Aku menguncir rambutku di lawang pintu kelas ketika jam istirahat. Nadia masih menulis PR nya mencontek padaku. Tiba-tiba saja Karin menubrukku dari dalam kelas. “Ngalangin jalan aja sih lo.” “Lo ‘kan bisa nyuruh gue minggir!” gertakku. Ingat, aku sedang haid. Tahu ‘kan emosinya setinggi apa jika sedang menstruasi? “Ya elo lah mikir sendiri. Ups, lupa, lo ‘kan gak punya otak hahaha.” “Lo!” ku tunjuk wajahnya yang menyebalkan itu. “Apa? Heh, gue peringatin lo ya, jangan pernah cari muka sama ayang beb gue!” “Ayang beb lo? Siapa? Sean?” “Kok Sean sih! Pak Bayu! Lo tuh ngaca dong, lo gak bisa bersaing sama gue. Karena selain lo miskin dan gak selevel sama dia, lo tuh berasal dari keluarga berantakkan.” Karina melipat kedua tangannya, “Lo gak sepadan dengan pak Bayu di semua aspek, Aura magrib, sadar dong!” Aku diam tak membalas ejekannya. Aku harap setelah mengatur nafas, aku bisa menahan emosi ini. Apalagi sekarang Nadia sudah mengelus pundakku dari belakang menenangkank
Saat bel pulang berbunyi nyaring, aku mengemas tas lama sekali. Aku tahu diluar kelas sudah berdiri si Bayu yang akan mengajakku pulang cepat karena ia mau bertemu Maira, pacarnya yang manja itu. Dan ia akan menjadikan alasan makan diluar denganku pada mama papa agar mereka tidak di curigai. Nadia menyikutku, “Pengawal lo tuh nungguin diluar.” “Biarin. Gue masih sebel sama dia karena marah tadi soal si Karina.” “Formalitas doang kali kayak biasanya.” “Halah. Dia keliatan beneran marahin gue kok.” “Terus lo pulangnya gimana? Gue gak mau ya nganterin lo pulang dulu, nanti om gue marah.” Meski sebal, mataku terus terpaku padanya yang berdiri tidak nyaman. Dari dalam kelas, Karina yang terpaksa pakai baju olahraga karena seragam kemejanya basah karena ulahku, berlari menghampiri Bayu. “Bapak nungguin aku pulang ya?” “Aku?” Bayu terlihat kaget mendengar Karina jadi bicara tidak formal padanya.
Aku menyedot kuat-kuat jus Nanas yang baru sampai meja. Seperti biasa aku duduk terpisah dengan pasangan menyebalkan itu. Tak ku perdulikan mereka. Aku akan menyibukkan diri memakan berbagai macam dessert yang sudah lama ku nantikan. “...aku serius, Bay.” Aku melirik ke meja mereka. Suasana jadi mistis saat tak ku dengar suara sahutan si Bayu. “Aku udah pikirin mateng-mateng semuanya. Aku gak bisa lanjutin hubungan ini.” “Sayang, kamu marah sama aku kenapa lagi? Aku akan jelasin biar kamu gak salah paham.” “Gak ada yang salah paham. Aku—aku gak bisa terima semua ini, Bay. Kamu yang nikah diem-diem, terus tinggal sama bayi merah itu.” “Bayi itu udah gak merah lagi, sayang. Askara sekarang udah putih.” Aku tidak sengaja menyemburkan Waffle yang sedang ku makan. “Aku gak peduli warna kulit bayi itu. Aku cuma mau kita putus.” Ku lirik Bayu tampak frustasi mendengar kata putus dari Maira. Ya sudah sih putus aja, ribet banget. Ia menyender lemas menutup kedua matanya. “Y
Begitu selesai mandi, aku turun ke kamar Askara untuk memandikannya. Mama akan membawanya ke salon spa bayi sore ini. “Ra, Askaranya udah mama mandiin tadi.” “Hm? Udah?” “Iya, maaf ya. Tadi mama pikir kamu lagi pengen berduaan sama kak Bayu, jadi mama mandiin aja Askara. Kamu gak marah ‘kan?” Aku menggeleng. Kenapa aku harus marah? Justru aku senang sekali tidak perlu memandikan si bandit ini. “Mama tuh gak tega kalo kamu harus ngurus Askara kalo pulang sekolah. Kamu pasti udah capek belajar, jadi mama gak mau ngebebanin kamu.” “Ma, aku gak papa kok. Jujur, aku seneng banget kalo Askara udah mama handel. Aku...” “Kamu sayang ‘kan sama Askara?” Aku mengangguk cepat, “Sayang, ma. Maksud aku.. ya kata mama, aku capek kalo pulang sekolah harus ngurus Askara.” “Oh, mama pikir kamu benci sama Askara karena... dia hasil dari kenakalan kak Bayu.” “Hehehe, enggak kok, ma. Gimana pun ‘kan Askara anak aku. Ya... meskipun kadang aku kesel sih karena mukanya mirip kak Bayu bang
Sepulang dari salon bayi, kami semua makan malam lebih awal di resto sekitar sini. Moodku yang jadi baik setelah mendapat pelukkan dari mama, bisa terbawa suasana menjadi anak menantu yang bahagia bersama mereka. Ya memang bahagia sih, bedanya sekarang aku lebih menikmati peran menjadi menantu dan ibu Askara. “Waktu kecil kalian tuh sering banget berantem. Kak Bayu nangis karena Aura gigit. Sekarang siapa yang nyangka kalau musuh bebuyutan ini malah jadi suami istri.” Papa mengenang masa kecil kami dimana aku memang sesadis itu. “Iya, bener. Mama pikir kalo ditinggalin main bertiga Aura yang akan nangis, ternyata Bayu yang nangis. Mana Adit bukannya negur Aura, tapi malah makin nyemangatin adiknya.” Aku tertawa mengingat banyak kejadian masa itu. Dulu hidup kami rasanya akan berhenti ketika kami menjadi anak-anak. Tak ku sangka ternyata kami tumbuh sebesar ini sekarang. “Udah deh, ma, pa, gak usah bangga-banggain Aura. Aku kalo inget itu r
Maira yang datang bersama dua teman perempuannya langsung keluar dari resto. Mama terlihat senang mantan calon menantunya bisa mendengar ucapannya, sedangkan papa terlihat tidak enak dan langsung menegur mama. “Udah lah, pa, bagus dia denger. Bay, kamu udah putus ‘kan dari Maira?” Bayu mengangguk pelan. Bayu tak mengejar Maira, mungkin karena ada papa dan mama disini. Kuat juga mentalnya tidak menyusul pacarnya pergi. Aku dan Bayu saling diam di dalam mobil. Mama dan papa meminta kami pulang duluan agar aku bisa mengerjakan PR dan Bayu membuat soal UTS, sedang mereka akan pergi jalan-jalan membawa Askara dan nanti akan dijemput supir. “Lo tahu ‘kan Maira ada disitu dari tadi?” Aku memutar bola mataku malas, “Ya enggak lah. Kalo gue tahu, gue pasti sikut lo.” “Ra, jujur aja sama gue, lo seneng ‘kan hidup enak di keluarga Ananta, jadi omongan Maira bener soal lo yang mau memiliki gue?” “Gue gak mun
Sepanjang jalan Sean terus bicara meski tidak mendapat respon dariku. Pikiranku melayang pada banyak hal, terutama soal negara tempatku kabur itu. Bayu benar. Ucapannya sama dengan Nadia. Aku tidak mungkin kabur kesana karena bahasanya saja belepotan minta ampun. Mana mungkin aku bisa hidup disana. Tentu aku bisa kalau berusaha lebih keras, tapi otakku ini otak eksakta sehingga mempelajari bahasa sangatlah sulit untukku. Sejujurnya bahasa inggrisku saja tidak sebagus itu tapi tidak separah bahasa Prancis. “Kamu dari tadi diem terus. Kenapa?” Sean duduk di depan bangkuku. “Aku lagi mikirin soal kuliah, Sean.” “Oh, kenapa sama kuliah? Kamu mau kuliah dimana?” Aku memainkan jariku. Kalau Sean tahu dia akan meledekku tidak ya seperti Nadia dan Bayu? “Ra?” “Ehm, kita boleh bermimpi ‘kan?” “Tentu aja. Kamu mau kuliah dimana?” “Di Prancis.” Sean tak menjawab. Dia pasti sedang sibuk
Saya mau bicara sama kamu, Aura.” Aku belum sempat menjawab, Bayu yang baru ku ingat tidak akur dengan pak Andre, langsung menghadangnya. “Aura harus masuk kelas, udah mau bel.” “Baru mau ‘kan? Belum masuk.” “Lo!” Aku menahan Bayu, “Mending elo deh yang masuk kelas. Lo ada jadwal ngajar di kelas lain ‘kan? Sana.” Bayu menatap sinis ke arah pak Andre, “Kalo lo macem-macem sama Aura, lo berurusan sama gue.” Bayu pergi. Ancamannya pada pak Andre jujur sedikit menakutkan sih. Memangnya apa yang akan dilakukan pak Andre padaku sehingga ia sampai mengancam begitu? “Bapak mau bicara apa?” “Kamu bener mau nikah sama Sean?” “Hm? Saya ‘kan masih sekolah, pak.” “Nanti.” “Jodoh gak ada yang tahu, pak.” “Saya kecewa, Aura.” “Hm? Kecewa? Kenapa bapak kecewa?” “Saya cemburu sama Sean.” Aku diam. Cemburu? Kenapa pak Andre bi