Aku dan mama duduk berdempet di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Karina dan papanya. Sedangkan papa sebagai ketua yayasan, duduk di sofa terpisah untuk menjadi penangah. Kita akan melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah kemarin. Karina melapor pada guru BK bahwa ia tidak terima mendapat tamparan, siraman, dan rambutnya ditarik olehku, yang berbuntut ia melaporkan hal itu pada orang tuanya dan pada kepolisian dekat sekolah. “Jadi bagaimana, pak, kelanjutan masalah anak saya?” papa Karina memulai pembicaraan. “Ya seperti yang saya sebutkan ditelpon. Karina tidak bisa melaporkan Aura karena anak bapak yang mulai perdebatan ini. Saya sudah cek CCTV, menanyai saksi, yaitu beberapa pegawai kantin, dan siswa acak yang ada di TKP. Mereka mengatakan, Karina yang mulai mengusik dengan menyebutkan semua aib keluarga Aura. Saya rasa ini hanya bentuk bela diri saja.” Aku melirik tidak enak pada mama yang menggenggam tanganku. Ceritanya mama jadi waliku hari ini, karena tid
Bel jam istirahat pertama berbunyi nyaring. Pak Andre langsung membubarkan kelas sebelum sempat mengumumkan mengenai materi yang akan keluar di UTS minggu depan. Pak Andre berjanji akan mengatakannya nanti di jam pelajaran terakhir setelah pelajaran bahasa Prancis. “Ra, gue ke toilet dulu ya. Gue juga langsung ke kelas lain, mau pinjem novel.” Nadia langsung ngacir sebelum menunggu jawaban yang aku berikan. Sambil membereskan buku, aku melirik Sean yang berdiri disampingku, “Duduk.” Sean duduk dibangku Nadia, “Gimana mediasinya?” “Lancar.” “Jadi siapa yang dihukum?” “Gak ada. Pak Rino bilang kalo Karina ganggu aku lagi, dia bisa diturunkan kelas atau terpaksa dikeluarkan dari sekolah.” Sean manggut-manggut. Ia tak bicara lagi. “Kamu... marah sama aku?” “Marah kenapa?” “Soalnya kemarin aku pergi gitu aja, bolos sekolah.” “Enggak.” “Atau marah karena aku gak dengerin kamu kemarin? Aku malah terus ngelawan Karina.” Sean menatapku serius, “Aku marah karena hal la
Sepanjang pelajaran bahasa Prancis, seperti biasa selalu ada game. Kali ini siapapun yang mendapat kertas sial harus maju ke depan untuk bicara bahasa Prancis mengenai apapun. Dan hari ini aku sedang sial. “Beri tepuk tangan untuk Aura!” suara heboh Bayu yang dibuat-buat membuat teman-teman sekelasku sedikit aneh, tapi mereka tetap tepuk tangan. Aku kini berdiri di muka kelas. Siap ditertawakan seperti biasa. Ku lirik Karina dibangkunya yang tampak sedikit kalem. “Ayo, Ra, kamu harus bicara dalam bahasa Prancis, bahas apapun.” titah Bayu berusaha profesional. Aku tahu dia malas melakukan itu untuk dua hal. Pertama, karena ia akan tahu hasilnya seperti apa, kedua karena ia sedang khawatir pada kondisi Maira di rumah sakit. Mataku mengedar ke seluruh isi kelas. Melihat situasi terkini, aktivitas yang dilakukan semua teman. “Bonjour.” kataku memulai. “Bonjour.” seisi kelas kompak membalas. Aku membuang nafas sebelum mulai melafalkan kalimat bahasa Prancis yang ku bisa. “S
Ponselku bergetar pendek. Bayu pasti sudah diparkiran. “Pak, saya duluan ya. Permisi.” Aku berlari cepat menuju mobil dan langsung duduk disebelah Bayu yang langsung melajukan mobil. “Kok lo bisa pulang duluan?” tanyanya sambil mengangguk pada satpam sekolah. “Gue dapet hadiah dari pak Andre.” Dia melirikku, “Habis ngapain dapet hadiah segala?” “Nilai kuis gue paling tinggi lagi. Biasanya dia kasih coklat, tapi katanya takut gue kena Diabetes, dia ganti hadiahnya. Gue boleh minta apapun, jadi ya—gue disini sama lo sekarang.” Bayu tertawa meledek, “Sok romantis dan sok peduli dia. Hati-hati lo sama jenis Komodo yang mau punah gitu.” Aku tak berniat membalas perkataannya. “Hasil penjualan kalung berapa?” “Karena masih baru, untuk banyak sih, sekitar dua puluh sembilan juta tujuh ratus.” Aku melotot, “Semahal itu?” “Kalung itu berliannya cuma berapa karat. Cincin Maira lebih mahal lagi, sekitar lima puluh juta. Lo suka liat ‘kan kerlap-kerlip kemahalan di jarinya?
“Adek kenapa toh?” Aku menangis kencang karena sudah tidak kuat menahan ketakutan itu, “Tolong jangan sakiti saya, pak.” “Gak ada yang mau nyakitin adek.” Aku berjongkok, menangis tersedu. “Duh, dek, kok nangis? Bapak cuma minta adek masuk.” Aku tak perdulikan suara lembut supir itu. Aku menangis semakin kencang, hingga suara motor Sean mendekat. Aku bangkit dan mendekatinya, “Sean, tolong aku.” Sean menyembunyikan tubuhku dibelakangnya, “Bapak mau apa sama pacar saya?” Supir itu menggeleng, “Saya hanya minta adeknya untuk masuk. Saya lagi benerin kap mobil sebentar, karena tadi jalannya gak enak. Sumpah, saya gak ada niat jahat sama sekali, mas.” Sean memeriksa saku si bapak, untuk melihat apakah ada benda tajam, atau alat penunjang kejahatan lainnya. Ia melirikku, “Kamu gak papa?” “Sean, aku takut.” “Bapaknya bukan orang jahat. Gak ada apa-apa di sakunya.” Aku memeluk Sean erat, “Aku gak akan pernah pulang sendiri lagi.” Sean membalas pelukanku tak kalah er
Aku beranjak bangun dari kursi makan setelah selesai sarapan. Setelah ku cium pipi Askara yang semakin chubby di stroler. Aku salim pada mama, papa dan ibu. Tak lupa aku sungkem pada Adit yang berakting seolah ia adalah raja. “Kamu tuh, seneng banget jailin adeknya.” Ibu menegur karena menilai Adit sudah keterlaluan. “Aku berangkat ya?” “Iya hati-hati.” mama menyahui sebagai perwakilan. Aku berjalan senang karena mulai hari ini akan berangkat dan pulang bareng dengan Sean. Kami terlihat jadi pasangan pacaran betulan. Di ruang tamu, aku melihat Bayu baru datang. Mukanya lelah sekali. Dia pasti tidak tidur semalaman. “Bay?” “Lo udah mau berangkat? Tunggu deh, gue belum mandi.” Aku menunjuk ke arah depan, “Gue—berangkat sama Sean.” “Hah? Gila lo ya, papa pasti marah lah.” “Justru papa yang nyuruh.” Ekspresi wajah Bayu langsung asem. Ia sepertinya tahu kenapa papa memintaku berangkat bersama Sean. “Gue—duluan.” kataku buru-buru. Bayu langsung berjalan lunglai me
Di kelas hanya ada beberapa orang. Itu pun mereka sibuk sendiri. Aku dan Sean seperti biasa hanya duduk bersebelahan saling melempar senyum. Kadang aku masih tidak menyangka, kenapa bule tampan sempurna sepertinya bisa suka padaku. Rasanya seperti mimpi saja. Apa benar pangeran dan Upik Abu itu benar adanya? “Ra, kamu lagi gak ada masalah ‘kan di rumah?” Aku menggeleng. “Aku... boleh tanya sesuatu gak soal keluarga kamu?” “Boleh. Kenapa?” “Kamu emang tinggal permanen ya di rumah pak Bayu?” Aku menoleh dan menganga. Lama-lama Sean pasti curiga sih. Aku harus menjawab apa ya? “Aku bahkan gak tahu rumah kamu dimana. Jemput atau nganterin pulang selalu ke rumah pak Bayu. Ya bukan apa-apa, aku cuma pengen tahu rumah kamu.” Aku tersenyum canggung, “Rumah aku... jelek, Sean.” “Aku mau tahu rumah kamu bukan untuk menilai bagus atau jelek.” “Aku tahu.” kataku pelan. “Jadi?” “Kalo udah saatnya, aku pasti ajak kamu ke rumah aku.” Sean mengangguk, “Ra, kalo aku ajak kam
Tak ku dengar suara nafas yang berat, atau pertanyaan “apa?” percis di sinetron yang sering ku lihat. Yang ku dengar justru adalah suara sapu lidi yang digunakan tukang bersih-bersih sekolah yang sedang menyapu dekat sini. Ku beranikan membuka mata untuk tahu sedang apa Sean, ketika aku memberi tahunya bahwa aku dan Bayu adalah suami istri. “Sean?” “Ra, aku gak salah denger?” Aku menggeleng. Sean yang sedari tadi menahan nafas, kini mulai membuang nafasnya perlahan. Mata dan wajahnya merah, seperti baru sadar dari sebuah hipnotis. Aku tahu responnya akan terkejut, tapi tidak ku sangka dia akan sekaget itu. Tidak ada yang bicara. Aku dan Sean sama-sama diam membeku dengan pikiran masing-masing. Sesekali ku lirik wajahnya yang sudah tak lagi merah, “Aku minta maaf. Aku—poliandri.” Sean melirikku, “Apa keluarga kamu punya hutang sama keluarga pak Bayu?” Aku menggeleng. “Perjanj