Di kelas hanya ada beberapa orang. Itu pun mereka sibuk sendiri. Aku dan Sean seperti biasa hanya duduk bersebelahan saling melempar senyum. Kadang aku masih tidak menyangka, kenapa bule tampan sempurna sepertinya bisa suka padaku. Rasanya seperti mimpi saja. Apa benar pangeran dan Upik Abu itu benar adanya? “Ra, kamu lagi gak ada masalah ‘kan di rumah?” Aku menggeleng. “Aku... boleh tanya sesuatu gak soal keluarga kamu?” “Boleh. Kenapa?” “Kamu emang tinggal permanen ya di rumah pak Bayu?” Aku menoleh dan menganga. Lama-lama Sean pasti curiga sih. Aku harus menjawab apa ya? “Aku bahkan gak tahu rumah kamu dimana. Jemput atau nganterin pulang selalu ke rumah pak Bayu. Ya bukan apa-apa, aku cuma pengen tahu rumah kamu.” Aku tersenyum canggung, “Rumah aku... jelek, Sean.” “Aku mau tahu rumah kamu bukan untuk menilai bagus atau jelek.” “Aku tahu.” kataku pelan. “Jadi?” “Kalo udah saatnya, aku pasti ajak kamu ke rumah aku.” Sean mengangguk, “Ra, kalo aku ajak kam
Tak ku dengar suara nafas yang berat, atau pertanyaan “apa?” percis di sinetron yang sering ku lihat. Yang ku dengar justru adalah suara sapu lidi yang digunakan tukang bersih-bersih sekolah yang sedang menyapu dekat sini. Ku beranikan membuka mata untuk tahu sedang apa Sean, ketika aku memberi tahunya bahwa aku dan Bayu adalah suami istri. “Sean?” “Ra, aku gak salah denger?” Aku menggeleng. Sean yang sedari tadi menahan nafas, kini mulai membuang nafasnya perlahan. Mata dan wajahnya merah, seperti baru sadar dari sebuah hipnotis. Aku tahu responnya akan terkejut, tapi tidak ku sangka dia akan sekaget itu. Tidak ada yang bicara. Aku dan Sean sama-sama diam membeku dengan pikiran masing-masing. Sesekali ku lirik wajahnya yang sudah tak lagi merah, “Aku minta maaf. Aku—poliandri.” Sean melirikku, “Apa keluarga kamu punya hutang sama keluarga pak Bayu?” Aku menggeleng. “Perjanj
Beberapa menit setelah terduduk lemas, Sean pamit pulang. Ia pergi sebelum aku kenalkan pada ibu. Tidak papa, aku paham situasinya. Aku juga akan pergi begitu jika saja Sean tiba-tiba memperkenalkan seorang bayi sebagai anaknya. Aku menutup pintu ruang tamu dan duduk di sofa mengayun-ayun Askara yang sempat terbangun. “Ra, kamu udah pulang?” “Eh, ibu udah bangun?” Ibu duduk disampingku, “Kok ibu denger ada suara orang lain. Siapa?” Aku belum siap mengatakan kalau ada teman di sekolah yang tahu rahasia keluarga mengenai pernikahanku dan Bayu, serta kehadiran Askara ditengah-tengah kami, “Suara dari hape, bu.” “Oh. Oyah, kamu istirahat sana, terus pulang ke rumah kak Bayu ya?” “Yah, bu, ‘kan ada ibu disini.” “Ibu berangkat ke Surabaya nanti sore.” “Bu,” aku manyun, keberatan, “Ibu kurang lama disini.” “Terus pabrik gimana kalo ibu terlalu lama disini?” “Ibu biasany
Pagi-pagi, aku menunggu chat dari Sean. Aku takut dia tidak datang menjemputku ke rumah. Karena dari kemarin siang, ia sama sekali tidak menghubungiku. Ketika aku mengirim pesan duluan untuk menanyakan tugas kelompok pun ia tidak memberi respon. “Ra, kok gak di makan buburnya? Kamu gak suka ya?” Aku menatap mama, “Suka kok, ma. Aku—cuma lagi kurang enak badan.” “Kamu mau tetep sekolah?” tanya papa. Aku mengangguk, “Sebentar lagi UTS, pa.” “Materi sepertinya udah pada habis, cuma latihan soal. Kamu istirahat aja di rumah. Nanti biar mama yang telpon wali kelas kamu.” “Aku—sekolah aja, pa.” Papa melirik ke arah tangga. Bayu tak kunjung turun dari kamar. Tadi juga dia tidak mandi, dan hanya bermanja-manja pada Askara. Sepertinya ia tidak akan ke sekolah lagi hari ini. “Kamu dianter supir, ya? Kalo bawa mobil sendiri, takut kamu pusing di jalan. Eh, atau Sean jemput kesini?” Aku menggeleng, “Dia gak bilang. Kayaknya dia gak jemput.” “Ya udah sama supir aja. Nanti kalo
Aku langsung masuk UGD ketika Bayu memberikan catatan dari dokter yang memeriksaku di sekolah. Aku tak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya, sehingga hal seperti ini membuat jantungku berdetak seperti orang jatuh cinta. Bedanya ini tidak seru. Bayu beberapa kali menenangkanku. Ia tahu dengan jelas, kalau bisa kabur, aku pasti kabur dari sini. “Nanti begitu labu infusan ini abis, lo pindah ke ruang ranap.” Aku menoleh, “Gue pikir kita bisa pulang.” “Darah lo belum naik.” Aku menatap wajanya khawatir, “Gue pikir karena sering marah-marah, gue darah tinggi, taunya malah darah rendah.” “Gak ada urusannya.” “Ada. Katanya kalo darah tinggi suka marah-marah.” “Kebalik. Marah-marah yang bikin darah tinggi.” Aku mengangkat bibir atasku, “Sok tahu, emang lo dokter?” “Iya, dokter Bayu.” “Lo gak kasih tahu ibu ‘kan gue disini?” Bayu menggeleng, “Gue gak sotoy kayak lo!” “Dih.” Bayu beranjak, tapi aku menahan lengannya. “Jangan pergi. Gue takut.” Bayu melihat s
Bayu melotot ketika aku menjelaskan bahwa Sean sudah tahu hubungan suami istri yang terjalin antara kita. Dia berkacak pinggang, menahan nafasnya yang sebentar lagi pasti akan menghembus kencang bagai kuda. “Lo udah gila, Ra?” “Gue gak akan di vonis darah rendah sih kalo gila.” jawabku santai. Bayu menurunkan lengan dikedua belah pinggangnya. Ia melihat sana-sini, lalu melirik parsel buah dan buket bunga yang kini terduduk manis di nakas. “Kalo nyokap bokap tahu gimana?” “Sean gak bawel, dia bisa jaga rahasia.” “Ra!” “Apa! Heh, segitu untung ya, gue gak bilang kalo Askara bukan anak kandung gue! Lo ‘kan bilang semuanya sama Maira.” “Ya itu beda lah, dodol!” “Dih. Dodol? Elo itu mah!” Bayu menunjuk pintu yang tertutup, “Kalo nyokap bokap tahu, kita habis, Ra!” “Apanya sih? Lo tuh heboh banget.” “Sean itu orang lain. Dia bisa aja merencanakan ngadu semuanya. Soal kalian yang pacaran, dan lo yang bocorin status pernikahan kita sama dia.” Aku merebahkan diri dika
Aku bangkit untuk memegangi dahinya, “Gak panas. Lo ketempelan setan apaan?” Tanpa bertanya, ia menyelusup ke dalam selimut dan tidur disebelah bantalku. “Bay, apaan sih. Ranjangnya jadi sempit kalo lo disini.” Bayu tak menjawab. Ia langsung tidur menyamping ke arah bantal kosong, dimana itu adalah tempatku. Tunggu, jadi nanti kalau aku tidur disampingnya, mukanya yang sok kecakepan itu akan mengarah ke mukaku? Aku menggoyang-goyangkan badannya, “Bay, pindah sana ke sofa. Dari siang juga lo tidur di sana, selamet-selamet aja.” “Gue mau tidur disini.” “Bay!” Bayu membuka matanya, “Ra, biar cepet sembuh. Lo butuh attachment dari gue.” “Lo pikir gue Askara? Udah, gak usah ngadi-ngadi. Pindah ke sofa!” “Ra, badan gue pegel kalo di sofa.” “Oh, jadi gue aja nih yang di sofa?” Bayu bangun, “Lo tuh takut banget gue apa-apain? Pikiran gue bersih, Ra, dari hal-hal cabul begitu. Selama ini juga gue gak pernah ‘kan macem-macem sama lo? Aman lah.” Aku masih tak habis pik
Aku sarapan dengan terus diperhatikan Bayu. Rasanya tak nyaman. Tadi saja ketika jadwal mandi oleh perawat, si Bayu mengambil alih. Aku sudah menolak keras, tapi kalian tahu sendiri lah, terkadang dia yang memegang kendali, sehingga ya aku kalah. “Lo kenapa?” tanyaku. “Gue?” ia menunjuk diri sendiri, “Gak papa, gue sehat. Yang sakit ‘kan elo.” Aku tak bertanya lagi, percuma. Tak akan ada jawaban. Bayu bangkit, “Ada yang mau dibeli gak? Gue mau ke mini market.” Aku menggeleng. Bayu keluar begitu saja, meninggalkan ponsel yang biasanya ke toilet saja dibawa. Aku sebenarnya tak peduli. Tapi serius deh, si Bayu jadi baik begitu membuatku degdegan takut. Dia tidak ikut sekte aneh ‘kan ya? Yang memberinya tugas untuk baik pada orang terdekatnya, lalu nanti dia akan mengambil jiwaku? Pintu kamar diketuk. “Elah, masuk aja napa si, Bay.” Pintu dibuka sedikit. Kepala seseorang terlihat sedikit. Itu bukan Bayu, tapi, “Sean?” “Aku boleh masuk?” “Boleh dong, masuk Sean.”