Setelah ku paksakan makan hampir semua yang Sean dan mama bawakan, karena katanya itu bisa menaikkan tensi darah, dokter mengatakan aku bisa pulang malam ini. Meski protes, karena aku maunya pulang saat masih siang, Adit bilang aku harus bersyukur. “Nanti gue ada acara balik kerja. Jadi lo langsung pulang aja sama keluarga si Bayu.” Adit duduk di sofa, menikmati sisa makanan yang Sean bawakan di jam makan siang. “Gue—mau pulang ke rumah.” “Ya itu, rumah Bayu.” katanya tanpa menatap wajahku. “Rumah kita, kak.” Adit menaruh piring dan bersendawa besar, lalu bergerak secepat kilat untuk duduk di kursi samping ranjang, “Kenapa lagi?” Aku memainkan kukuku. Adit harus tahu, jika tadi pagi, Bayu memberikan serangan seksual padaku. Meski tidak jadi, aku tetap takut. “Kenapa?” bentak Adit. Aura gertakannya kuat sekali. “Itu—apa—si Bayu—” Aku tiba-tiba terbata menatap wajahnya yang sok garang. “Kenapa sama dia?” “Gue—gak mau satu kamar sama dia.” Adit tak langsung menjawab
Aku menatap langit-langit kamar yang sudah gelap dengan tarikan nafas yang dalam. Tadi, ketika akan pulang, Adit datang buru-buru dan memintaku pada mama dan papa untuk membawaku ke rumah ini. Mereka jelas bingung. Lalu Adit mengatakan aku dan Bayu bertengkar, dan untuk masalahnya mereka bisa tanya Bayu. “Kok gue gak bisa tidur ya?” Aku menyalakan lampu. Ku mainkan ponsel, berharap dengan begitu, rasa kantuk akan datang, karena besok aku harus sekolah. Ada notifikasi masuk dari Sean. Ia tahu aku sudah pulang dari rumah sakit dan pulang ke rumahku, bukan Bayu. Dan kini ia mengatakan ada didepan rumah. Aku bergegas menemuinya. Ku putar kunci kamar dan mendapati Adit masih sibuk bekerja membuat laporan di ruang tamu. “Mau kemana?” Aku menggaruk leherku, “Ada Sean di depan.” “Ngapain?” “Mau jengukin gue.” Adit menggeleng, “Udah jam sembilan. Lo istirahat, tidur. Besok sekolah.” “Dit, katanya dia bawa steik wagyu A5.” Adit beranjak bangun. Ia buru-buru membuka pintu,
Semenjak malam itu, hubunganku dan Sean merenggang. Aku tahu ini akan terjadi, tapi itu resikonya. Aku memang sayang pada Askara. Tidak mungkin aku membiarkannya sakit tanpa ku temani. Pagi ini UAS hari pertama. Aku sarapan agar mendapatkan fokus dan menjawab pertanyaan dengan baik. Aku harus bisa mempertahankan nilai terbaik di sekolah. “Ra, nanti pulang lebih cepet ya?” “Iya, ma.” “Kamu bisa gak nemenin mama belanja pulang sekolah? Nanti Askara dibawa, biar sekalian dipijet di salon.” “Oh, boleh, ma.” Mama menatapku cukup serius. Di meja makan, hanya ada aku dan mama, serta Askara yang tidur di stroller, “Ra,” “Kenapa, ma?” “Mama boleh tanya sesuatu gak sama kamu?” “Boleh. Mama mau tanya apa?” “Apa kamu—butuh rumah?” Aku mengernyit, “Rumah gimana maksud mama?” “Rumah buat kamu, kak Bayu dan Askara?” Aku diam, berusaha mencerna pertanyaan mama. “Mama sama papa cuma khawatir, kamu sama kak Bayu selalu pisah rumah setiap berantem, karena gak enak sama kami.
Aku terus melirik Sean yang terus memperhatikan wajah Maira. Ia sepertinya bingung dengan status pernikahanku dan Bayu. Masing-masing dari kami punya pacar. ‘Dunia memang sudah gila’. Mungkin begitu isi pikirannya. “Askara, baaa!” Bayu terus mengajak anak tunggalnya bercanda, membuat Maira tertawa. “Cocok jadi anak kalian.” kataku. Maira menatapku datar. Aku pun langsung menyesali ucapanku. Aku lupa kalau dia tidak akan punya anak. Suasana jadi canggung. Tak ada lagi yang bicara setelah suaraku dengan kencang melontarkan panah tajam pada hati Maira. “Sean, santai aja ya. Kamu gak perlu panggil saya pak, disini. Panggil aja—kakak.” “Dih, kakak dari Hongkong.” ledekku. “Terserah gue lah. Seannya aja gak masalah. Gak papa ‘kan, Sean?” Sean mengangguk, “Iya, kak, Bayu.” “Kepaksa doang itu.” “Berisik. Mending lo makan. Tadi gak beres ‘kan sarapannya?” “Ya elo. Gue belum beres makan, lo udah narik buat ke sekolah.” “Habis papa malah jadi ledek gue. Pake bilang si Adi
Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku langsung memeluk Bayu yang terjatuh. Badanku tidak sanggup menyangga tubuhnya. “Sean, bantuin!” Meja jadi penuh. Pengunjung lain datang bersama beberapa karyawan untuk membantu. Sedangkan Maira berdiri, memeluk Askara sambil menangis. “Ra... Bayu—kenapa?” Aku menatapnya marah, “Bayu alergi ceri lo gak tahu?” Maira menggeleng, “Bayu gak pernah bilang.” “Ra, lo udah pacaran sama dia beberapa tahun ‘kan? Serius lo gak tahu?” Maira semakin menangis, “Aku—” “Ambulance ada di depan.” Karyawan yang sigap membantu, mengamankan jalanan agar petugas medis bisa membawa Bayu. Dua petugas medis datang. Yang satu membantu mengangkat tubuh Bayu ke tandu, dan yang lainnya menghampiriku. “Permisi, dek, apa pasien pingsan karena serangan jantung?” Aku menggeleng, “Dia ada alergi parah sama ceri, pak. Dia pingsan setelah sesak nafas.” “Apa sebelumnya pernah seperti ini?” “Pernah, sekitar sepuluh tahun lalu.” “Baik. Adek ini adiknya, untuk s
Aku memegangi infus Bayu yang tinggal sedikit lagi. “Gak usah dipegangin, lo gabut amat.” “Bay,” “Apa?” Aku duduk di ranjang, menatapnya, “Andaikata pada saat nemu Askara di semak taman, lo bukan sama gue, tapi lo sama Maira. Kalian akan dinikahin ‘kan?” Bayu diam. “Jawab, malah diem.” “Kayaknya sih nggak.” “Kenapa? Rekaman CCTVnya ngerekam kalian lagi buang bayi, kayak waktu kita.” Wajah Bayu berubah masam, “Lo kebanyakan berandai-andai.” “Ya ‘kan gue pengen tahu.” “Askara mana?” “Masih sama bundanya. Kak Maira nunggu di kantin.” Bayu tak bicara lagi. Entah kenapa, aku merasa pertanyaanku barusan membuatnya jadi kepikiran sesuatu. “Bay,” “Apa lagi? Jangan bahas Maira terus. Nanti dia denger.” “Mama itu ‘kan orang kaya.” “Oh jelas.” “Gue belum beres ngomong, sabar dong.” setelah ku ulti,
Aku duduk diranjang membaca buku paket Matematika dan Kimia. Besok seharusnya aku bisa keluar ruangan lebih cepat dan pulang. Aku akan pulang sendiri, tidak bersama Bayu dan Sean. Soal Sean, jujur aku lelah menghadapinya yang cemburuan. Akan ku biarkan mulai kali ini. “Ra? Masih belajar?” “Hm.” “Askara tidur sama mama.” “Hm.” Bayu duduk di kursi kerjanya, “Kenapa sih lo, ham hm mulu?” “Gue lagi belajar, jangan diganggu.” “Oh iya.” Aku lanjut belajar, dan Bayu entah mengerjakan apa di laptopnya. Aku menurunkan buku paket dari depan wajahku. Ku perhatikan Bayu yang sedang bersenandung senang. “Lo udah baikkan sama si Adit?” “Udah. Tadi kita pelukkan.” “Dih.” Bayu menatapku, “Lo mau gue peluk juga?” “Enggak!” “Ra, mama gak curiga kita pergi tadi. Besok-besok lagi ya, double date. Seru.” “Iya, seru banget. Part te
Mobil terus berjalan sampai depan lorong gedung sekolah. Aku melirik Bayu yang sedari pagi terus tersenyum. “Silakan dek, Aura.” “Bay, geli tahu gak!” “Lo ‘kan adek gue sekarang.” Aku turun dari mobil. “Ra, nanti jam istirahat gue tunggu di kantin.” Aku tak menggubris ajakannya. Aku berjalan cepat menuju kelas untuk meriview materi. Di lawang kelas, aku bertubrukan dengan Sean. Ia tak bicara apapun, hanya menatapku dan membiarkan aku masuk kelas. Aku duduk di meja, membuka buku paket Matematika dan mulai membaca rangkuman. “Ra, aku mau ngomong sebentar.” Sean berdiri disamping meja. “Nanti aja istirahat.” kataku tak menatapnya sama sekali. “Sebentar aja kok.” Aku mendongak, “Duduk.” Sean menarik kursi disebelahku, “Aku—” “Iya aku tahu kamu mau ngomong apa.” “Hm? Kamu tahu?” “Kamu mau kita putus ‘kan?” Sean tak
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu