“Adek kenapa toh?” Aku menangis kencang karena sudah tidak kuat menahan ketakutan itu, “Tolong jangan sakiti saya, pak.” “Gak ada yang mau nyakitin adek.” Aku berjongkok, menangis tersedu. “Duh, dek, kok nangis? Bapak cuma minta adek masuk.” Aku tak perdulikan suara lembut supir itu. Aku menangis semakin kencang, hingga suara motor Sean mendekat. Aku bangkit dan mendekatinya, “Sean, tolong aku.” Sean menyembunyikan tubuhku dibelakangnya, “Bapak mau apa sama pacar saya?” Supir itu menggeleng, “Saya hanya minta adeknya untuk masuk. Saya lagi benerin kap mobil sebentar, karena tadi jalannya gak enak. Sumpah, saya gak ada niat jahat sama sekali, mas.” Sean memeriksa saku si bapak, untuk melihat apakah ada benda tajam, atau alat penunjang kejahatan lainnya. Ia melirikku, “Kamu gak papa?” “Sean, aku takut.” “Bapaknya bukan orang jahat. Gak ada apa-apa di sakunya.” Aku memeluk Sean erat, “Aku gak akan pernah pulang sendiri lagi.” Sean membalas pelukanku tak kalah er
Aku beranjak bangun dari kursi makan setelah selesai sarapan. Setelah ku cium pipi Askara yang semakin chubby di stroler. Aku salim pada mama, papa dan ibu. Tak lupa aku sungkem pada Adit yang berakting seolah ia adalah raja. “Kamu tuh, seneng banget jailin adeknya.” Ibu menegur karena menilai Adit sudah keterlaluan. “Aku berangkat ya?” “Iya hati-hati.” mama menyahui sebagai perwakilan. Aku berjalan senang karena mulai hari ini akan berangkat dan pulang bareng dengan Sean. Kami terlihat jadi pasangan pacaran betulan. Di ruang tamu, aku melihat Bayu baru datang. Mukanya lelah sekali. Dia pasti tidak tidur semalaman. “Bay?” “Lo udah mau berangkat? Tunggu deh, gue belum mandi.” Aku menunjuk ke arah depan, “Gue—berangkat sama Sean.” “Hah? Gila lo ya, papa pasti marah lah.” “Justru papa yang nyuruh.” Ekspresi wajah Bayu langsung asem. Ia sepertinya tahu kenapa papa memintaku berangkat bersama Sean. “Gue—duluan.” kataku buru-buru. Bayu langsung berjalan lunglai me
Di kelas hanya ada beberapa orang. Itu pun mereka sibuk sendiri. Aku dan Sean seperti biasa hanya duduk bersebelahan saling melempar senyum. Kadang aku masih tidak menyangka, kenapa bule tampan sempurna sepertinya bisa suka padaku. Rasanya seperti mimpi saja. Apa benar pangeran dan Upik Abu itu benar adanya? “Ra, kamu lagi gak ada masalah ‘kan di rumah?” Aku menggeleng. “Aku... boleh tanya sesuatu gak soal keluarga kamu?” “Boleh. Kenapa?” “Kamu emang tinggal permanen ya di rumah pak Bayu?” Aku menoleh dan menganga. Lama-lama Sean pasti curiga sih. Aku harus menjawab apa ya? “Aku bahkan gak tahu rumah kamu dimana. Jemput atau nganterin pulang selalu ke rumah pak Bayu. Ya bukan apa-apa, aku cuma pengen tahu rumah kamu.” Aku tersenyum canggung, “Rumah aku... jelek, Sean.” “Aku mau tahu rumah kamu bukan untuk menilai bagus atau jelek.” “Aku tahu.” kataku pelan. “Jadi?” “Kalo udah saatnya, aku pasti ajak kamu ke rumah aku.” Sean mengangguk, “Ra, kalo aku ajak kam
Tak ku dengar suara nafas yang berat, atau pertanyaan “apa?” percis di sinetron yang sering ku lihat. Yang ku dengar justru adalah suara sapu lidi yang digunakan tukang bersih-bersih sekolah yang sedang menyapu dekat sini. Ku beranikan membuka mata untuk tahu sedang apa Sean, ketika aku memberi tahunya bahwa aku dan Bayu adalah suami istri. “Sean?” “Ra, aku gak salah denger?” Aku menggeleng. Sean yang sedari tadi menahan nafas, kini mulai membuang nafasnya perlahan. Mata dan wajahnya merah, seperti baru sadar dari sebuah hipnotis. Aku tahu responnya akan terkejut, tapi tidak ku sangka dia akan sekaget itu. Tidak ada yang bicara. Aku dan Sean sama-sama diam membeku dengan pikiran masing-masing. Sesekali ku lirik wajahnya yang sudah tak lagi merah, “Aku minta maaf. Aku—poliandri.” Sean melirikku, “Apa keluarga kamu punya hutang sama keluarga pak Bayu?” Aku menggeleng. “Perjanj
Beberapa menit setelah terduduk lemas, Sean pamit pulang. Ia pergi sebelum aku kenalkan pada ibu. Tidak papa, aku paham situasinya. Aku juga akan pergi begitu jika saja Sean tiba-tiba memperkenalkan seorang bayi sebagai anaknya. Aku menutup pintu ruang tamu dan duduk di sofa mengayun-ayun Askara yang sempat terbangun. “Ra, kamu udah pulang?” “Eh, ibu udah bangun?” Ibu duduk disampingku, “Kok ibu denger ada suara orang lain. Siapa?” Aku belum siap mengatakan kalau ada teman di sekolah yang tahu rahasia keluarga mengenai pernikahanku dan Bayu, serta kehadiran Askara ditengah-tengah kami, “Suara dari hape, bu.” “Oh. Oyah, kamu istirahat sana, terus pulang ke rumah kak Bayu ya?” “Yah, bu, ‘kan ada ibu disini.” “Ibu berangkat ke Surabaya nanti sore.” “Bu,” aku manyun, keberatan, “Ibu kurang lama disini.” “Terus pabrik gimana kalo ibu terlalu lama disini?” “Ibu biasany
Pagi-pagi, aku menunggu chat dari Sean. Aku takut dia tidak datang menjemputku ke rumah. Karena dari kemarin siang, ia sama sekali tidak menghubungiku. Ketika aku mengirim pesan duluan untuk menanyakan tugas kelompok pun ia tidak memberi respon. “Ra, kok gak di makan buburnya? Kamu gak suka ya?” Aku menatap mama, “Suka kok, ma. Aku—cuma lagi kurang enak badan.” “Kamu mau tetep sekolah?” tanya papa. Aku mengangguk, “Sebentar lagi UTS, pa.” “Materi sepertinya udah pada habis, cuma latihan soal. Kamu istirahat aja di rumah. Nanti biar mama yang telpon wali kelas kamu.” “Aku—sekolah aja, pa.” Papa melirik ke arah tangga. Bayu tak kunjung turun dari kamar. Tadi juga dia tidak mandi, dan hanya bermanja-manja pada Askara. Sepertinya ia tidak akan ke sekolah lagi hari ini. “Kamu dianter supir, ya? Kalo bawa mobil sendiri, takut kamu pusing di jalan. Eh, atau Sean jemput kesini?” Aku menggeleng, “Dia gak bilang. Kayaknya dia gak jemput.” “Ya udah sama supir aja. Nanti kalo
Aku langsung masuk UGD ketika Bayu memberikan catatan dari dokter yang memeriksaku di sekolah. Aku tak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya, sehingga hal seperti ini membuat jantungku berdetak seperti orang jatuh cinta. Bedanya ini tidak seru. Bayu beberapa kali menenangkanku. Ia tahu dengan jelas, kalau bisa kabur, aku pasti kabur dari sini. “Nanti begitu labu infusan ini abis, lo pindah ke ruang ranap.” Aku menoleh, “Gue pikir kita bisa pulang.” “Darah lo belum naik.” Aku menatap wajanya khawatir, “Gue pikir karena sering marah-marah, gue darah tinggi, taunya malah darah rendah.” “Gak ada urusannya.” “Ada. Katanya kalo darah tinggi suka marah-marah.” “Kebalik. Marah-marah yang bikin darah tinggi.” Aku mengangkat bibir atasku, “Sok tahu, emang lo dokter?” “Iya, dokter Bayu.” “Lo gak kasih tahu ibu ‘kan gue disini?” Bayu menggeleng, “Gue gak sotoy kayak lo!” “Dih.” Bayu beranjak, tapi aku menahan lengannya. “Jangan pergi. Gue takut.” Bayu melihat s
Bayu melotot ketika aku menjelaskan bahwa Sean sudah tahu hubungan suami istri yang terjalin antara kita. Dia berkacak pinggang, menahan nafasnya yang sebentar lagi pasti akan menghembus kencang bagai kuda. “Lo udah gila, Ra?” “Gue gak akan di vonis darah rendah sih kalo gila.” jawabku santai. Bayu menurunkan lengan dikedua belah pinggangnya. Ia melihat sana-sini, lalu melirik parsel buah dan buket bunga yang kini terduduk manis di nakas. “Kalo nyokap bokap tahu gimana?” “Sean gak bawel, dia bisa jaga rahasia.” “Ra!” “Apa! Heh, segitu untung ya, gue gak bilang kalo Askara bukan anak kandung gue! Lo ‘kan bilang semuanya sama Maira.” “Ya itu beda lah, dodol!” “Dih. Dodol? Elo itu mah!” Bayu menunjuk pintu yang tertutup, “Kalo nyokap bokap tahu, kita habis, Ra!” “Apanya sih? Lo tuh heboh banget.” “Sean itu orang lain. Dia bisa aja merencanakan ngadu semuanya. Soal kalian yang pacaran, dan lo yang bocorin status pernikahan kita sama dia.” Aku merebahkan diri dika