Bayu berjalan melewati papa dan aku yang masih diam ditengah tangga. Ia pasti marah karena papa memintanya ke sekolah naik angkot.
Aku turun dari tangga, “Pa, jangan marahin si—eh, maksudnya kak Bayu. Kasian.” “Ra, kamu yang kasian kalo papa gak tegas. Bayu memang harus putus dari Maira karena dia udah jadi suami kamu.” Geli sekali bulu kudukku mendengarnya, “Pa, aku ke kamar Askara dulu ya.” “Iya.” Aku memasuki kamar Askara. Disana mama tertidur setelah menemani Askara sedari aku izin untuk mengerjakan PR. Beruntung sekali aku memiliki mertua sebaik papa dan mama yang selalu banyak membantuku. “Ma,” aku menyentuh lengan mama, “Mama tidurnya di kamar yuk.” Mama bangun, “Eh, Ra.” Aku duduk di sofa samping mama, “Ma, maaf ya, yang ngasuh Askara jadi mama.” “Gak papa, ‘kan kamu sekolah, malemnya harus ngerjain PR. Ra, pendidikan kamu itu paling penting. Mama gak keberatan sama sekali kokAku selesai sarapan lebih dulu dari yang lain. Aku membersihkan mulutku dengan serbet khusus yang biasanya aku temukan di restoran mewah dan besar yang langka ku kunjungi. Tak pernah kusangka, bahwa aku akan menemukan serbet ini setiap hari di rumah si Bayu. “Kalian pulangnya jam berapa hari ini?” tanya papa. “Aku gak ada ekskul, jadi bubarnya jam tiga. Kak Bayu gak tahu.” “Aku mau input nilai kuis, pa.” Papa diam sejenak, “Input aja nilainya di rumah.” “Hm.” Papa melirikku, “Kamu mau bawa mobil sendiri atau bareng sama papa?” Aku melirik si Bayu yang terlihat sangat kesal. Papa benar-benar mengambil remot mobilnya sebelum sarapan tadi. “Eum, kalo boleh aku mau bawa mobil sendiri, gak papa ‘kan, pa?” “Gak papa dong, Ra. Papa beli mobil emang untuk anak yang gampang di atur aja. Kalo anak keras kepala dan susah di atur, ya mobilnya papa ambil lagi.” Mama yang sedang mengaduk
“Anak bau kencur gak usah ikut campur.” bisiknya lalu pergi begitu saja. Aku melotot begitu mendengar jawaban dari pertanyaan serius yang aku berikan pada Bayu. Ku pukul lengannya hingga dia berjinjit menghindariku. “Gila ya, gue tanya serius juga. Eh, gue tuh berniat bantuin lo kalo misal—” sadar ada beberapa orang yang ada disana, aku diam. Akan ku tahan amarahku hingga jam pulang tiba. Aku menjalani hariku sebaik mungkin. Siang ini ada tes bahasa Prancis yang tertunda karena hari itu, si Bayu menikahiku. Padahal aku sudah senang kegirangan tidak perlu melakukan tes itu. Aku lupa, bahwa guru bahasa Prancisnya adalah suamiku sendiri. Di kelas, ketika baru menyimpan tas. Karina dan genk gak pentingnya itu duduk di mejanya paling depan. Mereka terus melirik ke arahku. Tak ku hiraukan tatapan itu. “Ra, lo udah ngapalin ‘kan?” Nadia sibuk memasang kuku palsu sambil mendengar rekaman orang sedang mengobrol dalam bahasa Prancis.
“Pak, saya—mau tes sendiri aja.” “Hm?” Bayu terkejut mendengar permintaanku yang dadakan. “Ra, kenapa? Kamu tinggal bilang yang udah kamu hapal tadi.” “Nanti nilai kamu kecil, Sean, kita sendiri-sendiri aja ya? Boleh ‘kan, pak?” Bayu tampak menimbang. Aku tahu dia tidak bisa seenak jidat memperbolehkanku berhenti begini karena ada anak-anak lain. Tapi kali ini aku berharap dia memperbolehkan aku dan Sean melakukan tes secara terpisah. “Pak, kita akan tes berpasangan. Kita minta waktu sebentar untuk mempersiapkan diri.” Sean menarik lenganku dan kembali ke mejaku. “Sean—” “Kamu mau bikin aku kecewa?” “Aku cuma gak mau nilai kamu kecil.” “Nilai itu urusan pak Bayu, bukan kamu. Aku tahu kamu tegang. Maaf tadi aku gak izin sama kamu untuk angkat tangan. Kita liat beberapa peserta lain, baru maju ya?” “Tapi—” “Aku gak menerima penolakkan, Ra.” Sean sibuk men
Ketika Sean mengungkapkan perasaannya, Bayu mendadak dipanggil komite sekolah. Biasanya ada rapat rutin yang di adakan yayasan. Mau tak mau dia memang harus ikut. Secara gitu dia pewaris tunggal yayasan ini. “Pak, tolong keluar kalo saya abis tesnya dong.” Kia memohon. “Minggu depan aja ya, bareng sama Karina. Masih ada beberapa lagi ‘kan yang belum tes.” “Yaaah, baik deh, pak.” Kia kembali ke meja dengan muka yang kusut. “Oke, temen-temen, kita lanjutin tes percakapannya minggu depan ya. Hari selasa. Bagi yang belum, saya harap nilai kalian lebih bagus dari yang sudah karena waktu latihannya panjang banget loh.” Karina menutup bukunya, ia menatap Bayu penuh cinta seperti biasa, “Pak Bayu, makasih banyak ya, saya jadi punya kesempatan untuk menghapal.” “Sama-sama Karina. Kalau begitu saya, permisi. Bonjour.” “Bonjour.” Bayu keluar dari kelas, berbarengan dengan masuknya pak Andre yang memang jadw
“Dia--dia tuh ribet banget, Ra. Pokoknya nanti lo jangan kelepasan manggil gue Ananta ya, awas lo!” “Beberapa hari ini rasanya mulut gue lagi baik deh, gue selalu manggil, Bay, Bayu, Bayuuuuuuu.” “Gak usah di contohin kali.” Ku lirik wajahnya yang seperti nahan eek, “Kenapa sih lo, ketemu aki-aki doang.” “Kakek gue bukan sembarang aki-aki.” “Dia umuran berapa sih?” “Umuran...” “Seumuran lo ada? Hahaha.” Bayu meniup rambutku. Mobil berhenti di depan teras. Setelah Bayu turun, aku berniat memasukkannya ke dalam garasi, tapi supir pribadi papa menghampiriku. “Non Aura, biar bapak yang parkirin.” “Oh, ya udah, pak, makasih ya.” Aku masuk ke dalam rumah. Semua orang sibuk sekali. Ada yang mengganti seluruh bunga di meja, ada yang mengelap nakas, dan lain sebagainya. Mama yang sibuk menjadi mandor menghampiriku yang baru masuk, “Aura, kamu mandi dulu ya, soalnya nanti ada MUA yang mau dandanin kamu. Kakek mau kesini.” “Iya, tadi kak Bayu udah bilang, ma. Tapi—ken
Setelah makan malam dan berbincang ringan dengan kakek, aku pamit ke kamar duluan. Karena besok libur sekolah, aku membawa Askara untuk tidur bersamaku, sehingga sekalipun harus bergadang, itu tidak masalah. Aku sudah mengganti baju mengenakan piyama. Ku lirik Askara yang masih tidur. Karena belum mengantuk, aku menyempatkan diri untuk melukis. Ku siapkan semua peralatannya dan bersiap untuk membuat lukisan bunga mawar yang Sean berikan tadi sore. “Oaaak.” Aku membuang nafas pelan. Belum sampai si koas mengenai kanvas, si bandit sudah menangis. Aku terpaksa menggendongnya. “Cup-cup-cup. Askara bobo ya, ini udah malem.” Tumben-tumbenan, baru berkeliling kamar sekali, dia sudah berhenti menangis. Dia tidak tidur. Matanya yang belo mirip dengan si Bayu menatapku. “Seneng lo ya ganggu gue. Kalo lo gak ngantuk gak usah nangis, resek. Lo diem aja, chill, menikmati posisi jadi bagian pewaris kekayaan keluarga Anan
Aku tertawa, “Suka? Cuma karena gue melindungi lo barusan lo berpikir gue menaruh perasaan sama lo? Lawak lo. Mana ada gue suka sama cowok semprul modelan lo begini. Karena kenal dari kecil, gue tahu banget sifat jelek lo sampe akar-akarnya. Gak ada celah sedikit pun buat gue suka sama lo.” “Bagus kalo gitu, gue lega dengernya. Mulai sekarang, lo gak perlu lagi belain gue depan kakek. Lo urus aja kehidupan menyedihkan lo itu.” “Menyedihkan? Apanya yang menyedihkan?” aku mulai naik darah. “Karena gak pernah ada cowok manapun yang deketin lo. Mereka keburu takut sama sifat lo yang berasal dari keluarga—” “Kenapa berhenti? Lanjutin ngomongnya!” “Udah, gue mau bersih-bersih.” Bayu nyelonong masuk kamar mandi. “Sana lo tidur aja di kamar mandi bareng sama nyamuk!” teriakku. Aku terlanjur kesal karena ku tahu arah ucapannya barusan mau kemana. Aku membereskan alat-alat lukisku. Tak akan benar. Lukisannya tidak ak
Aku menggeliat nikmat ketika terdengar suara ketukan mama dipintu yang meminta kami bangun. Aku serasa tinggal bersama ibu, dimana tidak perlu memasang alarm karena pasti akan dibangunkan. Ketika membuka mata, aku melotot amat kaget ketika melihat wajah si Bayu sangat dekat denganku. “Pait-pait-pait.” Bayu terbangun sekaligus, “Apa sih lo, heboh banget.” Ku tendang kakinya yang menempel dengan kakiku. Ku usap-usap seluruh permukaan kulit yang terkena kulitnya. “Sok bersih lo. Gue mandi kali kemaren, pake di bersihin segala.” “Lagian kenapa lo tidur disini? Bukannya semalem lo tidur di box?” “Pegel kaki gue nekuk terus. Ini tuh kamar gue ya, Ra, yang numpang tuh elo. Bisa-bisanya lo bersikap seolah gue yang numpang disini.” “Masalahnya lo tuh nempel terus sama gue. Jijik tahu gak!” “Gue udah bilang gue mandi, kulit gue bersih nih, gak ada tuh budugan atau bekas cacar.” “Silu
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu