Bayu melotot ketika aku menjelaskan bahwa Sean sudah tahu hubungan suami istri yang terjalin antara kita. Dia berkacak pinggang, menahan nafasnya yang sebentar lagi pasti akan menghembus kencang bagai kuda. “Lo udah gila, Ra?” “Gue gak akan di vonis darah rendah sih kalo gila.” jawabku santai. Bayu menurunkan lengan dikedua belah pinggangnya. Ia melihat sana-sini, lalu melirik parsel buah dan buket bunga yang kini terduduk manis di nakas. “Kalo nyokap bokap tahu gimana?” “Sean gak bawel, dia bisa jaga rahasia.” “Ra!” “Apa! Heh, segitu untung ya, gue gak bilang kalo Askara bukan anak kandung gue! Lo ‘kan bilang semuanya sama Maira.” “Ya itu beda lah, dodol!” “Dih. Dodol? Elo itu mah!” Bayu menunjuk pintu yang tertutup, “Kalo nyokap bokap tahu, kita habis, Ra!” “Apanya sih? Lo tuh heboh banget.” “Sean itu orang lain. Dia bisa aja merencanakan ngadu semuanya. Soal kalian yang pacaran, dan lo yang bocorin status pernikahan kita sama dia.” Aku merebahkan diri dika
Aku bangkit untuk memegangi dahinya, “Gak panas. Lo ketempelan setan apaan?” Tanpa bertanya, ia menyelusup ke dalam selimut dan tidur disebelah bantalku. “Bay, apaan sih. Ranjangnya jadi sempit kalo lo disini.” Bayu tak menjawab. Ia langsung tidur menyamping ke arah bantal kosong, dimana itu adalah tempatku. Tunggu, jadi nanti kalau aku tidur disampingnya, mukanya yang sok kecakepan itu akan mengarah ke mukaku? Aku menggoyang-goyangkan badannya, “Bay, pindah sana ke sofa. Dari siang juga lo tidur di sana, selamet-selamet aja.” “Gue mau tidur disini.” “Bay!” Bayu membuka matanya, “Ra, biar cepet sembuh. Lo butuh attachment dari gue.” “Lo pikir gue Askara? Udah, gak usah ngadi-ngadi. Pindah ke sofa!” “Ra, badan gue pegel kalo di sofa.” “Oh, jadi gue aja nih yang di sofa?” Bayu bangun, “Lo tuh takut banget gue apa-apain? Pikiran gue bersih, Ra, dari hal-hal cabul begitu. Selama ini juga gue gak pernah ‘kan macem-macem sama lo? Aman lah.” Aku masih tak habis pik
Aku sarapan dengan terus diperhatikan Bayu. Rasanya tak nyaman. Tadi saja ketika jadwal mandi oleh perawat, si Bayu mengambil alih. Aku sudah menolak keras, tapi kalian tahu sendiri lah, terkadang dia yang memegang kendali, sehingga ya aku kalah. “Lo kenapa?” tanyaku. “Gue?” ia menunjuk diri sendiri, “Gak papa, gue sehat. Yang sakit ‘kan elo.” Aku tak bertanya lagi, percuma. Tak akan ada jawaban. Bayu bangkit, “Ada yang mau dibeli gak? Gue mau ke mini market.” Aku menggeleng. Bayu keluar begitu saja, meninggalkan ponsel yang biasanya ke toilet saja dibawa. Aku sebenarnya tak peduli. Tapi serius deh, si Bayu jadi baik begitu membuatku degdegan takut. Dia tidak ikut sekte aneh ‘kan ya? Yang memberinya tugas untuk baik pada orang terdekatnya, lalu nanti dia akan mengambil jiwaku? Pintu kamar diketuk. “Elah, masuk aja napa si, Bay.” Pintu dibuka sedikit. Kepala seseorang terlihat sedikit. Itu bukan Bayu, tapi, “Sean?” “Aku boleh masuk?” “Boleh dong, masuk Sean.”
“Oh gitu ya? Ya udah mama ke kamar mandi luar ya?” mama keluar ruangan buru-buru. Saat itu, aku langsung turun dari ranjang, menenteng infusan menuju kamar mandi. “Eh, mau kemana lo?” Aku tak menggubris pertanyaan Bayu. Ku buka cepat-cepat kamar mandi, “Sean, buruan keluar, mumpung mama lagi gak ada.” Sean mengangguk. Bayu yang tak tahu ada Sean disini, melotot tak percaya, “Sean?” “Pak?” Sean mengangguk sopan, “Saya—minta maaf kesini diem-diem. Tadi bapak gak ada.” “Oh, iya, saya tadi pergi ke luar dulu. Kamu—gak sekolah?” “Ini mau langsung sekolah, pak. Kalo gitu saya permisi.” “Iya-iya, silakan.” Sean menatapku sebentar sambil tersenyum, “Nanti sore aku kesini lagi, ya? Tapi aku harap kamu udah pulang sih, dan besok udah bisa sekolah.” “Ekhem,” Bayu berdehem, “Sean, tenang aja ya, saya—akan mengurus istri saya dengan baik,” dia merangkulku, “Saya pasti menjaga dia. Itu memang sudah kewajiban saya.” Aku menyingkirkan tangan Bayu yang sok asik nangkring dibah
“Lo tuh kebiasaan ya! Gue ‘kan udah bilang baliknya jam lima. Lo malah jalan sama cewek lo dan ngelupain gue!” aku berteriak begitu mendengar jawaban mengesalkan si Adit. “Eh, nyebelin lo ya! Pake teriak-teriak segala. Gue gak budek kalik, Ra!” “Ya elo nyebelin! Bukan budek lagi tahu gak, tapi Bolot. Gue ‘kan udah bilang tadi pagi waktu sarapan. Emang Oneng lo!” “Satu aja ya lo ngatain gue! Ngapa di borong?” “Suka-suka gue lah! Pokoknya gue gak mau tahu, gue pengen dijemput sekaraaaang!” Klik. Aku mematikan sambungan telpon dengan kakak tunggal nyebelin itu. Selain Bolot, dia emang Oneng, persis ucapanku beberapa detik lalu. Belum hilang rasa marahku, ponsel yang masih ku genggam bergetar pendek. Ada pesan singkat dari Adit Similikiti yang doyan mangkir dari jadwal mengantar jemputku sepulangnya kerja. Dia tuh sebenarnya sempat-sempat saja, cuma masalahnya tuh anak malesnya naudzubillah. Sok-soan sibuk dengan kehidupan dewasanya yang enggak banget. “Gue dijemput si
“Cuh-Cuh-Cuh!” Bayu membuang ludahnya beberapa kali, “Nyebut lo! Enak aja itu anak gue. Kenapa anak gue ada disana? Harusnya dia ada di rumah sakit lah sama ibunya. Inget ya, Ra, di rumah sakit mewah.” “Ya mana gue tahu. Gue cuma nebak karena wajahnya mirip lo.” “Emang iya? Bukannya wajahnya mirip lo?” Aku mengangkat hidung dengan jari telunjuk sehingga menampilkan hidung seperti Babi, “Nih, mirip sama gue!” “Udah lo, bercanda terus. Bawa bayinya.” “Kok gue?” “Karena lo... cewek.” “Apa urusannya?” “Bawa! Ngelawan mulu lo sama yang tua.” “Iya-iya. Ngatur mulu. Donatur lo?” Dengan mulut monyong karena menggerutu tidak jelas, aku memangku bayi merah itu. Begitu berhasil membawanya aku menyerahkan bayi itu pada Bayu, “Lo aja nih, masih kenyal banget, geli gue.” “Lo kata Yupi?” Bayu mengambil alih bayi yang terbalut kain bergambar Helikopter berwarna biru itu. Dia yang memang suka anak kecil, tersenyum menatap wajah bayi itu yang mendadak diam ketika digendongnya, “H
Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore. “Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.” Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.” “Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.” “Tapi kasian, Ra.” “Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.” Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.” “Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.” Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus. Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki a
“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.” Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.” “Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?” Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini. “Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya. “Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.” “Kok bisa? Elo sih teledor.” Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.” “Kok lo... bisa nangis?” “Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!” Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?” Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati ba