Hari ini aku memutuskan sekolah karena Askara juga akan pulang.
Begitu turun dari mobil Bayu dekat gerbang, orang-orang sudah menatapku berbeda. Aku jelas tahu kenapa mereka begini. Ya karena latar zoom si Bayu kemarin itu. Memang si Bayu pembawa sial. Hidupnya dikelilingi angin yang mau tak mau juga mengenai diriku. Aku duduk dibangku dengan masih diperhatikan. Teman-teman kelas juga berbisik-bisik terang-terangan. Ini Nadia juga kemana sih, tumben belum datang. Ketika aku pura-pura sibuk mengeluarkan semua buku dari tas, Karina cs datang. Mereka mendekatiku dengan muka masam. “Apa?” tanyaku galak. “Gue gak ngomong apa-apa loh. Iya ‘kan, guys?” “Iya, sensi lo.” Kia sudah pasti membela Karina. Aku beranjak dari bangku, berniat menunggu Nadia diluar kelas atau dimana saja, yang penting tidak berurusan dengan genk Barbie. “Mau kemana? Kabur?” Aku meliriknya, “Kabur? Gak ada di kamus hidupAku menoleh pada sumber suara. Sean. Ia menghampiriku. “Udah ya, kamu gak perlu ngelakuin ini.” Aku diam menatap wajahnya yang teduh. “Sean, mending lo jauh-jauh dari Aura. Gue kasih tahu, masa depan lo akan suram sama dia. Lo sekarang udah tahu ‘kan segimana memalukan keluarganya?” ledek Karina yang berhasil memantik emosiku lagi. Aku melempar beberapa kursi lalu menyiram jus Alpukat entah milik siapa ke wajahnya. Tak lupa, aku menarik rambutnya yang indah tertata rapi. Sudah lama aku gemas ingin melakukan ini, tapi baru kali ini kesampaian. “Aura, lepasin! Gila lo ya! Gue akan aduin lo langsung ke pak Rino!” “Gue gak peduli!” Seisi kantin heboh. Mereka tak menghiraukan bel masuk kelas yang berbunyi nyaring. “Ra, Ra, udah, berhenti.” Sean menarik tubuhku untuk menghentikan kegilaan ini. Aku tak akan berhenti sampai puas, seperti kata Karina tadi yang tak akan berhenti menggangguku.
Mobil pak Andre langsung pergi ketika menurunkanku di depan lobi rumah sakit. Aku langsung berjalan lunglai memasuki rumah sakit ketika sadar besok harus sekolah, bertemu si biang kerok, Karina dan yang lain. Banyak panggilan dan pesan dari Sean dan Nadia. Tapi aku sengaja acuhkan karena belum siap menjelaskan pada mereka kemana aku pergi, dengan siapa dan keadaanku saat ini. Adit berdiri menungguku di ujung lobi, “Askara udah balik tadi jam sepuluh.” Aku berjalan menghampirinya. Sebenarnya aku tahu Askara sudah pulang, aku kesini memang mau bertemu dengannya, “Gue mau ketemu elo kok.” “Ada apa lagi?” Aku menatap wajahnya yang datar, “Si Bayu... gak cerita ke elo?” “Ada. Gue cuma mau denger dari perspektif lo aja.” Aku membuang nafas pelan. Sudah pasti lah si Bayu cerita pada Adit. Aku dan Adit asyik menikmati es krim yang dia belikan. Kami duduk selonjoran di rooftop rumah sakit. “Kalo ada orang yang ngomongin keluarga kita, lo diem aja. Apalagi kenyataannya begitu.
Aku melirik Bayu yang tidur dilantai beralaskan bad cover double. “Apa?” ternyata dia belum tidur. “Bilang aja lo mau tinggal disini karena masih marahan sama mama, bukan karena lo mau nemenin gue.” “Panggilan suami sempurna itu harus melekat sama gue.” Aku menaikkan bibir atasku, “Eh, kok lo tumben sih gak ngadu kelakuan gue di sekolah sama ibu?” “Gak ada waktu.” jawabnya malas. Aku turun dari ranjang dan duduk disebelahnya, “Lo mau melindungi gue?” “Gak ada dari sononya gue melindungi tukang bikin onar kayak lo.” Aku mendorong lengannya, “Lo tuh ya!” “Besok gak mau tahu, lo harus minta maaf sama Karina!” “Gak, enak aja.” aku kembali naik ke ranjang. “Ra, keras kepala dan keras hati lo. Jangan gitu lah, nanti yang repot adalah—” “Papa, bukan elo!” “Gue pemimpin yayasan masa depan loh. Gue gak mau nama baik yayasan tercoreng karena ulah lo.” “Lagak lo. Gak usah kegeeran itu yayasan bakal jatuh ke tangan lo.” “Gue anak dan cucu tunggal, udah pasti itu yaya
Aku dan mama duduk berdempet di sofa panjang yang berhadapan langsung dengan Karina dan papanya. Sedangkan papa sebagai ketua yayasan, duduk di sofa terpisah untuk menjadi penangah. Kita akan melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah kemarin. Karina melapor pada guru BK bahwa ia tidak terima mendapat tamparan, siraman, dan rambutnya ditarik olehku, yang berbuntut ia melaporkan hal itu pada orang tuanya dan pada kepolisian dekat sekolah. “Jadi bagaimana, pak, kelanjutan masalah anak saya?” papa Karina memulai pembicaraan. “Ya seperti yang saya sebutkan ditelpon. Karina tidak bisa melaporkan Aura karena anak bapak yang mulai perdebatan ini. Saya sudah cek CCTV, menanyai saksi, yaitu beberapa pegawai kantin, dan siswa acak yang ada di TKP. Mereka mengatakan, Karina yang mulai mengusik dengan menyebutkan semua aib keluarga Aura. Saya rasa ini hanya bentuk bela diri saja.” Aku melirik tidak enak pada mama yang menggenggam tanganku. Ceritanya mama jadi waliku hari ini, karena tid
Bel jam istirahat pertama berbunyi nyaring. Pak Andre langsung membubarkan kelas sebelum sempat mengumumkan mengenai materi yang akan keluar di UTS minggu depan. Pak Andre berjanji akan mengatakannya nanti di jam pelajaran terakhir setelah pelajaran bahasa Prancis. “Ra, gue ke toilet dulu ya. Gue juga langsung ke kelas lain, mau pinjem novel.” Nadia langsung ngacir sebelum menunggu jawaban yang aku berikan. Sambil membereskan buku, aku melirik Sean yang berdiri disampingku, “Duduk.” Sean duduk dibangku Nadia, “Gimana mediasinya?” “Lancar.” “Jadi siapa yang dihukum?” “Gak ada. Pak Rino bilang kalo Karina ganggu aku lagi, dia bisa diturunkan kelas atau terpaksa dikeluarkan dari sekolah.” Sean manggut-manggut. Ia tak bicara lagi. “Kamu... marah sama aku?” “Marah kenapa?” “Soalnya kemarin aku pergi gitu aja, bolos sekolah.” “Enggak.” “Atau marah karena aku gak dengerin kamu kemarin? Aku malah terus ngelawan Karina.” Sean menatapku serius, “Aku marah karena hal la
Sepanjang pelajaran bahasa Prancis, seperti biasa selalu ada game. Kali ini siapapun yang mendapat kertas sial harus maju ke depan untuk bicara bahasa Prancis mengenai apapun. Dan hari ini aku sedang sial. “Beri tepuk tangan untuk Aura!” suara heboh Bayu yang dibuat-buat membuat teman-teman sekelasku sedikit aneh, tapi mereka tetap tepuk tangan. Aku kini berdiri di muka kelas. Siap ditertawakan seperti biasa. Ku lirik Karina dibangkunya yang tampak sedikit kalem. “Ayo, Ra, kamu harus bicara dalam bahasa Prancis, bahas apapun.” titah Bayu berusaha profesional. Aku tahu dia malas melakukan itu untuk dua hal. Pertama, karena ia akan tahu hasilnya seperti apa, kedua karena ia sedang khawatir pada kondisi Maira di rumah sakit. Mataku mengedar ke seluruh isi kelas. Melihat situasi terkini, aktivitas yang dilakukan semua teman. “Bonjour.” kataku memulai. “Bonjour.” seisi kelas kompak membalas. Aku membuang nafas sebelum mulai melafalkan kalimat bahasa Prancis yang ku bisa. “S
Ponselku bergetar pendek. Bayu pasti sudah diparkiran. “Pak, saya duluan ya. Permisi.” Aku berlari cepat menuju mobil dan langsung duduk disebelah Bayu yang langsung melajukan mobil. “Kok lo bisa pulang duluan?” tanyanya sambil mengangguk pada satpam sekolah. “Gue dapet hadiah dari pak Andre.” Dia melirikku, “Habis ngapain dapet hadiah segala?” “Nilai kuis gue paling tinggi lagi. Biasanya dia kasih coklat, tapi katanya takut gue kena Diabetes, dia ganti hadiahnya. Gue boleh minta apapun, jadi ya—gue disini sama lo sekarang.” Bayu tertawa meledek, “Sok romantis dan sok peduli dia. Hati-hati lo sama jenis Komodo yang mau punah gitu.” Aku tak berniat membalas perkataannya. “Hasil penjualan kalung berapa?” “Karena masih baru, untuk banyak sih, sekitar dua puluh sembilan juta tujuh ratus.” Aku melotot, “Semahal itu?” “Kalung itu berliannya cuma berapa karat. Cincin Maira lebih mahal lagi, sekitar lima puluh juta. Lo suka liat ‘kan kerlap-kerlip kemahalan di jarinya?
“Adek kenapa toh?” Aku menangis kencang karena sudah tidak kuat menahan ketakutan itu, “Tolong jangan sakiti saya, pak.” “Gak ada yang mau nyakitin adek.” Aku berjongkok, menangis tersedu. “Duh, dek, kok nangis? Bapak cuma minta adek masuk.” Aku tak perdulikan suara lembut supir itu. Aku menangis semakin kencang, hingga suara motor Sean mendekat. Aku bangkit dan mendekatinya, “Sean, tolong aku.” Sean menyembunyikan tubuhku dibelakangnya, “Bapak mau apa sama pacar saya?” Supir itu menggeleng, “Saya hanya minta adeknya untuk masuk. Saya lagi benerin kap mobil sebentar, karena tadi jalannya gak enak. Sumpah, saya gak ada niat jahat sama sekali, mas.” Sean memeriksa saku si bapak, untuk melihat apakah ada benda tajam, atau alat penunjang kejahatan lainnya. Ia melirikku, “Kamu gak papa?” “Sean, aku takut.” “Bapaknya bukan orang jahat. Gak ada apa-apa di sakunya.” Aku memeluk Sean erat, “Aku gak akan pernah pulang sendiri lagi.” Sean membalas pelukanku tak kalah er