Aku selesai sarapan lebih dulu dari yang lain. Aku membersihkan mulutku dengan serbet khusus yang biasanya aku temukan di restoran mewah dan besar yang langka ku kunjungi. Tak pernah kusangka, bahwa aku akan menemukan serbet ini setiap hari di rumah si Bayu.
“Kalian pulangnya jam berapa hari ini?” tanya papa. “Aku gak ada ekskul, jadi bubarnya jam tiga. Kak Bayu gak tahu.” “Aku mau input nilai kuis, pa.” Papa diam sejenak, “Input aja nilainya di rumah.” “Hm.” Papa melirikku, “Kamu mau bawa mobil sendiri atau bareng sama papa?” Aku melirik si Bayu yang terlihat sangat kesal. Papa benar-benar mengambil remot mobilnya sebelum sarapan tadi. “Eum, kalo boleh aku mau bawa mobil sendiri, gak papa ‘kan, pa?” “Gak papa dong, Ra. Papa beli mobil emang untuk anak yang gampang di atur aja. Kalo anak keras kepala dan susah di atur, ya mobilnya papa ambil lagi.” Mama yang sedang mengaduk“Anak bau kencur gak usah ikut campur.” bisiknya lalu pergi begitu saja. Aku melotot begitu mendengar jawaban dari pertanyaan serius yang aku berikan pada Bayu. Ku pukul lengannya hingga dia berjinjit menghindariku. “Gila ya, gue tanya serius juga. Eh, gue tuh berniat bantuin lo kalo misal—” sadar ada beberapa orang yang ada disana, aku diam. Akan ku tahan amarahku hingga jam pulang tiba. Aku menjalani hariku sebaik mungkin. Siang ini ada tes bahasa Prancis yang tertunda karena hari itu, si Bayu menikahiku. Padahal aku sudah senang kegirangan tidak perlu melakukan tes itu. Aku lupa, bahwa guru bahasa Prancisnya adalah suamiku sendiri. Di kelas, ketika baru menyimpan tas. Karina dan genk gak pentingnya itu duduk di mejanya paling depan. Mereka terus melirik ke arahku. Tak ku hiraukan tatapan itu. “Ra, lo udah ngapalin ‘kan?” Nadia sibuk memasang kuku palsu sambil mendengar rekaman orang sedang mengobrol dalam bahasa Prancis.
“Pak, saya—mau tes sendiri aja.” “Hm?” Bayu terkejut mendengar permintaanku yang dadakan. “Ra, kenapa? Kamu tinggal bilang yang udah kamu hapal tadi.” “Nanti nilai kamu kecil, Sean, kita sendiri-sendiri aja ya? Boleh ‘kan, pak?” Bayu tampak menimbang. Aku tahu dia tidak bisa seenak jidat memperbolehkanku berhenti begini karena ada anak-anak lain. Tapi kali ini aku berharap dia memperbolehkan aku dan Sean melakukan tes secara terpisah. “Pak, kita akan tes berpasangan. Kita minta waktu sebentar untuk mempersiapkan diri.” Sean menarik lenganku dan kembali ke mejaku. “Sean—” “Kamu mau bikin aku kecewa?” “Aku cuma gak mau nilai kamu kecil.” “Nilai itu urusan pak Bayu, bukan kamu. Aku tahu kamu tegang. Maaf tadi aku gak izin sama kamu untuk angkat tangan. Kita liat beberapa peserta lain, baru maju ya?” “Tapi—” “Aku gak menerima penolakkan, Ra.” Sean sibuk men
Ketika Sean mengungkapkan perasaannya, Bayu mendadak dipanggil komite sekolah. Biasanya ada rapat rutin yang di adakan yayasan. Mau tak mau dia memang harus ikut. Secara gitu dia pewaris tunggal yayasan ini. “Pak, tolong keluar kalo saya abis tesnya dong.” Kia memohon. “Minggu depan aja ya, bareng sama Karina. Masih ada beberapa lagi ‘kan yang belum tes.” “Yaaah, baik deh, pak.” Kia kembali ke meja dengan muka yang kusut. “Oke, temen-temen, kita lanjutin tes percakapannya minggu depan ya. Hari selasa. Bagi yang belum, saya harap nilai kalian lebih bagus dari yang sudah karena waktu latihannya panjang banget loh.” Karina menutup bukunya, ia menatap Bayu penuh cinta seperti biasa, “Pak Bayu, makasih banyak ya, saya jadi punya kesempatan untuk menghapal.” “Sama-sama Karina. Kalau begitu saya, permisi. Bonjour.” “Bonjour.” Bayu keluar dari kelas, berbarengan dengan masuknya pak Andre yang memang jadw
“Dia--dia tuh ribet banget, Ra. Pokoknya nanti lo jangan kelepasan manggil gue Ananta ya, awas lo!” “Beberapa hari ini rasanya mulut gue lagi baik deh, gue selalu manggil, Bay, Bayu, Bayuuuuuuu.” “Gak usah di contohin kali.” Ku lirik wajahnya yang seperti nahan eek, “Kenapa sih lo, ketemu aki-aki doang.” “Kakek gue bukan sembarang aki-aki.” “Dia umuran berapa sih?” “Umuran...” “Seumuran lo ada? Hahaha.” Bayu meniup rambutku. Mobil berhenti di depan teras. Setelah Bayu turun, aku berniat memasukkannya ke dalam garasi, tapi supir pribadi papa menghampiriku. “Non Aura, biar bapak yang parkirin.” “Oh, ya udah, pak, makasih ya.” Aku masuk ke dalam rumah. Semua orang sibuk sekali. Ada yang mengganti seluruh bunga di meja, ada yang mengelap nakas, dan lain sebagainya. Mama yang sibuk menjadi mandor menghampiriku yang baru masuk, “Aura, kamu mandi d
Setelah makan malam dan berbincang ringan dengan kakek, aku pamit ke kamar duluan. Karena besok libur sekolah, aku membawa Askara untuk tidur bersamaku, sehingga sekalipun harus bergadang, itu tidak masalah. Aku sudah mengganti baju mengenakan piyama. Ku lirik Askara yang masih tidur. Karena belum mengantuk, aku menyempatkan diri untuk melukis. Ku siapkan semua peralatannya dan bersiap untuk membuat lukisan bunga mawar yang Sean berikan tadi sore. “Oaaak.” Aku membuang nafas pelan. Belum sampai si koas mengenai kanvas, si bandit sudah menangis. Aku terpaksa menggendongnya. “Cup-cup-cup. Askara bobo ya, ini udah malem.” Tumben-tumbenan, baru berkeliling kamar sekali, dia sudah berhenti menangis. Dia tidak tidur. Matanya yang belo mirip dengan si Bayu menatapku. “Seneng lo ya ganggu gue. Kalo lo gak ngantuk gak usah nangis, resek. Lo diem aja, chill, menikmati posisi jadi bagian pewaris kekayaan keluarga Anan
“Lo tuh kebiasaan ya! Gue ‘kan udah bilang baliknya jam lima. Lo malah jalan sama cewek lo dan ngelupain gue!” aku berteriak begitu mendengar jawaban mengesalkan si Adit. “Eh, nyebelin lo ya! Pake teriak-teriak segala. Gue gak budek kalik, Ra!” “Ya elo nyebelin! Bukan budek lagi tahu gak, tapi Bolot. Gue ‘kan udah bilang tadi pagi waktu sarapan. Emang Oneng lo!” “Satu aja ya lo ngatain gue! Ngapa di borong?” “Suka-suka gue lah! Pokoknya gue gak mau tahu, gue pengen dijemput sekaraaaang!” Klik. Aku mematikan sambungan telpon dengan kakak tunggal nyebelin itu. Selain Bolot, dia emang Oneng, persis ucapanku beberapa detik lalu. Belum hilang rasa marahku, ponsel yang masih ku genggam bergetar pendek. Ada pesan singkat dari Adit Similikiti yang doyan mangkir dari jadwal mengantar jemputku sepulangnya kerja. Dia tuh sebenarnya sempat-sempat saja, cuma masalahnya tuh anak malesnya naudzubillah. Sok-soan sibuk dengan kehidupan dewasanya yang enggak banget. “Gue dijemput si
“Cuh-Cuh-Cuh!” Bayu membuang ludahnya beberapa kali, “Nyebut lo! Enak aja itu anak gue. Kenapa anak gue ada disana? Harusnya dia ada di rumah sakit lah sama ibunya. Inget ya, Ra, di rumah sakit mewah.” “Ya mana gue tahu. Gue cuma nebak karena wajahnya mirip lo.” “Emang iya? Bukannya wajahnya mirip lo?” Aku mengangkat hidung dengan jari telunjuk sehingga menampilkan hidung seperti Babi, “Nih, mirip sama gue!” “Udah lo, bercanda terus. Bawa bayinya.” “Kok gue?” “Karena lo... cewek.” “Apa urusannya?” “Bawa! Ngelawan mulu lo sama yang tua.” “Iya-iya. Ngatur mulu. Donatur lo?” Dengan mulut monyong karena menggerutu tidak jelas, aku memangku bayi merah itu. Begitu berhasil membawanya aku menyerahkan bayi itu pada Bayu, “Lo aja nih, masih kenyal banget, geli gue.” “Lo kata Yupi?” Bayu mengambil alih bayi yang terbalut kain bergambar Helikopter berwarna biru itu. Dia yang memang suka anak kecil, tersenyum menatap wajah bayi itu yang mendadak diam ketika digendongnya, “H
Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore. “Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.” Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.” “Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.” “Tapi kasian, Ra.” “Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.” Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.” “Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.” Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus. Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki a