Papa terbatuk beberapa kali. Tangannya merogoh ponsel yang berdering panjang dari saku celananya, “Sebentar.” Papa berjalan menjauh sedikit, “Iya, saya segera ke sana. Saya sekarang lagi di... rumah sakit. Cucu dari ponakan saya sakit. Iya, baik. Baik, pak. Mohon ditunggu ya.” Papa menatap Sean dan Nadia dengan wajah bingung, “Aura dan pak Bayu gak ada disini. Aura sakit. Dia tadi habis di infus. Tapi sekarang sudah diperbolehkan pulang.” “Aura sakit apa, pak?” tanya Sean khawatir. “Cuma... kecapean. Kalo pak Bayu... itu mungkin latar zoomnya. Dia memang kadang-kadang sedikit aneh. Nadia mungkin sering denger dari Aura hehehe.” Papa mengambil nafas dalam, “Ya sudah, saya buru-buru harus mengikuti rapat. Orang tua kamu juga ikut. Saya permisi ya. Kalian pulang, Aura dan pak Bayu gak ada disini kok. Ya. Kalian hati-hati ya.” Papa cepat-cepat pergi karena takut Sean mengejarnya. Papa tahu seberapa kritis anak dari rekan kerjan
Aku menarik lengan Bayu untuk sembunyi dibawah ranjang. Ia menurut tanpa banyak tanya. Dibawah ranjang, nafasku dan nafasnya beradu. “Kok dia gak masuk-masuk?” tanya Bayu. “Lo jangan bilang gitu dong. Emang kalo mereka masuk, lo bisa menghadapi mereka?” “Mereka gak akan nemuin kita disini. Kita gak keliaatan.” “Sean itu pinter, gak dodol kayak lo!” “Eh, malah menghina. Berani lo menghina sahabat kakak lo sendiri?” “Cih, lo gak sepenting itu di mata gue!” “Itu omongan gue, balikkin omongan gue!” Aku menjitaknya karena berisik. Masalahnya Askara kini menangis, tapi kami tidak berani keluar dari tempat persembunyian karena takut Sean dan Nadia kesini. “Kalian lagi ngapain?” Aku dan Bayu menatap orang yang berjongkok menatap kami di kolong ranjang. “Sayang?” “Kak Maira?” “Kalian bisa keluar? Anak kalian nangis tuh.” Aku da
Aku duduk dengan tidak nyaman disamping Bayu diruang tunggu. Mama masih marah padanya, jadinya papa tambah marah pada Bayu. Askara di ruangan ditemani ibu yang baru sampai dari Surabaya. Ibu amat khawatir dan langsung pulang kesini untuk melihat keadaan cucunya. “Nanti lo minta maaf lagi aja sama mama.” “Iya.” “Bay.” “Hm?” “Kak Maira... dia gak ada. Temennya bilang dia pulang.” Bayu melirikku, “Hah? Yang bener?” “Tadi begitu ibu sampe disini, gue langsung ke kantin buat beliin coklat panas buat kak Maira. Gue ke meja jaga cari dia, tapi katanya dia gak ada.” Bayu mengusap wajahnya frustasi, “Mama emang keterlaluan.” “Tapi lo juga keterlaluan bentak mama.” Bayu tak menjawab. “Gue tahu mama emang terlalu neken kak Maira, tapi—lo gak perlu sampe teriak gitu sih.” “Dari dulu mama selalu seenaknya sama Maira, dan Maira selalu diem. Tadi aja dia c
Aku mengucek mataku ketika terbangun ingin buang air kecil di jam satu pagi. Tak ada Bayu di sofa. Entah ia pulang atau keluar untuk beli kopi. Aku memeriksa infusan Askara yang baru diganti, lalu berjalan pelan ke kamar mandi dengan lampu padam. Jika dinyalakan, aku takut Askara malah bangun, karena dia terbiasa tidur dengan lampu padam. Ketika membuka pintu kamar mandi, aku mendengar suara yang bersahutan antara Bayu dan Adit diluar ruangan. Karena penasaran, aku membuka pintu utama pelan-pelan. “..gue sayang banget sama Aura, Bay. Apalagi sekarang udah gak ada bokap. Kita udah nganggep dia meninggal.” “Iya, gue tahu. Lo udah bilang ini berkali-kali sama gue.” Ku lihat Adit yang berdiri bersender mengubah posisinya menatap Bayu, “Jadi tolong bahagiain Aura.” Sepi. Beberapa detik kemudian, “Hahaha, lo kelaperan sampe halu gini?” “Gue serius.” Bayu berhenti tertawa, “Ngapain lo tiba-t
Hari ini aku memutuskan sekolah karena Askara juga akan pulang. Begitu turun dari mobil Bayu dekat gerbang, orang-orang sudah menatapku berbeda. Aku jelas tahu kenapa mereka begini. Ya karena latar zoom si Bayu kemarin itu. Memang si Bayu pembawa sial. Hidupnya dikelilingi angin yang mau tak mau juga mengenai diriku. Aku duduk dibangku dengan masih diperhatikan. Teman-teman kelas juga berbisik-bisik terang-terangan. Ini Nadia juga kemana sih, tumben belum datang. Ketika aku pura-pura sibuk mengeluarkan semua buku dari tas, Karina cs datang. Mereka mendekatiku dengan muka masam. “Apa?” tanyaku galak. “Gue gak ngomong apa-apa loh. Iya ‘kan, guys?” “Iya, sensi lo.” Kia sudah pasti membela Karina. Aku beranjak dari bangku, berniat menunggu Nadia diluar kelas atau dimana saja, yang penting tidak berurusan dengan genk Barbie. “Mau kemana? Kabur?” Aku meliriknya, “Kabur? Gak ada di kamus hidup
Aku menoleh pada sumber suara. Sean. Ia menghampiriku. “Udah ya, kamu gak perlu ngelakuin ini.” Aku diam menatap wajahnya yang teduh. “Sean, mending lo jauh-jauh dari Aura. Gue kasih tahu, masa depan lo akan suram sama dia. Lo sekarang udah tahu ‘kan segimana memalukan keluarganya?” ledek Karina yang berhasil memantik emosiku lagi. Aku melempar beberapa kursi lalu menyiram jus Alpukat entah milik siapa ke wajahnya. Tak lupa, aku menarik rambutnya yang indah tertata rapi. Sudah lama aku gemas ingin melakukan ini, tapi baru kali ini kesampaian. “Aura, lepasin! Gila lo ya! Gue akan aduin lo langsung ke pak Rino!” “Gue gak peduli!” Seisi kantin heboh. Mereka tak menghiraukan bel masuk kelas yang berbunyi nyaring. “Ra, Ra, udah, berhenti.” Sean menarik tubuhku untuk menghentikan kegilaan ini. Aku tak akan berhenti sampai puas, seperti kata Karina tadi yang tak akan berhenti menggangguku.
Mobil pak Andre langsung pergi ketika menurunkanku di depan lobi rumah sakit. Aku langsung berjalan lunglai memasuki rumah sakit ketika sadar besok harus sekolah, bertemu si biang kerok, Karina dan yang lain. Banyak panggilan dan pesan dari Sean dan Nadia. Tapi aku sengaja acuhkan karena belum siap menjelaskan pada mereka kemana aku pergi, dengan siapa dan keadaanku saat ini. Adit berdiri menungguku di ujung lobi, “Askara udah balik tadi jam sepuluh.” Aku berjalan menghampirinya. Sebenarnya aku tahu Askara sudah pulang, aku kesini memang mau bertemu dengannya, “Gue mau ketemu elo kok.” “Ada apa lagi?” Aku menatap wajahnya yang datar, “Si Bayu... gak cerita ke elo?” “Ada. Gue cuma mau denger dari perspektif lo aja.” Aku membuang nafas pelan. Sudah pasti lah si Bayu cerita pada Adit. Aku dan Adit asyik menikmati es krim yang dia belikan. Kami duduk selonjoran di rooftop rumah sakit. “Kalo ada orang yang ngomongin keluarga kita, lo diem aja. Apalagi kenyataannya begitu.
Aku melirik Bayu yang tidur dilantai beralaskan bad cover double. “Apa?” ternyata dia belum tidur. “Bilang aja lo mau tinggal disini karena masih marahan sama mama, bukan karena lo mau nemenin gue.” “Panggilan suami sempurna itu harus melekat sama gue.” Aku menaikkan bibir atasku, “Eh, kok lo tumben sih gak ngadu kelakuan gue di sekolah sama ibu?” “Gak ada waktu.” jawabnya malas. Aku turun dari ranjang dan duduk disebelahnya, “Lo mau melindungi gue?” “Gak ada dari sononya gue melindungi tukang bikin onar kayak lo.” Aku mendorong lengannya, “Lo tuh ya!” “Besok gak mau tahu, lo harus minta maaf sama Karina!” “Gak, enak aja.” aku kembali naik ke ranjang. “Ra, keras kepala dan keras hati lo. Jangan gitu lah, nanti yang repot adalah—” “Papa, bukan elo!” “Gue pemimpin yayasan masa depan loh. Gue gak mau nama baik yayasan tercoreng karena ulah lo.” “Lagak lo. Gak usah kegeeran itu yayasan bakal jatuh ke tangan lo.” “Gue anak dan cucu tunggal, udah pasti itu yaya