Share

6. Sekolah dengan Status Baru

Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah.

Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja.

“Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?”

“Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan.

“Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja.

“Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.”

Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.”

“Tes dadakkan lebih seru.”

Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis.

Aku memutar putaran kunci lalu duduk di hadapan si Bayu untuk ikut sarapan. Ku suap banyak-banyak karena hari sudah siang.

“Lo takut gue masuk kamar lo, makannya di kunci?”

“Enggak. Gue emang udah biasa kunci pintu kamar.”

“Kenapa?”

“Karena sodara gue adalah Adit similikiti.”

“Kan dia gak ada.”

“Karena ada lo. Kalian gak ada bedanya,” aku berhenti mengunyah, “Oyah, berhubung lo tinggal disini juga, gue mau kasih tahu kalau usia gue sekarang adalah sembilan belas tahun, jadi lo gak bisa menganggap gue anak kecil lagi. Tapi berhubung otak lo dan si Adit korslet, kamar, tempat teraman yang gue punya harus selalu gue kunci biar kalian gak seenak jidat buat masuk.”

“Ya-ya terserah lo deh. Gue juga gak nafsu kalopun gak sengaja liat lo ganti baju. Jalan tol kayak gitu mau gue apain sih.”

Aku mengacungkan sendok yang ku pakai makan ke arahnya. Dengan sigap dia bangkit dari kursi. Aku tertawa melihat wajahnya yang super ketakutan.

“Bangke lo ya! Gak boleh gitu loh sama suami, dosa.”

“Suami palsu!”

Bayu keluar rumah. Ku pikir dia pundung setelah aku hampir menyerangnya, ternyata dia akan memanaskan mobil.

“Ananta, nanti sore gue ada ekskul melukis. Lo bisa tungguin ‘kan?”

Tak ada jawaban.

“Si Ananta gak denger omongan gue?” aku bangkit untuk menghampirinya ke depan. Aku malas jika harus memintanya untuk menungguku di sekolah.

Baru melangkah ke ruang tamu, si Bayu ternyata sengaja sembunyi dan mengagetkanku, “DAR! Hahaha, kaget lo ya?”

Aku menatapnya datar, “Umur lo berapa sih sekarang?”

“Dua tujuh, kenapa?”

“Pantes lo gak kawin-kawin, otak lo kayak anak umur empat tahun tahu gak.”

“Lo tuh ya!”

“Gue baliknya agak sore, ada ekskul. Lo tungguin di ruangan lo.”

“Balik aja sendiri, manja amat.”

“Lo lupa nyokap bokap lo bilang apa kemarin? Kita harus berangkat dan pulang bareng sebagai suami istri. Se-tiap hari!”

“Si Adit keenakan dong jadi bebas tugas. Gue gak mau. Gue mau jalan sama pacar gue.”

Aku melipat kedua tanganku, “Kok lo gak bilang pacar lo perawat di ruang Perina? Semalem gue kaget tahu gak, pas dia ngenalin lo.”

“Buat apa bilang sama lo? Gak penting banget.”

“Ya gue harus tahu lah.”

Bayu berjalan masuk ke dalam kamar mama untuk membawa tas kerjanya, “Kenapa harus tahu?”

“Karena gue—gue bakal bantuin ngomong kalo gue bukan istri lo.”

Bayu melirikku, “Tumben baik. Pasti ada maunya.”

“Gue cuma gak mau ada orang yang mikir kenapa bisa cewek secantik Kyle Jenner ini, mau nikah sama cowok semprul sekelas lo--yang mirip kayak tukang singkong keju depan sekolah.”

“Heh, kampret lo ya.”

“Ayo berangkat. Gue tunggu di mobil.”

Bayu menyemprotkan banyak parpum setelah duduk disebelahku.

“Mulai deh lo mau jadi Buaya Buntung.”

“Berisik. Lo duduk anteng aja, mulut lo mingkem.”

“Udah di kunci ‘kan pintunya?”

“Udah lah, lo pikir gue pikun? Nih kuncinya.” Bayu melemparkan kunci rumahku persis pemain sirkus.

Aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang sebelas dua belas dengan si Adit.

“Ra,” katanya sambil mulai menyetir.

“Apa?”

“Soal bayi merah itu, kita belum kasih nama loh.”

“Lo aja yang namain. Itu ‘kan anak lo.”

Bayu melirikku, “Gue udah siapin sih, namanya... Banyu gimana?”

“Banyu? Air? Dih, gak!”

“Kalo lo gak suka karena kesannya kolot, Bintang deh, gimana?”

“Najis. Cupu banget namanya, enggak-enggak.”

Bayu diam sejenak. Ku pikir ia menyiapkan belasan nama. Ternyata hanya dua nama saja?

“Ah, Venus aja gimana? Bagus tuh, modern.”

“Ananta, lo tuh pikirannya dimana sih? Kenapa nama yang lo siapin berhubungan sama alam semua?”

“Ya bagus lah. Emang lo gak suka?”

“Motivasi lo ngasih nama begitu apa? Lo berharap dia kerja di BMKG apa gimana?”

Dia diam. Dia pasti sibuk mencari nama lain yang pasti tidak jauh dari nama-nama yang di usulkan sebelumnya.

“Langit aja, bagus, Ra. Langit ‘kan luas, indah, dan—”

“Askara. Gue mau namanya Askara.”

“Hah? Lo serius mau namain Askara?”

Aku mengangguk semangat, “Gue udah ngubek internet dan nemu nama itu. Artinya Cahaya. Dia udah jadi cahaya buat lo.”

“Gue?” dia menunjuk dirinya sendiri.

“Lo ‘kan ogah pisah dari dia. Ternyata alam kembali mempersatukan kalian, meskipun gue dituduh kumpul kebo sih sama lo.”

Laju mobil mendadak memelan, “Gue minta maaf.”

Aku meliriknya. Ku lihat wajahnya yang mendung, “Gak cocok muka lo begitu, kayak duda gak sanggup bayar rumah kontrakan tahu gak!”

Bayu mendecek, “Oke, kita kasih nama Askara. Askara Ananta.”

“Anjay. Kedengerannya kayak anak lo beneran.”

Begitu sampai sekolah, aku langsung turun sebelum parkiran. Untungnya orang-orang tahu kalau aku memang sering nebeng pada guru idola mereka, sehingga tak timbul kecurigaan apapun.

“Ra, lo kemaren kemana gak sekolah?” Nadia menghampiriku.

“Gue? Gue ada urusan.” kataku berusaha tenang.

“Cailah, gaya lo,” Nadia menatap mobil Bayu yang melewati mereka, “Lo berangkat bareng lagi sama pak Bayu?”

Aku mengangguk, “Si Adit lagi liburan ke Dubai soalnya.”

Nadia tertawa terbahak-bahak, “Dia hutang sama gue bekas kopi aja belum di bayar, lagaknya pergi ke Dubai.”

Kami berjalan menuju kelas. Di belakangku ada Sean, murid baru berwajah bule yang super ganteng.

“Kemaren dia nyariin lo.” bisik Nadia.

“Mau ngapain?”

“Taaau. Kayaknya dia naksir lo deh. Soalnya dia sering ngeliatin lo di kelas.”

Aku mengambil ancang-ancang untuk meliriknya dibelakang tubuhku, “Mana mungkin sih. Apa yang dia liat dari gue?”

“Meskipun kere, lo ‘kan keturunan Turki. Yaa... ada lah sisa kecantikan yang diturunin nyokap lo yang asli sana. Segede biji beras hahaha.”

Aku tak menggubris banyolan Nadia, karena begitu masuk kelas, Karina, ketua genk Barbie menghampiriku.

“Lo kemaren kenapa gak sekolah?”

Aku hanya menatapnya masa bodo. Aku dan Nadia berjalan melewatinya.

“Jangan-jangan lo kawin lagi ya?” ucapan Karina disambut tawa dari teman-teman lain.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bagaimana pun aku izin sekolah mendadak, dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Wajar saja mereka curiga. Tapi tidak ditembak begitu juga dong, ‘kan kaget.

“Terus kenapa kalo gue kawin?” tanyaku setelah menyimpan tas.

“Soalnya lo ‘kan paling tua disini. Usia lo udah legal buat kawin ‘kan?” tanyanya dengan mulut merah menyala seperti ibu-ibu mau kondangan.

“Gue—”

“Aura gak nikah, karena gue yang akan nikahin dia setelah kita lulus sekolah.” pembelaan Sean membuat Karina dan semua teman-teman kiceup.

Aku menatapnya yang berdiri tepat dilawang pintu. Mataku yang bulat dan lebar lalu melirik pada orang yang berdiri dibelakangnya. Si Bayu berdiri juga disana, ikut kiceup dan terkejut mendengar ucapan Sean. Ku tatap wajahnya yang kecewa itu.

Bayu—cemburu pada Sean?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status