegangan stroller padaku. “Jangan lama-lama.” “Iyaaaa.” Bayu berlari ke arah ruang Perina. Mereka mungkin sudah janjian. Aku juga tidak peduli sih. Ku dorong stroller dan duduk di kursi kosongSenin pagi adalah hari paling menyebalkan di dunia. Tidak, itu berlebihan. Senin pagi adalah hari paling menyebalkan di kalangan anak sekolah, ya, upacara. Tapi meski begitu kami tetap mengikuti upacara dengan baik. Aku yang berbadan jangkung, berbaris paling belakang bersama Nadia. Dan setiap kali Bayu mondar-mandir bagai petugas sipir yang siap memberi hukuman pada yang ngobrol ditengah pembina upacara memberi pidato, aku membuang nafas. “Lo sakit?” sikut Nadia, dia juga menatap wajahku yang terus berkeringat. Aku menggeleng, “Enggak kok, panas doang.” “Gak ada yang ngobrol ya. Dengerin tuh pembina upacara.” tegur Bayu sok galak. Sinar matahari yang menyinari terlalu semangat, membuat beberapa orang di barisan pingsan. Hal itu membuatku dan Nadia harus maju ke depan untuk menutup barisan. Baru satu detik maju barisan, beberapa anak laki-laki kelasku tertawa pelan. Aku melirik Nadia untuk mencari tahu apa yang mereka tertawakan. “Ada apa sih?” Nadia mengangkat bahu ringan, “
Ketika kembali ke kelas setelah berganti rok, aku mendapati ada sebuah paper bag diatas meja. Nadia yang tak ada ditempat membuatku mengedarkan mata untuk tahu apakah barang itu adalah milikku atau milik orang lain. Aku duduk dibangku, berusaha mengacuhkan paper bag itu. Aku mengeluarkan semua buku dan alat tulis. “Ra,” Sean berdiri disamping meja, “Aku bawain jamu buat haid. Aku pikir itu bisa bantu kram perutnya. Ada coklat juga buat jaga mood kamu.” Aku menahan senyum mendengar penuturan Sean. Fix sih aku sedang jatuh cinta padanya. Buktinya aku bisa merasakan apa yang Adit laporkan dulu ketika sedang jatuh cinta juga. “Makasih,” kataku singkat. Mulutku berubah kelu dan tak mau bicara panjang. “Oyah, nanti lunch bareng mau gak? Ada stand baru di kantin.” “Hm, boleh.” “Tapi... cuma kita berdua aja.” Aku melirik bangku Nadia yang masih kosong. “Aku gak bicarain Nadia. Tapi... pak Bayu.” Aku menatap wajah Sean yang berhati-hati menyebut nama Bayu. Sepertinya dia sa
Mama menoleh mendengar ajakanku untuk pacaran pada Sean. Aku menurunkan kedua tanganku dari pipinya, “Maksudnya ayo kita makan, aku laper.” Sean berjalan membuntutiku. Sedang mama berdiri terpaku memangku Askara. Aku tahu mama pasti terkejut mendengar ucapanku. Atau mungkin kecewa karena menantunya ini sudah tidak pernah membantu mengurus anaknya, memegang Askara hanya jika sempat, sekarang malah cari masalah lain dengan nembak teman sekelasnya di depannya sendiri. Selama makan, mama terlihat lesu. Sudah pasti ini karena ulahku tadi. Aku sedikit merasa bersalah. Nanti begitu Sean pulang, aku akan minta maaf pada mama. “Ma, aku laper.” Bayu yang baru sampai berteriak kencang seperti anak kecil, “Ma, mama masak a-pa?” dia langsung berdiri di ujung ruang makan begitu melirik Sean yang duduk disampingku. Sean berdiri, “Selamat sore pak.” “Iya, sore.” Bayu berjalan mendekati meja, “Aku makannya nanti aja.” “Pak, saya langsung pulang kok, silakan kalo bapak mau makan.” “Gak
Aku menutup buku pelajaran Kimia yang baru saja Prnya ku selesaikan. Aku tidur telentang menatap langit-langit kamar. Rasanya lega kembali berada disini, menikmati sembilir angin dari jendela yang dibuka lebar-lebar. “Ra, Ikan gorengnya udah mateng nih.” teriak Adit dari ruang makan. Aku beranjak bangun. Ku putar kunci dan melompat ke meja makan, “Wangi bangeeeet.” Adit terus memperhatikanku. “Apa sih? Lo gak seneng gue disini?” “Gue gak ngomong apa-apa juga.” “Mata lo yang ngomong.” “Gue cuma kaget lo masih kunci kamar lo.” “Itu udah terjadi dari delapan tahun lalu, kenapa lo masih tanya?” “Si Bayu bilang lo tidur sekamar sama dia, dan lo gak pernah kunci pintu kamar atau kamar mandi.” Aku diam sejenak, mengingat apakah benar apa yang Adit sebutkan barusan. “Kecewa berat gue sama lo. Lo percaya sama dia tapi gak percaya sama gue.” “Gak gitu. Gue cuma males dia ngadu ke nyokapnya.” “Ngomong-ngomong, lo kenapa pulang?” Aku menatap seisi rumah, “Ini bukan cum
Aku membuka sabuk pengaman begitu sampai depan rumah Bayu. Aku yang hendak membuka pintu, dilarangnya. “Gue ada yang mau di omongin sama lo.” “Nanti aja di kamar, gue ngantuk.” “Disini aja. Kalo di kamar gak aman.” Aku menatapnya, “Lo mau ngomong apa?” sedetik kemudian aku melotot, “Di dalem gak ada kakek lo ‘kan?” “Gak ada, dia lagi menenangkan diri di Surakarta.” “Terus lo mau ngomong apa?” “Gue tadi dimarahin nyokap soal tadi siang. Mama bilang lo berani nembak Sean karena gue masih pacaran sama Maira.” “Terus?” Bayu merogoh dompetnya, ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan, “Gue akan kasih lo duit jajan kalo lo bisa kerja sama dengan gue.” Aku diam sejenak untuk memprediksi kerja sama apa yang dimaksud, “Ah, gue ngerti.” “Gak usah sotoy.” “Dih. Otak lo tuh cetek, begituan doang mah gue paham. Gue diminta ngomong ‘kan ke orang tua lo kalo lo sama si Maira udah putus?” Bayu tersenyum sumringah, “Gilaaaa, lo kok bisa tahu sih.” Aku mengibaskan
Aku menguncir rambutku di lawang pintu kelas ketika jam istirahat. Nadia masih menulis PR nya mencontek padaku. Tiba-tiba saja Karin menubrukku dari dalam kelas. “Ngalangin jalan aja sih lo.” “Lo ‘kan bisa nyuruh gue minggir!” gertakku. Ingat, aku sedang haid. Tahu ‘kan emosinya setinggi apa jika sedang menstruasi? “Ya elo lah mikir sendiri. Ups, lupa, lo ‘kan gak punya otak hahaha.” “Lo!” ku tunjuk wajahnya yang menyebalkan itu. “Apa? Heh, gue peringatin lo ya, jangan pernah cari muka sama ayang beb gue!” “Ayang beb lo? Siapa? Sean?” “Kok Sean sih! Pak Bayu! Lo tuh ngaca dong, lo gak bisa bersaing sama gue. Karena selain lo miskin dan gak selevel sama dia, lo tuh berasal dari keluarga berantakkan.” Karina melipat kedua tangannya, “Lo gak sepadan dengan pak Bayu di semua aspek, Aura magrib, sadar dong!” Aku diam tak membalas ejekannya. Aku harap setelah mengatur nafas, aku bisa menahan emosi ini. Apalagi sekarang Nadia sudah mengelus pundakku dari belakang menenangkank
Saat bel pulang berbunyi nyaring, aku mengemas tas lama sekali. Aku tahu diluar kelas sudah berdiri si Bayu yang akan mengajakku pulang cepat karena ia mau bertemu Maira, pacarnya yang manja itu. Dan ia akan menjadikan alasan makan diluar denganku pada mama papa agar mereka tidak di curigai. Nadia menyikutku, “Pengawal lo tuh nungguin diluar.” “Biarin. Gue masih sebel sama dia karena marah tadi soal si Karina.” “Formalitas doang kali kayak biasanya.” “Halah. Dia keliatan beneran marahin gue kok.” “Terus lo pulangnya gimana? Gue gak mau ya nganterin lo pulang dulu, nanti om gue marah.” Meski sebal, mataku terus terpaku padanya yang berdiri tidak nyaman. Dari dalam kelas, Karina yang terpaksa pakai baju olahraga karena seragam kemejanya basah karena ulahku, berlari menghampiri Bayu. “Bapak nungguin aku pulang ya?” “Aku?” Bayu terlihat kaget mendengar Karina jadi bicara tidak formal padanya.
Aku menyedot kuat-kuat jus Nanas yang baru sampai meja. Seperti biasa aku duduk terpisah dengan pasangan menyebalkan itu. Tak ku perdulikan mereka. Aku akan menyibukkan diri memakan berbagai macam dessert yang sudah lama ku nantikan. “...aku serius, Bay.” Aku melirik ke meja mereka. Suasana jadi mistis saat tak ku dengar suara sahutan si Bayu. “Aku udah pikirin mateng-mateng semuanya. Aku gak bisa lanjutin hubungan ini.” “Sayang, kamu marah sama aku kenapa lagi? Aku akan jelasin biar kamu gak salah paham.” “Gak ada yang salah paham. Aku—aku gak bisa terima semua ini, Bay. Kamu yang nikah diem-diem, terus tinggal sama bayi merah itu.” “Bayi itu udah gak merah lagi, sayang. Askara sekarang udah putih.” Aku tidak sengaja menyemburkan Waffle yang sedang ku makan. “Aku gak peduli warna kulit bayi itu. Aku cuma mau kita putus.” Ku lirik Bayu tampak frustasi mendengar kata putus dari Maira. Ya sudah sih putus aja, ribet banget. Ia menyender lemas menutup kedua matanya. “Y
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu