Aku tidak berhenti tersenyum sejak bangun tidur. Rasanya punya pacar ternyata begini ya? Semalam saat pulang, aku diminta untuk pergi bersama Sean. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku datang bersama Bayu, ia sedikit cemberut. Aku jelaskan dengan perlahan bahwa aku tidak akan pernah bisa datang ke kafe jika tidak bersamanya, ia baru percaya. “Askara poop tuh.” Bayu nyelonong masuk kamar dan sibuk mengambil sesuatu di nakas tempat kerjanya yang berubah jadi meja yang menyimpan beberapa barang Askara. “Lo gak liat gue baru bangun?” “Liat. Makannya gue nyuruh lo. Kalo lo tidur ‘kan gue gak bisa nyuruh lo.” Aku beranjak dari ranjang, “Si Adit masih ada?” “Ada. Tapi dia gak mau nyebokkin Askara.” Dibawah tangga Adit sedang senam pagi menemani mama. Mereka memang dekat bak ibu dan anak. Kalau diperhatikan malah si Adit lebih dekat dengan mama daripada ibu. “Ra, si Askara buang hajat tuh.” seloroh Adit sambil merentangkan tangannya dengan mama. “Ini mau di cebokkin.” “Ra, m
Aku berdiri berhadapan dengan Adit yang sedang berkacak pinggang dibelakang rumah. “Jelasin.” Aku menatap matanya, “Gue udah resmi pacaran sama Sean malem.” “Kenapa lo terima dia?” “Gue ada perasaan sama dia, ‘kan lo tahu.” “Selain itu?” “Gue... ngeliat ada masa depan sama Sean, kak.” “Dia cenayang? Apa gimana?” “Sean dukung buat gue kuliah, dia semangatin gue untuk belajar bahasa Prancis lebih giat.” “Cuma itu?” “Kak, harusnya lo seneng gue udah gak takut lagi buat pacaran. Dua tahun lalu gue bersumpah untuk gak pacaran bahkan gak nikah karena ulah si—ya lo tahu lah. Gue lagi berusaha keras untuk keluar dari lingkaran setan itu. Gue yakin bersama Sean gue pasti bisa... bahagia.” Adit membuang nafasnya. Ia sepertinya baru ingat kalau adiknya ini pacaran bukan karena centil, tapi karena ingin membuktikan diri bahwa aku bisa sembuh sendiri dari trust issue yang ku miliki tanpa bantuan profesional dengan cara berpacaran. “Si Bayu gimana?” “Dia aja punya pacar, g
Aku menatap punggung Bayu yang berjalan cepat keluar kamar menggendong Askara dan membawa tas yang sudah ia isi dua dot susu full, baju ganti dan popok. Ia pergi setelah diskusi dengan Maira yang kebetulan sedang jaga malam. Awalnya aku berniat diam disini dan melanjutkan tidur karena besok harus sekolah. Tapi mendengar suara tangisan Askara lain dari biasanya, aku jadi sedikit khawatir. Aku juga takut Bayu kewalahan sendiri di mobil. Belum lagi kalau Askara ternyata harus di rawat. Tanpa berganti baju aku berlari menyusulnya, “Bay gue ikut.” Bayu hanya menoleh. Ia sedang menaruh Askara di car seat, “Lo duduk dibelakang aja sama Askara.” Aku menurut. Aku duduk disamping Askara yang ku pegang dahinya panas, “Lo udah pake termometer?” “Tadi suhunya tiga delapan. Sebenernya yang gue tahu kita gak perlu ke rumah sakit. Tapi Maira bilang Askara masih rentan. Dia bisa aja demam karena Anemia atau ada infeksi lain.” Aku menatapnya yang panik ketika menyetir. Dia tahu banyak hal
Aku mengikuti sekolah hari ini menggunakan metode daring. Meski baru pertama melakukannya setelah masa PPKM tidak berlaku lagi, aku melaluinya dengan baik. Aku juga mengerjakan tugas yang diberikan sebagai latihan. Bedanya guru mata pelajaran akan memeriksanya nanti sepulang sekolah. “Udah beres?” tanya Bayu melonggarkan dasinya. Ia baru terlihat lagi selama aku belajar. “Lo habis dari mana?” “Tadi kepaksa harus ke sekolah buat ikut rapat rutin.” “Rapat terus.” “Yeee, calon pewaris yayasan mah harus ikut.” Aku menatapnya dengan jijik, “Tuh makan dulu. Mama bawain dari rumah.” “Asyik. Lo udah makan ‘kan?” “Udah. Gue mau ngerjain PR dulu.” Bayu duduk di sofa menghadapku, “Buru-buru amat. Chill dulu lah. Mending lo temenin Askara main.” “Bayi lagi terkapar lemas begini mau maen apa? Robot-robotan?” “Susah ngomong sama preman gak punya sisi keibuan mah.” Bayu mulai makan. Ia menjamah semua rantang berisi macam-macam makanan yang mama bawa. “Bay, gue udah temenan
Aku tak sempat menjawab pertanyaan Sean, karena tiba-tiba terdengar suara bel masuk. Sean mematikan ponselnya dan bilang akan melanjutkan telpon nanti di jam istirahat kedua. Aku bernafas lega, setidaknya aku masih bisa berpikir untuk menjawab pertanyaannya nanti. Aku bangkit dan kembali ke ruangan. Ternyata Bayu sedang siap-siap akan mengajar. “Cie abis ditelpon pacar.” sindir Bayu. Mama tidak ada disini. Jam besuknya habis. “Emang lo gak ditelpon Maira?” “Dia cuma kirim chat. Katanya mau langsung tidur, soalnya nanti sore balik shift lagi.” “Hm. Gue mau tidur.” aku menaiki ranjang. “Enak banget. Lo gak zoom lagi?” “Gurunya gak masuk, cuma ngasih tugas. Nanti aja lah ngerjainnya, gue ngantuk.” “Enak banget jadi lo.” “Gak usah iri dengki deh, pak guru. Udah sana ngajar yang bener. Laptopnya jangan di arahkan kesini dong, nanti gue jadi latar belakang layar lo lagi.” “Iya lah, lo pikir gue—” “Emang, lo tuh emang kadang-kadang... gue gak sanggup nyebutinnya.” aku m
“Mungkin gak Aura disana?” tanya Sean pada Nadia yang mengangguk. “Kita cari aja disana.” Aku bersembunyi dibalik ruangan yang pintunya sedikit menjorok ke dalam. Masih ku pantau gerak-gerik Sean dan Nadia. “Nad, kita tanya perawat aja.” “Oke.” Sean terlihat menghampiri perawat yang baru keluar dari lift, “Permisi, sus.” “Iya, ada yang bisa saya bantu? Adek-adek ini mau PKL disini ya?” “Oh, bukan, sus, kami bukan siswa SMK. Kamu disini mau tanya bagian meja jaga poli Anak disebelah mana ya?” “Ada disebelah kanan, dek. Adek jalan lurus dulu, disitu letaknya.” “Oh, iya. Terima kasih, sus.” Mereka terlihat berjalan ke arah yang perawat arahkan. Karena penasaran, aku mengikuti mereka diam-diam dari jarak aman. Aku terus menyalip orang lain untuk berada ditempat yang bisa mendengar percakapan Sean dan Nadia. “Permisi, sus.” Sean berdiri didepan meja jaga. “Iya, dek, ada yang bisa dibantu?” “Saya mau tanya data pasien disini.” “Adek mau jenguk pasien atas nama si
Papa terbatuk beberapa kali. Tangannya merogoh ponsel yang berdering panjang dari saku celananya, “Sebentar.” Papa berjalan menjauh sedikit, “Iya, saya segera ke sana. Saya sekarang lagi di... rumah sakit. Cucu dari ponakan saya sakit. Iya, baik. Baik, pak. Mohon ditunggu ya.” Papa menatap Sean dan Nadia dengan wajah bingung, “Aura dan pak Bayu gak ada disini. Aura sakit. Dia tadi habis di infus. Tapi sekarang sudah diperbolehkan pulang.” “Aura sakit apa, pak?” tanya Sean khawatir. “Cuma... kecapean. Kalo pak Bayu... itu mungkin latar zoomnya. Dia memang kadang-kadang sedikit aneh. Nadia mungkin sering denger dari Aura hehehe.” Papa mengambil nafas dalam, “Ya sudah, saya buru-buru harus mengikuti rapat. Orang tua kamu juga ikut. Saya permisi ya. Kalian pulang, Aura dan pak Bayu gak ada disini kok. Ya. Kalian hati-hati ya.” Papa cepat-cepat pergi karena takut Sean mengejarnya. Papa tahu seberapa kritis anak dari rekan kerjan
Aku menarik lengan Bayu untuk sembunyi dibawah ranjang. Ia menurut tanpa banyak tanya. Dibawah ranjang, nafasku dan nafasnya beradu. “Kok dia gak masuk-masuk?” tanya Bayu. “Lo jangan bilang gitu dong. Emang kalo mereka masuk, lo bisa menghadapi mereka?” “Mereka gak akan nemuin kita disini. Kita gak keliaatan.” “Sean itu pinter, gak dodol kayak lo!” “Eh, malah menghina. Berani lo menghina sahabat kakak lo sendiri?” “Cih, lo gak sepenting itu di mata gue!” “Itu omongan gue, balikkin omongan gue!” Aku menjitaknya karena berisik. Masalahnya Askara kini menangis, tapi kami tidak berani keluar dari tempat persembunyian karena takut Sean dan Nadia kesini. “Kalian lagi ngapain?” Aku dan Bayu menatap orang yang berjongkok menatap kami di kolong ranjang. “Sayang?” “Kak Maira?” “Kalian bisa keluar? Anak kalian nangis tuh.” Aku da