Aku mengucek mataku ketika terbangun ingin buang air kecil di jam satu pagi. Tak ada Bayu di sofa. Entah ia pulang atau keluar untuk beli kopi.
Aku memeriksa infusan Askara yang baru diganti, lalu berjalan pelan ke kamar mandi dengan lampu padam. Jika dinyalakan, aku takut Askara malah bangun, karena dia terbiasa tidur dengan lampu padam. Ketika membuka pintu kamar mandi, aku mendengar suara yang bersahutan antara Bayu dan Adit diluar ruangan. Karena penasaran, aku membuka pintu utama pelan-pelan. “..gue sayang banget sama Aura, Bay. Apalagi sekarang udah gak ada bokap. Kita udah nganggep dia meninggal.” “Iya, gue tahu. Lo udah bilang ini berkali-kali sama gue.” Ku lihat Adit yang berdiri bersender mengubah posisinya menatap Bayu, “Jadi tolong bahagiain Aura.” Sepi. Beberapa detik kemudian, “Hahaha, lo kelaperan sampe halu gini?” “Gue serius.” Bayu berhenti tertawa, “Ngapain lo tiba-tHari ini aku memutuskan sekolah karena Askara juga akan pulang. Begitu turun dari mobil Bayu dekat gerbang, orang-orang sudah menatapku berbeda. Aku jelas tahu kenapa mereka begini. Ya karena latar zoom si Bayu kemarin itu. Memang si Bayu pembawa sial. Hidupnya dikelilingi angin yang mau tak mau juga mengenai diriku. Aku duduk dibangku dengan masih diperhatikan. Teman-teman kelas juga berbisik-bisik terang-terangan. Ini Nadia juga kemana sih, tumben belum datang. Ketika aku pura-pura sibuk mengeluarkan semua buku dari tas, Karina cs datang. Mereka mendekatiku dengan muka masam. “Apa?” tanyaku galak. “Gue gak ngomong apa-apa loh. Iya ‘kan, guys?” “Iya, sensi lo.” Kia sudah pasti membela Karina. Aku beranjak dari bangku, berniat menunggu Nadia diluar kelas atau dimana saja, yang penting tidak berurusan dengan genk Barbie. “Mau kemana? Kabur?” Aku meliriknya, “Kabur? Gak ada di kamus hidup
Aku menoleh pada sumber suara. Sean. Ia menghampiriku. “Udah ya, kamu gak perlu ngelakuin ini.” Aku diam menatap wajahnya yang teduh. “Sean, mending lo jauh-jauh dari Aura. Gue kasih tahu, masa depan lo akan suram sama dia. Lo sekarang udah tahu ‘kan segimana memalukan keluarganya?” ledek Karina yang berhasil memantik emosiku lagi. Aku melempar beberapa kursi lalu menyiram jus Alpukat entah milik siapa ke wajahnya. Tak lupa, aku menarik rambutnya yang indah tertata rapi. Sudah lama aku gemas ingin melakukan ini, tapi baru kali ini kesampaian. “Aura, lepasin! Gila lo ya! Gue akan aduin lo langsung ke pak Rino!” “Gue gak peduli!” Seisi kantin heboh. Mereka tak menghiraukan bel masuk kelas yang berbunyi nyaring. “Ra, Ra, udah, berhenti.” Sean menarik tubuhku untuk menghentikan kegilaan ini. Aku tak akan berhenti sampai puas, seperti kata Karina tadi yang tak akan berhenti menggangguku.
Mobil pak Andre langsung pergi ketika menurunkanku di depan lobi rumah sakit. Aku langsung berjalan lunglai memasuki rumah sakit ketika sadar besok harus sekolah, bertemu si biang kerok, Karina dan yang lain. Banyak panggilan dan pesan dari Sean dan Nadia. Tapi aku sengaja acuhkan karena belum siap menjelaskan pada mereka kemana aku pergi, dengan siapa dan keadaanku saat ini. Adit berdiri menungguku di ujung lobi, “Askara udah balik tadi jam sepuluh.” Aku berjalan menghampirinya. Sebenarnya aku tahu Askara sudah pulang, aku kesini memang mau bertemu dengannya, “Gue mau ketemu elo kok.” “Ada apa lagi?” Aku menatap wajahnya yang datar, “Si Bayu... gak cerita ke elo?” “Ada. Gue cuma mau denger dari perspektif lo aja.” Aku membuang nafas pelan. Sudah pasti lah si Bayu cerita pada Adit. Aku dan Adit asyik menikmati es krim yang dia belikan. Kami duduk selonjoran di rooftop rumah sakit. “Kalo ada orang yang ngomongin keluarga kita, lo diem aja. Apalagi kenyataannya begitu.
Aku melirik Bayu yang tidur dilantai beralaskan bad cover double. “Apa?” ternyata dia belum tidur. “Bilang aja lo mau tinggal disini karena masih marahan sama mama, bukan karena lo mau nemenin gue.” “Panggilan suami sempurna itu harus melekat sama gue.” Aku menaikkan bibir atasku, “Eh, kok lo tumben sih gak ngadu kelakuan gue di sekolah sama ibu?” “Gak ada waktu.” jawabnya malas. Aku turun dari ranjang dan duduk disebelahnya, “Lo mau melindungi gue?” “Gak ada dari sononya gue melindungi tukang bikin onar kayak lo.” Aku mendorong lengannya, “Lo tuh ya!” “Besok gak mau tahu, lo harus minta maaf sama Karina!” “Gak, enak aja.” aku kembali naik ke ranjang. “Ra, keras kepala dan keras hati lo. Jangan gitu lah, nanti yang repot adalah—” “Papa, bukan elo!” “Gue pemimpin yayasan masa depan loh. Gue gak mau nama baik yayasan tercoreng karena ulah lo.” “Lagak lo. Gak usah kegeeran itu yayasan bakal jatuh ke tangan lo.” “Gue anak dan cucu tunggal, udah pasti itu yaya
Aku dan mama duduk berdempet di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Karina dan papanya. Sedangkan papa sebagai ketua yayasan, duduk di sofa terpisah untuk menjadi penangah. Kita akan melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah kemarin. Karina melapor pada guru BK bahwa ia tidak terima mendapat tamparan, siraman, dan rambutnya ditarik olehku, yang berbuntut ia melaporkan hal itu pada orang tuanya dan pada kepolisian dekat sekolah. “Jadi bagaimana, pak, kelanjutan masalah anak saya?” papa Karina memulai pembicaraan. “Ya seperti yang saya sebutkan ditelpon. Karina tidak bisa melaporkan Aura karena anak bapak yang mulai perdebatan ini. Saya sudah cek CCTV, menanyai saksi, yaitu beberapa pegawai kantin, dan siswa acak yang ada di TKP. Mereka mengatakan, Karina yang mulai mengusik dengan menyebutkan semua aib keluarga Aura. Saya rasa ini hanya bentuk bela diri saja.” Aku melirik tidak enak pada mama yang menggenggam tanganku. Ceritanya mama jadi waliku hari ini, karena tid
Bel jam istirahat pertama berbunyi nyaring. Pak Andre langsung membubarkan kelas sebelum sempat mengumumkan mengenai materi yang akan keluar di UTS minggu depan. Pak Andre berjanji akan mengatakannya nanti di jam pelajaran terakhir setelah pelajaran bahasa Prancis. “Ra, gue ke toilet dulu ya. Gue juga langsung ke kelas lain, mau pinjem novel.” Nadia langsung ngacir sebelum menunggu jawaban yang aku berikan. Sambil membereskan buku, aku melirik Sean yang berdiri disampingku, “Duduk.” Sean duduk dibangku Nadia, “Gimana mediasinya?” “Lancar.” “Jadi siapa yang dihukum?” “Gak ada. Pak Rino bilang kalo Karina ganggu aku lagi, dia bisa diturunkan kelas atau terpaksa dikeluarkan dari sekolah.” Sean manggut-manggut. Ia tak bicara lagi. “Kamu... marah sama aku?” “Marah kenapa?” “Soalnya kemarin aku pergi gitu aja, bolos sekolah.” “Enggak.” “Atau marah karena aku gak dengerin kamu kemarin? Aku malah terus ngelawan Karina.” Sean menatapku serius, “Aku marah karena hal la
Sepanjang pelajaran bahasa Prancis, seperti biasa selalu ada game. Kali ini siapapun yang mendapat kertas sial harus maju ke depan untuk bicara bahasa Prancis mengenai apapun. Dan hari ini aku sedang sial. “Beri tepuk tangan untuk Aura!” suara heboh Bayu yang dibuat-buat membuat teman-teman sekelasku sedikit aneh, tapi mereka tetap tepuk tangan. Aku kini berdiri di muka kelas. Siap ditertawakan seperti biasa. Ku lirik Karina dibangkunya yang tampak sedikit kalem. “Ayo, Ra, kamu harus bicara dalam bahasa Prancis, bahas apapun.” titah Bayu berusaha profesional. Aku tahu dia malas melakukan itu untuk dua hal. Pertama, karena ia akan tahu hasilnya seperti apa, kedua karena ia sedang khawatir pada kondisi Maira di rumah sakit. Mataku mengedar ke seluruh isi kelas. Melihat situasi terkini, aktivitas yang dilakukan semua teman. “Bonjour.” kataku memulai. “Bonjour.” seisi kelas kompak membalas. Aku membuang nafas sebelum mulai melafalkan kalimat bahasa Prancis yang ku bisa. “S
Ponselku bergetar pendek. Bayu pasti sudah diparkiran. “Pak, saya duluan ya. Permisi.” Aku berlari cepat menuju mobil dan langsung duduk disebelah Bayu yang langsung melajukan mobil. “Kok lo bisa pulang duluan?” tanyanya sambil mengangguk pada satpam sekolah. “Gue dapet hadiah dari pak Andre.” Dia melirikku, “Habis ngapain dapet hadiah segala?” “Nilai kuis gue paling tinggi lagi. Biasanya dia kasih coklat, tapi katanya takut gue kena Diabetes, dia ganti hadiahnya. Gue boleh minta apapun, jadi ya—gue disini sama lo sekarang.” Bayu tertawa meledek, “Sok romantis dan sok peduli dia. Hati-hati lo sama jenis Komodo yang mau punah gitu.” Aku tak berniat membalas perkataannya. “Hasil penjualan kalung berapa?” “Karena masih baru, untuk banyak sih, sekitar dua puluh sembilan juta tujuh ratus.” Aku melotot, “Semahal itu?” “Kalung itu berliannya cuma berapa karat. Cincin Maira lebih mahal lagi, sekitar lima puluh juta. Lo suka liat ‘kan kerlap-kerlip kemahalan di jarinya?
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu