Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?”
“Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja dia pinter. Kakiku terus bergerak karena panik. Aku tak pernah makan berdua dengan lelaki kecuali Adit dan Bayu setelah kepergian ayah. Setelah lelaki kampret itu meninggalkan keluarga, aku tak bisa menjelaskan, bahwa aku ketakutan menghadapi laki-laki selain dua makhluk yang tadi kusebut. “Aura, sori lama. Tadi aku ketemu temen dari kelas lain.” Sean duduk dihadapanku. “Gak papa.” Keadaan jadi canggung. Hanya aku sih, karena Sean santai saja. Ia bahkan sempat-sempatnya bernyanyi. Aku berasa makan di angkringan. Bedanya di iringi lagu barat, bukan musik keroncong seperti biasanya. “Kamu mau pesen apa?” “Aku—” tanganku gemetaran. Kemana sih si Bayu? Kenapa dia lama sekali? “Ra, kamu sakit?” Sean menepuk punggung tanganku, membuatku tersentak kaget. Sebuah tangan yang sama besarnya dengan Sean menyingkirkan tangan yang menangkup dipunggung tanganku. Aku mendongak menatap pahlawan kesiangan itu. “Saya boleh gabung makan disini?” tanyanya super basi, karena pantatnya sudah nempel dengan kursi sebelum kami memperbolehkan. “Boleh, le profeseeur (guru laki-laki).” Sean menjawab ragu. Aku dan Bayu bertatapan. Untungnya dia datang, kalau tidak, bisa mati berdiri aku berhadapan dengan Sean. Ketika kami melihat buku menu, aku merasakan ada hawa manusia lain yang akan menghampiri. “Pak Bayu?” pekik Karina, “Bapak lagi ngapain disini?” “Saya—lagi ikut makan sama Sean dan Aura. Kamu udah makan, Karina?” Wajah Karina yang sudah merah karena blush on tambah merah karena di gombalin si Buaya Buntung, “Belum, pak. Saya boleh ‘kan ikut makan disini?” “Boleh-boleh.” Bukannya sebal karena si ketua genk Barbie ikut makan disini, justru aku kegirangan. Sean membuang mukanya kesal. Aku jelas paham kalau Sean tengah mendekatiku, tapi aku tidak siap untuk itu. “Pak Bayu, nanti pulang sekolah bisa ‘kan nganterin aku pulang?” “Hm? Kamu biasanya pulang sama siapa?” “Sama temen-temen, tapi... aku lagi berantem sama mereka.” Bayu melirikku, “Kamu pulang sama Aura aja. Kamu lagi gak marahan ‘kan sama dia?” Karina melirikku, “Dia ‘kan mau pulang sama Sean. Iya ‘kan?” tanyanya pada Sean. Sean mengangguk, “Iya, Aura mau pulang bareng dengan saya, pak.” Aku menatap Bayu memberinya kode. Aku sudah mengatakan untuk menjauhkan Sean dariku dengan acara apapun. Tapi memang dasarnya dodol, si Bayu malah melongo dan kembali fokus pada buku menu. Sungguh kerja sama yang sia-sia. “...pak Bayu sama Aura harusnya jangan berangkat atau pulang bareng kalo ke sekolah.” tutur Karina. “Kenapa?” tanya Bayu enteng. “Soalnya...” Karina melirikku, “Aura tuh aneh, pak.” Aku diam saja, ingin ku dengar kalimat lanjutannya. Dimatanya aku aneh bagaimana sih? “Dia ‘kan dari keluarga broken home, pasti orang tuanya gak kasih didikkan yang baik, makannya dia gak naik kelas. Harusnya ‘kan dia udah lulus, tapi masih aja sekolah disini.” “Apaan sih, lo!” gertakku, “Hubungannya gue anak broken home sama sifat gue apa?” “Tuh, ‘kan, pak, Aura sering banget marah-marah gak jelas. Itu pasti efek dia anak broken home.” Aku berdiri, “Elo ya!” Bayu yang duduk disebelahku menahan lenganku yang menunjuk Karina, “Karina, kita ‘kan sama-sama tahu, Aura bukan gak naik kelas, tapi dia cuti dua tahun karena keadannya gak baik. Saya gak suka kamu bicara seperti itu. Broken home gak ada hubungannya dengan sifat seseorang. Tolong jangan bilang seperti itu lagi ya sama Aura.” Aku melirik Bayu yang tengah menegur si mulut besar, Karina. Caranya membelaku sungguh netral dan tak terkesan bahwa ia ada dipihakku. “Iya, pak, saya janji gak akan bilang gitu lagi sama Aura.” si Karina menunduk setelah mendapat ultimatum kecil. Karena ceritanya marah, aku pergi begitu saja. Carakku juga ku lakukan untuk menghindari Sean. Aku sungguh tidak nyaman saat didekatnya. “Aura.” Bayu mengejarku. “Gak usah kejar gue. Gue—gak papa kok.” kataku terus berjalan. “Geer lo. Jangan ngira gue mau nenangin lo. Nih, hape lo ketinggalan.” Aku mengambil ponselku dari Bayu setengah malu. “Kalo hape lo ilang, ribet. Nanti lo minta beliin lagi sama gue.” Bayu pergi begitu saja sebelum aku sempat membalas perkataannya. Aku yang berniat akan langsung ke kelas, terpaksa mengejar Bayu karena Sean mengikutiku pergi. Si bule itu kenapa sih sering menggangguku, “Pak Bayu.” Bayu menoleh, “Tumben sopan. Otak lo lagi—” “Saya mau memperbaiki nilai tes sebelumnya yang jelek. Nanti pulang sekolah ‘kan remedialnya?” “Hah?” dia tak mengerti kodeku yang sudah berkedip dua kali, “Remedial apaan?” Melihat Sean kini berdiri disampingku, nampaknya otak Bayu baru konek, “Oh, remedial itu. Oke, nanti pulang sekolah kita remedial tes kamu ya.” “Baik, pak.” Sean melirikku, “Ra, bukannya pulang sekolah ada ekskul Melukis?” “Hah? Eum... iya, tapi nilai bahasa Prancis lebih penting dari ekskul. Aku gak papa gak masuk sehari.” “Padahal aku baru aja daftar ekskul Melukis.” Sean melirik Bayu, “Pak, apa remedial tesnya bisa di ubah ke hari lain?” Bayu menatapku. Aku memohon diam-diam padanya. Ku pelototi agar kali ini ia kembali membantuku, “Hm, bisa.” Aku membuang nafas pelan. Sungguh si Bayu tak bisa diandalkan. “Tapi—”Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah
Kedua alis Maira bertaut. Wajahnya seketika pucat seperti habis kena begal. Bedanya dia tidak kehilangan barang apapun, tapi kehilangan kepercayaannya pada si Bayu, mungkin.Maira menatap Bayu, “Ada yang harus aku tahu, Bayu Ananta?”“Sayang, aku—” Bayu melirik Adit memintanya masuk ke dalam kafe agar tidak membuat masalah baru.“Ya udah gue masuk dulu.”Bayu menghampiri Maira yang berdiri didekatku, ia menggenggam tangannya seperti di acara reality show, “Sayang, maaf aku belum sempet kasih tahu. Waktunya gak pas untuk bilang kalo aku sama Aura—”“Udah menikah?”“Pernikahan itu gak beneran kok.”“Oyah? Pernikahan gak beneran itu gimana? Yang jadi penghulunya Adit? Atau gimana?”Bayu melirikku meminta bantuan.Aku yang enggan nyemplung dalam drama seperti ini terpaksa ikut bicara, bagaimaan pun itu melibatkan aku juga, “Kak, gue sama si Ananta cuma nikah pura-pura kok, nikah kontrak gitu. Kita terpaksa nikah karena—ya tahu sendiri warganet tuh suka mitnah sembarangan.”“Tung
Aku duduk dengan lemas di ranjang kamar Bayu. Setelah dihitung-hitung untuk susu dan popok saja sudah habis hampir sepuluh juta. Belum lagi mama bilang kalau Askara tidak cocok dengan susunya, kita harus cari susu lain. Begitu pun dengan popoknya. Bisa ruam kalau dipaksakan dipakai. Kalau ganti merk lain harus tambah budget. Belum lagi lagi body carenya, bajunya, mainannya. “AAAH!” teriakku ketika sadar lima belas juta yang diberikan papa bukannya berlebih malah kurang untuk satu bulan. “Apa sih lo! Kaget tahu!” Bayu membalikkan kursi kerjanya yang terletak di ujung kamar. “Ananta, kita gak jadi kaya!” kataku memasang wajah sangat memprihatikan. “Sssst! Ananta nama kakek gue. Kalo kedengeran sama bokap bisa di amuk lo!” “Iya-iya, maksud gue Bayu,” aku bangkit dari ranjang, “Gimana dong? Buat susu aja bisa abis lima juta. Belum lagi kalo gak cocok, budgetnya nambah. Bisa minus dari lima belas juta yang ada.” “Ya gimana lagi. Emang lo tega oplos pake susu kalengan terus po
“Syaratnya adalah...” aku menumpuk bantal ditengah kasurnya yang luas. Ini mah bisa cukup buat lima orang, “Ini batas teritorial antara lo dan gue. Kalo bantalnya gerak, bergeser atau... kaki dan tangan lo menyebrang, maka... dengan sangat terpaksa tim keamanan gue akan mengusir lo dari kasur ini.” “Tim keamanan lo?” Aku mengangguk, “Intinya lo akan gue usir dari kasur.” “Oke.” “Ya udah lo cuci kaki, cuci tangan dulu sana. Tangan lo kotor udah ngetik di laptop.” “Berasa mau masuk wilayah ratu gue.” “Iya lah, ratu Aura.” kataku mengangkat kerah bajuku jumawa. Bayu berjalan menuju meja kerjanya. Ia menutup laptop dan berjalan ke kamar mandi untuk menuruti perintahku. Syukurlah dia jinak. Ternyata dia tidak sekeras kepala si Adit. Aku bersiap tidur. Ku tarik selimut super lembut di kasurnya, “Gila, si Bayu hidupnya begini selama dua puluh tujuh tahun? Enak banget.” Bayu mengeringkan kaki dan tangannya dengan handuk. Ia lalu menaiki ranjang. Namun, belum kedua kakinya ng
Aku belum bicara lagi dengan si Bayu dari semalam. Dia keterlaluan. Sudah ku jauhkan dari jangkauan aset berharga yang tak boleh di lihat, ia malah menghampiriku diam-diam demi bisa melihat bentuknya. “Baru segitu doang. Gak gue apa-apain juga.” katanya bela diri, ketika kita ada di perjalanan ke sekolah. “Lo mana ngerti sih. Tetek lo ‘kan gak berharga.” Dia dengan polosnya menyentuh sebelah payudara miliknya. Kita saling diam lagi. Selain kesal, aku juga ngantuk. Semalam, setelah aksi dia mengintip, Askara tak langsung tidur. Kita bergadang gantian sampai subuh. Ternyata menjadi orang tua baru memang tidak pernah semudah itu. “Gue pulang agak sore. Ada kuis di kelas lain dan gue perlu imput nilai.” “Terserah.” Bayu melirikku, “Mau pulang bareng gue lagi gak?” “Itu bukan pertanyaan. Itu syarat mutlak dari bokap lo. Gue bisa pulang sama si Adit, gak perlu nungguin elo yang malah suka sibuk tebar pesona di sekolah. Euh, kalo si Maira tahu bisa diputusin lo.” “Dia gak s
Aku melewati Sean karena merasa tak perlu membalas pertanyaan. Mana mungkin aku bilang baru saja payudaraku yang suci menempel pada dada si Bayu. Aku yakin Sean tidak akan berkomentar apapun, tapi risih saja mengatakannya. Aku masuk kelas dan duduk di meja, merebut kipas angin mini milik Nadia dan mengipasi leherku yang tiba-tiba berkeringat. “Buku gue aman ‘kan?” “Aman, gue taro dibawah meja lo.” Aku duduk bersandar di kursi. Belum selesai mengistirahatkan badan dan pikiran, si Karina datang bersama genk Barbienya itu. “Mau apa? Masih pagi jangan cari perkara sama gue.” gertakku. “Geer, siapa yang mau ganggu lo. Gue cuma mau...” Karina mendekatkan badannya padaku, “Nanya. Lo semiskin itu sampe harus nebeng sama pak Bayu tiap hari?” Aku tertawa, “Harus banget lo tahu?” “Tinggal jawab aja.” “Gue gak miskin, Karina.” “Terus kenapa lo terus nempelin pak Bayu gue?” “Pak Bayu gue,” ledekku, “Dia punya orang tuanya, gak usah ngaku-ngaku.” “Lo gak takut sama gue? Masi
“Oke.” jawabku pelan. “Serius?” biji mata Sean nyaris keluar karena mungkin dia tidak menyangka aku akan menjawab begitu. “Hm.” “Kamu gak akan ngilang lagi ‘kan kayak kemarin?” “Hah? Hilang gimana?” telisikku. “Kamu ngilang gitu aja kemarin. Begitu aku beresin buku, kamu udah gak ada di kelas.” Aku tertawa, ku pukul juga lengannya sok asik, “Ah masa? Aku ada kok. Kamu aja gak liat.” Sean diam sejenak, "Hehe, iya kali ya.” Aku berdiri ketika melihat Bayu keluar dari kelas yang sedang ia ajar. Aku ada perlu dengannya, “Sean, aku duluan ya. Aku kebelet pipis.” Aku berlari melewati jalan menuju toilet agar Sean tidak curiga. Setelah aman, aku berlari ke arah dimana Bayu ternyata akan ke toilet, “Bay.” “Lo ngapain disini?” Aku menarik lengannya, “Ini gawat, tolong nanti kita pulang cepet lagi kayak kemaren ya? Plisss.” “Lo pikun? Gue ‘kan udah bilang gue ha