Sepulang dari salon bayi, kami semua makan malam lebih awal di resto sekitar sini. Moodku yang jadi baik setelah mendapat pelukkan dari mama, bisa terbawa suasana menjadi anak menantu yang bahagia bersama mereka. Ya memang bahagia sih, bedanya sekarang aku lebih menikmati peran menjadi menantu dan ibu Askara. “Waktu kecil kalian tuh sering banget berantem. Kak Bayu nangis karena Aura gigit. Sekarang siapa yang nyangka kalau musuh bebuyutan ini malah jadi suami istri.” Papa mengenang masa kecil kami dimana aku memang sesadis itu. “Iya, bener. Mama pikir kalo ditinggalin main bertiga Aura yang akan nangis, ternyata Bayu yang nangis. Mana Adit bukannya negur Aura, tapi malah makin nyemangatin adiknya.” Aku tertawa mengingat banyak kejadian masa itu. Dulu hidup kami rasanya akan berhenti ketika kami menjadi anak-anak. Tak ku sangka ternyata kami tumbuh sebesar ini sekarang. “Udah deh, ma, pa, gak usah bangga-banggain Aura. Aku kalo inget itu r
Maira yang datang bersama dua teman perempuannya langsung keluar dari resto. Mama terlihat senang mantan calon menantunya bisa mendengar ucapannya, sedangkan papa terlihat tidak enak dan langsung menegur mama. “Udah lah, pa, bagus dia denger. Bay, kamu udah putus ‘kan dari Maira?” Bayu mengangguk pelan. Bayu tak mengejar Maira, mungkin karena ada papa dan mama disini. Kuat juga mentalnya tidak menyusul pacarnya pergi. Aku dan Bayu saling diam di dalam mobil. Mama dan papa meminta kami pulang duluan agar aku bisa mengerjakan PR dan Bayu membuat soal UTS, sedang mereka akan pergi jalan-jalan membawa Askara dan nanti akan dijemput supir. “Lo tahu ‘kan Maira ada disitu dari tadi?” Aku memutar bola mataku malas, “Ya enggak lah. Kalo gue tahu, gue pasti sikut lo.” “Ra, jujur aja sama gue, lo seneng ‘kan hidup enak di keluarga Ananta, jadi omongan Maira bener soal lo yang mau memiliki gue?” “Gue gak mun
Sepanjang jalan Sean terus bicara meski tidak mendapat respon dariku. Pikiranku melayang pada banyak hal, terutama soal negara tempatku kabur itu. Bayu benar. Ucapannya sama dengan Nadia. Aku tidak mungkin kabur kesana karena bahasanya saja belepotan minta ampun. Mana mungkin aku bisa hidup disana. Tentu aku bisa kalau berusaha lebih keras, tapi otakku ini otak eksakta sehingga mempelajari bahasa sangatlah sulit untukku. Sejujurnya bahasa inggrisku saja tidak sebagus itu tapi tidak separah bahasa Prancis. “Kamu dari tadi diem terus. Kenapa?” Sean duduk di depan bangkuku. “Aku lagi mikirin soal kuliah, Sean.” “Oh, kenapa sama kuliah? Kamu mau kuliah dimana?” Aku memainkan jariku. Kalau Sean tahu dia akan meledekku tidak ya seperti Nadia dan Bayu? “Ra?” “Ehm, kita boleh bermimpi ‘kan?” “Tentu aja. Kamu mau kuliah dimana?” “Di Prancis.” Sean tak menjawab. Dia pasti sedang sibuk
Saya mau bicara sama kamu, Aura.” Aku belum sempat menjawab, Bayu yang baru ku ingat tidak akur dengan pak Andre, langsung menghadangnya. “Aura harus masuk kelas, udah mau bel.” “Baru mau ‘kan? Belum masuk.” “Lo!” Aku menahan Bayu, “Mending elo deh yang masuk kelas. Lo ada jadwal ngajar di kelas lain ‘kan? Sana.” Bayu menatap sinis ke arah pak Andre, “Kalo lo macem-macem sama Aura, lo berurusan sama gue.” Bayu pergi. Ancamannya pada pak Andre jujur sedikit menakutkan sih. Memangnya apa yang akan dilakukan pak Andre padaku sehingga ia sampai mengancam begitu? “Bapak mau bicara apa?” “Kamu bener mau nikah sama Sean?” “Hm? Saya ‘kan masih sekolah, pak.” “Nanti.” “Jodoh gak ada yang tahu, pak.” “Saya kecewa, Aura.” “Hm? Kecewa? Kenapa bapak kecewa?” “Saya cemburu sama Sean.” Aku diam. Cemburu? Kenapa pak Andre bi
Aku keluar kelas paling terakhir bersama Sean. Ia tak lagi membahas soal perasaan atau tiket nonton live music itu. “Kamu ekskul ‘kan hari ini?” Aku mengangguk. “Ya udah kamu duluan. Aku harus ke kelas temen dulu.” “Oke.” Seperginya Sean, Bayu datang, “Yuk balik.” “Ada ekskul.” “Bukannya kemaren?” “Kemarin gurunya sakit, jadi diganti hari ini. Kalo lo buru-buru balik aja duluan. Gue bisa sama Sean.” “Oh gitu. Mentang-mentang udah di lamar lo mau bergantung sama dia aja? Gue gak dibutuhin nih?” “Bukan gitu. Ya kali aja lo udah kangen sama Askara, jadi gue mau biarin lo balik duluan.” “Gue kangen sama Askara, tapi gak papa, gue bisa tunggu lo.” “Yaudin, ikut gue aja ke ruang ekskul.” “Emang gak papa?” “Gak papa lah, sekolah ini ‘kan punya bapak lo.” “Iya juga ya. Kok gue gak kepikiran.” “Lo mah semua hal juga ga
Dari pagi pikiranku sudah ngebul memikirkan nanti malam harus pergi ke acara mana. Nonton bioskop dengan pak Andre, atau nonton live music dengan Sean. Dua duanya penting bagiku. Pak Andre janji akan mengatakan alasan kenapa ia dan Bayu musuhan, sedangkan Sean, dia... ah kenapa sih bule satu itu harus memakai cara itu untuk membuktikan kalau aku menerima cintanya. “Tuh mama lagi mikirin gimana caranya kuliah ke Prancis tapi dia gak bisa bahasanya, sayang. Askara aja yang ajarin mama.” Bayu tiba-tiba nongol di pinggir kolam saat aku sedang khusuk berpikir. “Bay, rumah ini tuh gede ya. Kenapa sih lo deketin gue?” “Ini tuh akhir pekan, mama. Urusin dong Askara. Kenapa malah sibuk mikirin diri sendiri.” Aku melirik sana sini karena takut mama dan papa mendengar, “Heh, denger ya, yang mau ngadopsi si bandit itu tuh elo ya. Jadi lo aja yang urus dia. Gue mau jadi ibu palsunya aja udah sukur.” “Jahatnya mulut lo. Sesekali doang, Ra. Selama ini ‘kan juga yang kebanyakan ngurus Ask
Aku menatap Bayu dan Adit silih berganti. Aku duduk di jok belakang mobil memangku Askara yang terpaksa harus ikut karena kami izin makan bertiga di luar. “Cuma satu jam.” cuap Adit. “Filmnya ‘kan dua jam, kenapa gue harus nonton setengah film deh.” “Lain kali lo bisa nonton lagi sama kita.” Aku melirik Bayu, memohon. “Gak bisa gue bantuin lo lagi. Udah nurut aja, segitu juga si Adit ngasih lo izin.” “Ya udah nih bawa Askara.” Bayu ribut membawanya, “Harusnya lo bawa Askara sih ke dalem, biar si Andre menciut buat deketin lo lagi.” “Kenapa gak lo aja yang bawa Askara ke sekolah biar si Karina gak ganggu lo lagi.” aku merapikan rambut dan bajuku, “Gue keluar. Kalian tunggu disini.” “Aktifin hape lo. Siapin semprotan merica dan teriak yang kenceng kalo dia udah bergelagat aneh.” Adit mengingatkan. “Iyaaaa.” Aku berjalan mendekati pak Andre yang sedang memesan pop corn. Sebelum ku panggil untungnya dia balik badan. “Eh, Ra.” “Pak.” “Jangan panggil bapak, dong.
Aku menaiki tangga dengan tampang sangat asem. Papa dan mama yang menyambut di ruang tamu tampak keheranan dengan tingkahku. “Kok pulangnya cepet, Bay? Itu juga Aura kenapa?” “Biasa lah, ma, masih PMS.” “Aku belum makan tante, laper banget.” Adit mengusap perutnya. “Ya udah yuk makan. Mama sama papa baru aja beres.” Tak ku dengar lagi suara-suara mereka. Aku tutup pintu kamar dengan pelan. Perasaannku masih tidak nyaman mendengar apa yang sudah Maira alami. Ku tatap wajah Bayu yang bertengger segede gaban dibuat karpet kamar. “Dasar angin abadi. Gue pikir lo cuma menghancurkan hidup gue, ternyata hidup pacar lo juga! Gue benci ya sama elo, Bayu!” Pintu kamar terbuka, “Ra, makan.” “Kak?” “Ayok.” “Gue gak laper.” “Ah, masa? Ada udang madu kesukaan lo tuh. Gue suapin ya?” Aku duduk bersila di kursi rooftop menunggu Adit menyiuk nasi dan lauknya di sendok. “Tadi lo sempet ketemu orangnya?” “Hm.” “Terus kenapa gak jadi nonton?” Aku hanya menghela nafas. “J