Beranda / Romansa / PERFAKE HUSBAND / 69. Sean Menghindar

Share

69. Sean Menghindar

Penulis: Rahmani Rima
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-15 08:00:23

Pagi-pagi, aku menunggu chat dari Sean. Aku takut dia tidak datang menjemputku ke rumah. Karena dari kemarin siang, ia sama sekali tidak menghubungiku. Ketika aku mengirim pesan duluan untuk menanyakan tugas kelompok pun ia tidak memberi respon.

“Ra, kok gak di makan buburnya? Kamu gak suka ya?”

Aku menatap mama, “Suka kok, ma. Aku—cuma lagi kurang enak badan.”

“Kamu mau tetep sekolah?” tanya papa.

Aku mengangguk, “Sebentar lagi UTS, pa.”

“Materi sepertinya udah pada habis, cuma latihan soal. Kamu istirahat aja di rumah. Nanti biar mama yang telpon wali kelas kamu.”

“Aku—sekolah aja, pa.”

Papa melirik ke arah tangga. Bayu tak kunjung turun dari kamar. Tadi juga dia tidak mandi, dan hanya bermanja-manja pada Askara. Sepertinya ia tidak akan ke sekolah lagi hari ini.

“Kamu dianter supir, ya? Kalo bawa mobil sendiri, takut kamu pusing di jalan. Eh, atau Sean jemput kesini?”

Aku menggeleng, “Dia gak bilang. Kayaknya dia gak jemput.”

“Ya udah sama supir aja. Nanti kalo
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • PERFAKE HUSBAND    70. Seharian dengan Bayu

    Aku langsung masuk UGD ketika Bayu memberikan catatan dari dokter yang memeriksaku di sekolah. Aku tak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya, sehingga hal seperti ini membuat jantungku berdetak seperti orang jatuh cinta. Bedanya ini tidak seru. Bayu beberapa kali menenangkanku. Ia tahu dengan jelas, kalau bisa kabur, aku pasti kabur dari sini. “Nanti begitu labu infusan ini abis, lo pindah ke ruang ranap.” Aku menoleh, “Gue pikir kita bisa pulang.” “Darah lo belum naik.” Aku menatap wajanya khawatir, “Gue pikir karena sering marah-marah, gue darah tinggi, taunya malah darah rendah.” “Gak ada urusannya.” “Ada. Katanya kalo darah tinggi suka marah-marah.” “Kebalik. Marah-marah yang bikin darah tinggi.” Aku mengangkat bibir atasku, “Sok tahu, emang lo dokter?” “Iya, dokter Bayu.” “Lo gak kasih tahu ibu ‘kan gue disini?” Bayu menggeleng, “Gue gak sotoy kayak lo!” “Dih.” Bayu beranjak, tapi aku menahan lengannya. “Jangan pergi. Gue takut.” Bayu melihat s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • PERFAKE HUSBAND    71. Bayu yang Tak Biasa

    Bayu melotot ketika aku menjelaskan bahwa Sean sudah tahu hubungan suami istri yang terjalin antara kita. Dia berkacak pinggang, menahan nafasnya yang sebentar lagi pasti akan menghembus kencang bagai kuda. “Lo udah gila, Ra?” “Gue gak akan di vonis darah rendah sih kalo gila.” jawabku santai. Bayu menurunkan lengan dikedua belah pinggangnya. Ia melihat sana-sini, lalu melirik parsel buah dan buket bunga yang kini terduduk manis di nakas. “Kalo nyokap bokap tahu gimana?” “Sean gak bawel, dia bisa jaga rahasia.” “Ra!” “Apa! Heh, segitu untung ya, gue gak bilang kalo Askara bukan anak kandung gue! Lo ‘kan bilang semuanya sama Maira.” “Ya itu beda lah, dodol!” “Dih. Dodol? Elo itu mah!” Bayu menunjuk pintu yang tertutup, “Kalo nyokap bokap tahu, kita habis, Ra!” “Apanya sih? Lo tuh heboh banget.” “Sean itu orang lain. Dia bisa aja merencanakan ngadu semuanya. Soal kalian yang pacaran, dan lo yang bocorin status pernikahan kita sama dia.” Aku merebahkan diri dika

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • PERFAKE HUSBAND    72. Masih Bayu yang Lain

    Aku bangkit untuk memegangi dahinya, “Gak panas. Lo ketempelan setan apaan?” Tanpa bertanya, ia menyelusup ke dalam selimut dan tidur disebelah bantalku. “Bay, apaan sih. Ranjangnya jadi sempit kalo lo disini.” Bayu tak menjawab. Ia langsung tidur menyamping ke arah bantal kosong, dimana itu adalah tempatku. Tunggu, jadi nanti kalau aku tidur disampingnya, mukanya yang sok kecakepan itu akan mengarah ke mukaku? Aku menggoyang-goyangkan badannya, “Bay, pindah sana ke sofa. Dari siang juga lo tidur di sana, selamet-selamet aja.” “Gue mau tidur disini.” “Bay!” Bayu membuka matanya, “Ra, biar cepet sembuh. Lo butuh attachment dari gue.” “Lo pikir gue Askara? Udah, gak usah ngadi-ngadi. Pindah ke sofa!” “Ra, badan gue pegel kalo di sofa.” “Oh, jadi gue aja nih yang di sofa?” Bayu bangun, “Lo tuh takut banget gue apa-apain? Pikiran gue bersih, Ra, dari hal-hal cabul begitu. Selama ini juga gue gak pernah ‘kan macem-macem sama lo? Aman lah.” Aku masih tak habis pik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • PERFAKE HUSBAND    73. Insyaf, Katanya

    Aku sarapan dengan terus diperhatikan Bayu. Rasanya tak nyaman. Tadi saja ketika jadwal mandi oleh perawat, si Bayu mengambil alih. Aku sudah menolak keras, tapi kalian tahu sendiri lah, terkadang dia yang memegang kendali, sehingga ya aku kalah. “Lo kenapa?” tanyaku. “Gue?” ia menunjuk diri sendiri, “Gak papa, gue sehat. Yang sakit ‘kan elo.” Aku tak bertanya lagi, percuma. Tak akan ada jawaban. Bayu bangkit, “Ada yang mau dibeli gak? Gue mau ke mini market.” Aku menggeleng. Bayu keluar begitu saja, meninggalkan ponsel yang biasanya ke toilet saja dibawa. Aku sebenarnya tak peduli. Tapi serius deh, si Bayu jadi baik begitu membuatku degdegan takut. Dia tidak ikut sekte aneh ‘kan ya? Yang memberinya tugas untuk baik pada orang terdekatnya, lalu nanti dia akan mengambil jiwaku? Pintu kamar diketuk. “Elah, masuk aja napa si, Bay.” Pintu dibuka sedikit. Kepala seseorang terlihat sedikit. Itu bukan Bayu, tapi, “Sean?” “Aku boleh masuk?” “Boleh dong, masuk Sean.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • PERFAKE HUSBAND    74. Makin Jadi

    “Oh gitu ya? Ya udah mama ke kamar mandi luar ya?” mama keluar ruangan buru-buru. Saat itu, aku langsung turun dari ranjang, menenteng infusan menuju kamar mandi. “Eh, mau kemana lo?” Aku tak menggubris pertanyaan Bayu. Ku buka cepat-cepat kamar mandi, “Sean, buruan keluar, mumpung mama lagi gak ada.” Sean mengangguk. Bayu yang tak tahu ada Sean disini, melotot tak percaya, “Sean?” “Pak?” Sean mengangguk sopan, “Saya—minta maaf kesini diem-diem. Tadi bapak gak ada.” “Oh, iya, saya tadi pergi ke luar dulu. Kamu—gak sekolah?” “Ini mau langsung sekolah, pak. Kalo gitu saya permisi.” “Iya-iya, silakan.” Sean menatapku sebentar sambil tersenyum, “Nanti sore aku kesini lagi, ya? Tapi aku harap kamu udah pulang sih, dan besok udah bisa sekolah.” “Ekhem,” Bayu berdehem, “Sean, tenang aja ya, saya—akan mengurus istri saya dengan baik,” dia merangkulku, “Saya pasti menjaga dia. Itu memang sudah kewajiban saya.” Aku menyingkirkan tangan Bayu yang sok asik nangkring dibah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • PERFAKE HUSBAND    75. Pulang

    Setelah ku paksakan makan hampir semua yang Sean dan mama bawakan, karena katanya itu bisa menaikkan tensi darah, dokter mengatakan aku bisa pulang malam ini. Meski protes, karena aku maunya pulang saat masih siang, Adit bilang aku harus bersyukur. “Nanti gue ada acara balik kerja. Jadi lo langsung pulang aja sama keluarga si Bayu.” Adit duduk di sofa, menikmati sisa makanan yang Sean bawakan di jam makan siang. “Gue—mau pulang ke rumah.” “Ya itu, rumah Bayu.” katanya tanpa menatap wajahku. “Rumah kita, kak.” Adit menaruh piring dan bersendawa besar, lalu bergerak secepat kilat untuk duduk di kursi samping ranjang, “Kenapa lagi?” Aku memainkan kukuku. Adit harus tahu, jika tadi pagi, Bayu memberikan serangan seksual padaku. Meski tidak jadi, aku tetap takut. “Kenapa?” bentak Adit. Aura gertakannya kuat sekali. “Itu—apa—si Bayu—” Aku tiba-tiba terbata menatap wajahnya yang sok garang. “Kenapa sama dia?” “Gue—gak mau satu kamar sama dia.” Adit tak langsung menjawab

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • PERFAKE HUSBAND    76. Dilema

    Aku menatap langit-langit kamar yang sudah gelap dengan tarikan nafas yang dalam. Tadi, ketika akan pulang, Adit datang buru-buru dan memintaku pada mama dan papa untuk membawaku ke rumah ini. Mereka jelas bingung. Lalu Adit mengatakan aku dan Bayu bertengkar, dan untuk masalahnya mereka bisa tanya Bayu. “Kok gue gak bisa tidur ya?” Aku menyalakan lampu. Ku mainkan ponsel, berharap dengan begitu, rasa kantuk akan datang, karena besok aku harus sekolah. Ada notifikasi masuk dari Sean. Ia tahu aku sudah pulang dari rumah sakit dan pulang ke rumahku, bukan Bayu. Dan kini ia mengatakan ada didepan rumah. Aku bergegas menemuinya. Ku putar kunci kamar dan mendapati Adit masih sibuk bekerja membuat laporan di ruang tamu. “Mau kemana?” Aku menggaruk leherku, “Ada Sean di depan.” “Ngapain?” “Mau jengukin gue.” Adit menggeleng, “Udah jam sembilan. Lo istirahat, tidur. Besok sekolah.” “Dit, katanya dia bawa steik wagyu A5.” Adit beranjak bangun. Ia buru-buru membuka pintu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • PERFAKE HUSBAND    77. UAS

    Semenjak malam itu, hubunganku dan Sean merenggang. Aku tahu ini akan terjadi, tapi itu resikonya. Aku memang sayang pada Askara. Tidak mungkin aku membiarkannya sakit tanpa ku temani. Pagi ini UAS hari pertama. Aku sarapan agar mendapatkan fokus dan menjawab pertanyaan dengan baik. Aku harus bisa mempertahankan nilai terbaik di sekolah. “Ra, nanti pulang lebih cepet ya?” “Iya, ma.” “Kamu bisa gak nemenin mama belanja pulang sekolah? Nanti Askara dibawa, biar sekalian dipijet di salon.” “Oh, boleh, ma.” Mama menatapku cukup serius. Di meja makan, hanya ada aku dan mama, serta Askara yang tidur di stroller, “Ra,” “Kenapa, ma?” “Mama boleh tanya sesuatu gak sama kamu?” “Boleh. Mama mau tanya apa?” “Apa kamu—butuh rumah?” Aku mengernyit, “Rumah gimana maksud mama?” “Rumah buat kamu, kak Bayu dan Askara?” Aku diam, berusaha mencerna pertanyaan mama. “Mama sama papa cuma khawatir, kamu sama kak Bayu selalu pisah rumah setiap berantem, karena gak enak sama kami.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18

Bab terbaru

  • PERFAKE HUSBAND    144. Bukan Suami Palsu

    Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil

  • PERFAKE HUSBAND    143. Malam Pertama Mantan Musuh

    Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan

  • PERFAKE HUSBAND    142. Adu RaYu (Aura - Bayu)

    “...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny

  • PERFAKE HUSBAND    141. Kode Rahasia

    Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf

  • PERFAKE HUSBAND    140. Bayu Sekarat

    Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari

  • PERFAKE HUSBAND    139. Masalah Pertama di Surabaya

    Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon

  • PERFAKE HUSBAND    137. Kesempatan untuk Maira

    Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala

  • PERFAKE HUSBAND    137. Pak Andre di Temukan

    Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk

  • PERFAKE HUSBAND    136. Mengenang

    Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu

DMCA.com Protection Status