Aku menatap Bayu dan Adit silih berganti. Aku duduk di jok belakang mobil memangku Askara yang terpaksa harus ikut karena kami izin makan bertiga di luar. “Cuma satu jam.” cuap Adit. “Filmnya ‘kan dua jam, kenapa gue harus nonton setengah film deh.” “Lain kali lo bisa nonton lagi sama kita.” Aku melirik Bayu, memohon. “Gak bisa gue bantuin lo lagi. Udah nurut aja, segitu juga si Adit ngasih lo izin.” “Ya udah nih bawa Askara.” Bayu ribut membawanya, “Harusnya lo bawa Askara sih ke dalem, biar si Andre menciut buat deketin lo lagi.” “Kenapa gak lo aja yang bawa Askara ke sekolah biar si Karina gak ganggu lo lagi.” aku merapikan rambut dan bajuku, “Gue keluar. Kalian tunggu disini.” “Aktifin hape lo. Siapin semprotan merica dan teriak yang kenceng kalo dia udah bergelagat aneh.” Adit mengingatkan. “Iyaaaa.” Aku berjalan mendekati pak Andre yang sedang memesan pop corn. Sebelum ku panggil untungnya dia balik badan. “Eh, Ra.” “Pak.” “Jangan panggil bapak, dong.
Aku menaiki tangga dengan tampang sangat asem. Papa dan mama yang menyambut di ruang tamu tampak keheranan dengan tingkahku. “Kok pulangnya cepet, Bay? Itu juga Aura kenapa?” “Biasa lah, ma, masih PMS.” “Aku belum makan tante, laper banget.” Adit mengusap perutnya. “Ya udah yuk makan. Mama sama papa baru aja beres.” Tak ku dengar lagi suara-suara mereka. Aku tutup pintu kamar dengan pelan. Perasaannku masih tidak nyaman mendengar apa yang sudah Maira alami. Ku tatap wajah Bayu yang bertengger segede gaban dibuat karpet kamar. “Dasar angin abadi. Gue pikir lo cuma menghancurkan hidup gue, ternyata hidup pacar lo juga! Gue benci ya sama elo, Bayu!” Pintu kamar terbuka, “Ra, makan.” “Kak?” “Ayok.” “Gue gak laper.” “Ah, masa? Ada udang madu kesukaan lo tuh. Gue suapin ya?” Aku duduk bersila di kursi rooftop menunggu Adit menyiuk nasi dan lauknya di sendok. “Tadi lo sempet ketemu orangnya?” “Hm.” “Terus kenapa gak jadi nonton?” Aku hanya menghela nafas. “J
Aku membuka baju tidurku disini, lalu meraih dress selutut yang tadi ku pakai bertemu pak Andre yang tersimpan di gantungan. Bayu yang melihatku berani berganti baju disini menganga kaget. “Apa? Gak usah sok polos deh. Lo pasti udah pernah liat yang lebih dari ini ‘kan?” “Gak usah sok tahu.” “Buruan ganti baju. Lo mau nganterin gue dengan baju rumahan lo itu?” tunjukku pada kaos hitam polos dan kolor pendeknya. “Gue gak akan masuk menemin lo kok, gue bakal diem di mobil.” “Terserah.” Aku ngacir ke depan cermin untuk tach-up sisa makeup tipis yang masih menempel baik. Bedaknya hanya luntur sedikit setelah menangisi nasib Maira yang malang. Aku menyemprotkan parfum dan merapikan rambutku yang dibiarkan terurai. “Si Sean keburu tidur yang ada, lama banget sih.” “Oke, gue udah siap.” Aku berjalan membuntut dibelakang tubuh Bayu menuruni tangga. “Lo mau alesan apa ke papa mama?” “Gampang.” Mereka masih di meja makan, sibuk menikmati berbagai macam buah yang dipot
Aku tidak berhenti tersenyum sejak bangun tidur. Rasanya punya pacar ternyata begini ya? Semalam saat pulang, aku diminta untuk pergi bersama Sean. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku datang bersama Bayu, ia sedikit cemberut. Aku jelaskan dengan perlahan bahwa aku tidak akan pernah bisa datang ke kafe jika tidak bersamanya, ia baru percaya. “Askara poop tuh.” Bayu nyelonong masuk kamar dan sibuk mengambil sesuatu di nakas tempat kerjanya yang berubah jadi meja yang menyimpan beberapa barang Askara. “Lo gak liat gue baru bangun?” “Liat. Makannya gue nyuruh lo. Kalo lo tidur ‘kan gue gak bisa nyuruh lo.” Aku beranjak dari ranjang, “Si Adit masih ada?” “Ada. Tapi dia gak mau nyebokkin Askara.” Dibawah tangga Adit sedang senam pagi menemani mama. Mereka memang dekat bak ibu dan anak. Kalau diperhatikan malah si Adit lebih dekat dengan mama daripada ibu. “Ra, si Askara buang hajat tuh.” seloroh Adit sambil merentangkan tangannya dengan mama. “Ini mau di cebokkin.” “Ra, m
Aku berdiri berhadapan dengan Adit yang sedang berkacak pinggang dibelakang rumah. “Jelasin.” Aku menatap matanya, “Gue udah resmi pacaran sama Sean malem.” “Kenapa lo terima dia?” “Gue ada perasaan sama dia, ‘kan lo tahu.” “Selain itu?” “Gue... ngeliat ada masa depan sama Sean, kak.” “Dia cenayang? Apa gimana?” “Sean dukung buat gue kuliah, dia semangatin gue untuk belajar bahasa Prancis lebih giat.” “Cuma itu?” “Kak, harusnya lo seneng gue udah gak takut lagi buat pacaran. Dua tahun lalu gue bersumpah untuk gak pacaran bahkan gak nikah karena ulah si—ya lo tahu lah. Gue lagi berusaha keras untuk keluar dari lingkaran setan itu. Gue yakin bersama Sean gue pasti bisa... bahagia.” Adit membuang nafasnya. Ia sepertinya baru ingat kalau adiknya ini pacaran bukan karena centil, tapi karena ingin membuktikan diri bahwa aku bisa sembuh sendiri dari trust issue yang ku miliki tanpa bantuan profesional dengan cara berpacaran. “Si Bayu gimana?” “Dia aja punya pacar, g
Aku menatap punggung Bayu yang berjalan cepat keluar kamar menggendong Askara dan membawa tas yang sudah ia isi dua dot susu full, baju ganti dan popok. Ia pergi setelah diskusi dengan Maira yang kebetulan sedang jaga malam. Awalnya aku berniat diam disini dan melanjutkan tidur karena besok harus sekolah. Tapi mendengar suara tangisan Askara lain dari biasanya, aku jadi sedikit khawatir. Aku juga takut Bayu kewalahan sendiri di mobil. Belum lagi kalau Askara ternyata harus di rawat. Tanpa berganti baju aku berlari menyusulnya, “Bay gue ikut.” Bayu hanya menoleh. Ia sedang menaruh Askara di car seat, “Lo duduk dibelakang aja sama Askara.” Aku menurut. Aku duduk disamping Askara yang ku pegang dahinya panas, “Lo udah pake termometer?” “Tadi suhunya tiga delapan. Sebenernya yang gue tahu kita gak perlu ke rumah sakit. Tapi Maira bilang Askara masih rentan. Dia bisa aja demam karena Anemia atau ada infeksi lain.” Aku menatapnya yang panik ketika menyetir. Dia tahu banyak hal
Aku mengikuti sekolah hari ini menggunakan metode daring. Meski baru pertama melakukannya setelah masa PPKM tidak berlaku lagi, aku melaluinya dengan baik. Aku juga mengerjakan tugas yang diberikan sebagai latihan. Bedanya guru mata pelajaran akan memeriksanya nanti sepulang sekolah. “Udah beres?” tanya Bayu melonggarkan dasinya. Ia baru terlihat lagi selama aku belajar. “Lo habis dari mana?” “Tadi kepaksa harus ke sekolah buat ikut rapat rutin.” “Rapat terus.” “Yeee, calon pewaris yayasan mah harus ikut.” Aku menatapnya dengan jijik, “Tuh makan dulu. Mama bawain dari rumah.” “Asyik. Lo udah makan ‘kan?” “Udah. Gue mau ngerjain PR dulu.” Bayu duduk di sofa menghadapku, “Buru-buru amat. Chill dulu lah. Mending lo temenin Askara main.” “Bayi lagi terkapar lemas begini mau maen apa? Robot-robotan?” “Susah ngomong sama preman gak punya sisi keibuan mah.” Bayu mulai makan. Ia menjamah semua rantang berisi macam-macam makanan yang mama bawa. “Bay, gue udah temenan
Aku tak sempat menjawab pertanyaan Sean, karena tiba-tiba terdengar suara bel masuk. Sean mematikan ponselnya dan bilang akan melanjutkan telpon nanti di jam istirahat kedua. Aku bernafas lega, setidaknya aku masih bisa berpikir untuk menjawab pertanyaannya nanti. Aku bangkit dan kembali ke ruangan. Ternyata Bayu sedang siap-siap akan mengajar. “Cie abis ditelpon pacar.” sindir Bayu. Mama tidak ada disini. Jam besuknya habis. “Emang lo gak ditelpon Maira?” “Dia cuma kirim chat. Katanya mau langsung tidur, soalnya nanti sore balik shift lagi.” “Hm. Gue mau tidur.” aku menaiki ranjang. “Enak banget. Lo gak zoom lagi?” “Gurunya gak masuk, cuma ngasih tugas. Nanti aja lah ngerjainnya, gue ngantuk.” “Enak banget jadi lo.” “Gak usah iri dengki deh, pak guru. Udah sana ngajar yang bener. Laptopnya jangan di arahkan kesini dong, nanti gue jadi latar belakang layar lo lagi.” “Iya lah, lo pikir gue—” “Emang, lo tuh emang kadang-kadang... gue gak sanggup nyebutinnya.” aku m