Share

7. Akting yang Mumpuni

“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik.

“Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu.

“Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.”

“Baik, pak.” jawab siswa tak serentak.

Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya.

“Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean.

“Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?”

Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.”

“Oke. Merci (terima kasih).”

“De rien (sama-sama).”

Sampai Bayu tak terlihat di dalam kelas, Karina terus menatapnya. Dia memang suka pada Bayu. Entah apa jadinya jika ia tahu kalau guru sok kecakepan itu adalah suamiku. Mungkin dia akan ayan tujuh hari tujuh malam.

Aku duduk dimejaku, membereskan buku-buku yang akan dipelajari hari ini.

Sean menghampiri mejaku, “Ra, nanti kamu ada ekskul melukis ‘kan?”

“Hm. Kamu juga?” tanyaku berbasa-basi, padahal aku jelas tahu dia tidak tergabung dengan ekskul apapun.

Sean tertawa, “Enggak. Aku belum tahu mau gabung ekskul apa. Menurut kamu yang cocok buat aku apa?”

Karina yang sedang membagikan lembaran dari Bayu berupa beberapa kalimat bahasa Prancis yang harus dihapalkan, menaruh kertas itu dengan kencang di meja, “Sean, lo kalo mau ikut ekskul jangan tanya si Aura. Dia madesu.”

Sean mengernyit, “Madesu? Apa itu?”

Aku dan Nadia tertawa, lagian bule begitu malah diberi ucapan singkatan.

“Madesu is masa depan suram, Sean. Lo kalo mau ikut ekskul mending tanya gue.”

Sean tersenyum miring, “Aku pikir masa depan suram itu kamu, Karina, bukan Aura. Masa depan kamu ketutupan bedak tuh.”

Aku dan Nadia tertawa lagi. Sifat Karina memang nyebelin. Aku yang sering jadi sasaran empuknya sebenarnya senang-senang saja membalasnya, tapi berhubung ada Sean, biarkan saja mereka yang ribut.

“Nyebelin lo ya! Dasar bule Kangguru.” Karina menghentakkan kakinya lalu pergi.

“Aura, nanti jam istirahat kita bisa makan bareng ‘kan?”

“Aku—”

“Bisa.” jawab Nadia dengan sotoynya.

Aku melirik Nadia sebal.

“Jadwal makan Aura itu acak-acakkan. Lo emang perlu nemenin dia makan biar asupan gizinya cukup.”

“Oke, kita makan bareng nanti.”

Sean berlalu untuk duduk dibangku belakang. Aku lalu melirik marah ke Nadia, “Lo tuh ya. Gue gak mau makan sama dia, Nad.”

“Kenapa sih? Lo ‘kan jomblo juga, gak akan ada yang marah lah.”

“Gue yang marah. Gue gak suka sama Sean.”

Nadia dengan otak seperempatnya malah menoleh ke orang yang sedang kita bicarakan, “Cakep gitu, lo gak suka? Ih, mata lo kureng ya? Ini kesempatan baik, Ra, untuk pacaran sama bule kayak dia. Lo gak mau memperbaiki keturunan lo apa?”

“Emang kenapa sama keturunan gue?”

“Biar cakep aja, biar gak kayak si Adit entar muka anak lo.”

“Selamat pagi anak-anak.”

“Ada guru tuh. Belajar yang bener lo. Biar gak madesu.”

Nadia menoyor kepalaku.

Pelajaran Fisika berjalan cepat. Sebelum lanjut pada pelajaran kedua yakni Bahasa Indonesia, aku izin ke toilet sendiri.

Saat berjalan menyusuri lorong, papa Bayu berjalan santai lalu jadi terburu-buru ketika melihatku, “Aura.”

“Pak Rino?” panggilku formal karena ini ada dilingkup yayasan.

“Ra, syukurlah papa ketemu kamu. Bayi kalian—”

“Om, sssst,” kataku mendesis persis Ular sawah, “Jangan kenceng-kenceng.”

“Oh iya, maaf-maaf. Kamu jangan panggil om, dong, ‘kan kamu udah jadi menantu papa.”

“Oh iya, papa. Ada apa?”

“Bayi kalian udah keluar dari rumah sakit. Setelah dapet transfusi dari Adit keadaannya langsung membaik.”

“Ah, syukurlah.”

“Nanti pulang sekolah kamu langsung tinggal di rumah papa ya.”

Aku diam sejenak, memikirkan nasib kakak tunggalku yang masih kekanak-kanakan, “Kak Adit gimana, pa?”

“Adit bilang dia bisa tinggal sendiri.”

“Oh gitu.” jawabku lirih. Entah, aku merasa sedikit sedih akan berpisah dengan beban terbesarku itu.

“Papa hampir lupa, kalian belum kasih nama anak kalian.”

“Aku udah siapin namanya, pa. Baru tadi pagi diskusi sama si—eh maksudnya sama kak Bayu.”

“Oyah? Kalian mau kasih nama siapa?”

“Askara Ananta, pa. Artinya cahaya abadi.”

Papa yang mendengar nama yang kuberikan itu diam lalu menangis. Aku bingung bagian mana yang membuatnya menitikkan air mata.

“Pa? Kok nangis?”

“Papa terharu karena ternyata sudah punya cucu. Apalagi cucu itu dari kamu.”

“HAH? PAK RINO PUNYA CUCU DARI AURA?” suara Nadia yang terkenal kencang seperti senk membuat hampir semua orang yang tengah berlalu lalang menengok padaku.

Kapan datangnya sih makhluk ini?

“Nad,” aku menghampirinya, menatap mulutnya yang melongo dan matanya yang melotot, “Lo salah denger.”

“Gue gak salah denger. Pak Rino tadi bilang punya cucu dari lo.”

Aku menatap papa sambil berpikir keras, “Eum, Nad, maksud pak Rino itu beliau seneng dapet—cucurut dari gue. Lo tahu Curut ‘kan? Tikus kecil itu.”

“Emang iya?”

Papa mengangguk cepat. Untungnya papa tidak selemot anaknya.

“Oh, gue kira cucu anak manusia.”

Aku membuang nafas pelan. Untungnya spek otak Nadia sedikit dibawah rata-rata sehingga aku mudah mengelabuinya.

Bayu yang baru keluar kelas lain ikut berkumpul dengan kami, “Papa, eh maksudnya pak Rino ada apa disini? Ada yang bisa saya bantu?”

“Gak ada, saya tadi cuma ngobrol sama Aura sebentar.”

Bayu melirikku, “Oh, iya, mau nanyain dia yang kemarin habis liburan ke Dubai ya?”

“Dubai? Oh hehehe, iya.”

“Enggak, bohong, pak. Tadi pak Rino habis ngomongin cucu sama Aura.” celetuk Nadia.

Wajah Bayu mendadak merah. Ia menatap khawatir pada papa, “Cu-cu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status