Ponselku bergetar pendek. Bayu pasti sudah diparkiran. “Pak, saya duluan ya. Permisi.” Aku berlari cepat menuju mobil dan langsung duduk disebelah Bayu yang langsung melajukan mobil. “Kok lo bisa pulang duluan?” tanyanya sambil mengangguk pada satpam sekolah. “Gue dapet hadiah dari pak Andre.” Dia melirikku, “Habis ngapain dapet hadiah segala?” “Nilai kuis gue paling tinggi lagi. Biasanya dia kasih coklat, tapi katanya takut gue kena Diabetes, dia ganti hadiahnya. Gue boleh minta apapun, jadi ya—gue disini sama lo sekarang.” Bayu tertawa meledek, “Sok romantis dan sok peduli dia. Hati-hati lo sama jenis Komodo yang mau punah gitu.” Aku tak berniat membalas perkataannya. “Hasil penjualan kalung berapa?” “Karena masih baru, untuk banyak sih, sekitar dua puluh sembilan juta tujuh ratus.” Aku melotot, “Semahal itu?” “Kalung itu berliannya cuma berapa karat. Cincin Maira lebih mahal lagi, sekitar lima puluh juta. Lo suka liat ‘kan kerlap-kerlip kemahalan di jarinya?
“Adek kenapa toh?” Aku menangis kencang karena sudah tidak kuat menahan ketakutan itu, “Tolong jangan sakiti saya, pak.” “Gak ada yang mau nyakitin adek.” Aku berjongkok, menangis tersedu. “Duh, dek, kok nangis? Bapak cuma minta adek masuk.” Aku tak perdulikan suara lembut supir itu. Aku menangis semakin kencang, hingga suara motor Sean mendekat. Aku bangkit dan mendekatinya, “Sean, tolong aku.” Sean menyembunyikan tubuhku dibelakangnya, “Bapak mau apa sama pacar saya?” Supir itu menggeleng, “Saya hanya minta adeknya untuk masuk. Saya lagi benerin kap mobil sebentar, karena tadi jalannya gak enak. Sumpah, saya gak ada niat jahat sama sekali, mas.” Sean memeriksa saku si bapak, untuk melihat apakah ada benda tajam, atau alat penunjang kejahatan lainnya. Ia melirikku, “Kamu gak papa?” “Sean, aku takut.” “Bapaknya bukan orang jahat. Gak ada apa-apa di sakunya.” Aku memeluk Sean erat, “Aku gak akan pernah pulang sendiri lagi.” Sean membalas pelukanku tak kalah er
Aku beranjak bangun dari kursi makan setelah selesai sarapan. Setelah ku cium pipi Askara yang semakin chubby di stroler. Aku salim pada mama, papa dan ibu. Tak lupa aku sungkem pada Adit yang berakting seolah ia adalah raja. “Kamu tuh, seneng banget jailin adeknya.” Ibu menegur karena menilai Adit sudah keterlaluan. “Aku berangkat ya?” “Iya hati-hati.” mama menyahui sebagai perwakilan. Aku berjalan senang karena mulai hari ini akan berangkat dan pulang bareng dengan Sean. Kami terlihat jadi pasangan pacaran betulan. Di ruang tamu, aku melihat Bayu baru datang. Mukanya lelah sekali. Dia pasti tidak tidur semalaman. “Bay?” “Lo udah mau berangkat? Tunggu deh, gue belum mandi.” Aku menunjuk ke arah depan, “Gue—berangkat sama Sean.” “Hah? Gila lo ya, papa pasti marah lah.” “Justru papa yang nyuruh.” Ekspresi wajah Bayu langsung asem. Ia sepertinya tahu kenapa papa memintaku berangkat bersama Sean. “Gue—duluan.” kataku buru-buru. Bayu langsung berjalan lunglai me
Di kelas hanya ada beberapa orang. Itu pun mereka sibuk sendiri. Aku dan Sean seperti biasa hanya duduk bersebelahan saling melempar senyum. Kadang aku masih tidak menyangka, kenapa bule tampan sempurna sepertinya bisa suka padaku. Rasanya seperti mimpi saja. Apa benar pangeran dan Upik Abu itu benar adanya? “Ra, kamu lagi gak ada masalah ‘kan di rumah?” Aku menggeleng. “Aku... boleh tanya sesuatu gak soal keluarga kamu?” “Boleh. Kenapa?” “Kamu emang tinggal permanen ya di rumah pak Bayu?” Aku menoleh dan menganga. Lama-lama Sean pasti curiga sih. Aku harus menjawab apa ya? “Aku bahkan gak tahu rumah kamu dimana. Jemput atau nganterin pulang selalu ke rumah pak Bayu. Ya bukan apa-apa, aku cuma pengen tahu rumah kamu.” Aku tersenyum canggung, “Rumah aku... jelek, Sean.” “Aku mau tahu rumah kamu bukan untuk menilai bagus atau jelek.” “Aku tahu.” kataku pelan. “Jadi?” “Kalo udah saatnya, aku pasti ajak kamu ke rumah aku.” Sean mengangguk, “Ra, kalo aku ajak kam
Tak ku dengar suara nafas yang berat, atau pertanyaan “apa?” percis di sinetron yang sering ku lihat. Yang ku dengar justru adalah suara sapu lidi yang digunakan tukang bersih-bersih sekolah yang sedang menyapu dekat sini. Ku beranikan membuka mata untuk tahu sedang apa Sean, ketika aku memberi tahunya bahwa aku dan Bayu adalah suami istri. “Sean?” “Ra, aku gak salah denger?” Aku menggeleng. Sean yang sedari tadi menahan nafas, kini mulai membuang nafasnya perlahan. Mata dan wajahnya merah, seperti baru sadar dari sebuah hipnotis. Aku tahu responnya akan terkejut, tapi tidak ku sangka dia akan sekaget itu. Tidak ada yang bicara. Aku dan Sean sama-sama diam membeku dengan pikiran masing-masing. Sesekali ku lirik wajahnya yang sudah tak lagi merah, “Aku minta maaf. Aku—poliandri.” Sean melirikku, “Apa keluarga kamu punya hutang sama keluarga pak Bayu?” Aku menggeleng. “Perjanj
Beberapa menit setelah terduduk lemas, Sean pamit pulang. Ia pergi sebelum aku kenalkan pada ibu. Tidak papa, aku paham situasinya. Aku juga akan pergi begitu jika saja Sean tiba-tiba memperkenalkan seorang bayi sebagai anaknya. Aku menutup pintu ruang tamu dan duduk di sofa mengayun-ayun Askara yang sempat terbangun. “Ra, kamu udah pulang?” “Eh, ibu udah bangun?” Ibu duduk disampingku, “Kok ibu denger ada suara orang lain. Siapa?” Aku belum siap mengatakan kalau ada teman di sekolah yang tahu rahasia keluarga mengenai pernikahanku dan Bayu, serta kehadiran Askara ditengah-tengah kami, “Suara dari hape, bu.” “Oh. Oyah, kamu istirahat sana, terus pulang ke rumah kak Bayu ya?” “Yah, bu, ‘kan ada ibu disini.” “Ibu berangkat ke Surabaya nanti sore.” “Bu,” aku manyun, keberatan, “Ibu kurang lama disini.” “Terus pabrik gimana kalo ibu terlalu lama disini?” “Ibu biasany
Pagi-pagi, aku menunggu chat dari Sean. Aku takut dia tidak datang menjemputku ke rumah. Karena dari kemarin siang, ia sama sekali tidak menghubungiku. Ketika aku mengirim pesan duluan untuk menanyakan tugas kelompok pun ia tidak memberi respon. “Ra, kok gak di makan buburnya? Kamu gak suka ya?” Aku menatap mama, “Suka kok, ma. Aku—cuma lagi kurang enak badan.” “Kamu mau tetep sekolah?” tanya papa. Aku mengangguk, “Sebentar lagi UTS, pa.” “Materi sepertinya udah pada habis, cuma latihan soal. Kamu istirahat aja di rumah. Nanti biar mama yang telpon wali kelas kamu.” “Aku—sekolah aja, pa.” Papa melirik ke arah tangga. Bayu tak kunjung turun dari kamar. Tadi juga dia tidak mandi, dan hanya bermanja-manja pada Askara. Sepertinya ia tidak akan ke sekolah lagi hari ini. “Kamu dianter supir, ya? Kalo bawa mobil sendiri, takut kamu pusing di jalan. Eh, atau Sean jemput kesini?” Aku menggeleng, “Dia gak bilang. Kayaknya dia gak jemput.” “Ya udah sama supir aja. Nanti kalo
Aku langsung masuk UGD ketika Bayu memberikan catatan dari dokter yang memeriksaku di sekolah. Aku tak pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya, sehingga hal seperti ini membuat jantungku berdetak seperti orang jatuh cinta. Bedanya ini tidak seru. Bayu beberapa kali menenangkanku. Ia tahu dengan jelas, kalau bisa kabur, aku pasti kabur dari sini. “Nanti begitu labu infusan ini abis, lo pindah ke ruang ranap.” Aku menoleh, “Gue pikir kita bisa pulang.” “Darah lo belum naik.” Aku menatap wajanya khawatir, “Gue pikir karena sering marah-marah, gue darah tinggi, taunya malah darah rendah.” “Gak ada urusannya.” “Ada. Katanya kalo darah tinggi suka marah-marah.” “Kebalik. Marah-marah yang bikin darah tinggi.” Aku mengangkat bibir atasku, “Sok tahu, emang lo dokter?” “Iya, dokter Bayu.” “Lo gak kasih tahu ibu ‘kan gue disini?” Bayu menggeleng, “Gue gak sotoy kayak lo!” “Dih.” Bayu beranjak, tapi aku menahan lengannya. “Jangan pergi. Gue takut.” Bayu melihat s
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu