Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah.
Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar putaran kunci lalu duduk di hadapan si Bayu untuk ikut sarapan. Ku suap banyak-banyak karena hari sudah siang. “Lo takut gue masuk kamar lo, makannya di kunci?” “Enggak. Gue emang udah biasa kunci pintu kamar.” “Kenapa?” “Karena sodara gue adalah Adit similikiti.” “Kan dia gak ada.” “Karena ada lo. Kalian gak ada bedanya,” aku berhenti mengunyah, “Oyah, berhubung lo tinggal disini juga, gue mau kasih tahu kalau usia gue sekarang adalah sembilan belas tahun, jadi lo gak bisa menganggap gue anak kecil lagi. Tapi berhubung otak lo dan si Adit korslet, kamar, tempat teraman yang gue punya harus selalu gue kunci biar kalian gak seenak jidat buat masuk.” “Ya-ya terserah lo deh. Gue juga gak nafsu kalopun gak sengaja liat lo ganti baju. Jalan tol kayak gitu mau gue apain sih.” Aku mengacungkan sendok yang ku pakai makan ke arahnya. Dengan sigap dia bangkit dari kursi. Aku tertawa melihat wajahnya yang super ketakutan. “Bangke lo ya! Gak boleh gitu loh sama suami, dosa.” “Suami palsu!” Bayu keluar rumah. Ku pikir dia pundung setelah aku hampir menyerangnya, ternyata dia akan memanaskan mobil. “Ananta, nanti sore gue ada ekskul melukis. Lo bisa tungguin ‘kan?” Tak ada jawaban. “Si Ananta gak denger omongan gue?” aku bangkit untuk menghampirinya ke depan. Aku malas jika harus memintanya untuk menungguku di sekolah. Baru melangkah ke ruang tamu, si Bayu ternyata sengaja sembunyi dan mengagetkanku, “DAR! Hahaha, kaget lo ya?” Aku menatapnya datar, “Umur lo berapa sih sekarang?” “Dua tujuh, kenapa?” “Pantes lo gak kawin-kawin, otak lo kayak anak umur empat tahun tahu gak.” “Lo tuh ya!” “Gue baliknya agak sore, ada ekskul. Lo tungguin di ruangan lo.” “Balik aja sendiri, manja amat.” “Lo lupa nyokap bokap lo bilang apa kemarin? Kita harus berangkat dan pulang bareng sebagai suami istri. Se-tiap hari!” “Si Adit keenakan dong jadi bebas tugas. Gue gak mau. Gue mau jalan sama pacar gue.” Aku melipat kedua tanganku, “Kok lo gak bilang pacar lo perawat di ruang Perina? Semalem gue kaget tahu gak, pas dia ngenalin lo.” “Buat apa bilang sama lo? Gak penting banget.” “Ya gue harus tahu lah.” Bayu berjalan masuk ke dalam kamar mama untuk membawa tas kerjanya, “Kenapa harus tahu?” “Karena gue—gue bakal bantuin ngomong kalo gue bukan istri lo.” Bayu melirikku, “Tumben baik. Pasti ada maunya.” “Gue cuma gak mau ada orang yang mikir kenapa bisa cewek secantik Kyle Jenner ini, mau nikah sama cowok semprul sekelas lo--yang mirip kayak tukang singkong keju depan sekolah.” “Heh, kampret lo ya.” “Ayo berangkat. Gue tunggu di mobil.” Bayu menyemprotkan banyak parpum setelah duduk disebelahku. “Mulai deh lo mau jadi Buaya Buntung.” “Berisik. Lo duduk anteng aja, mulut lo mingkem.” “Udah di kunci ‘kan pintunya?” “Udah lah, lo pikir gue pikun? Nih kuncinya.” Bayu melemparkan kunci rumahku persis pemain sirkus. Aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang sebelas dua belas dengan si Adit. “Ra,” katanya sambil mulai menyetir. “Apa?” “Soal bayi merah itu, kita belum kasih nama loh.” “Lo aja yang namain. Itu ‘kan anak lo.” Bayu melirikku, “Gue udah siapin sih, namanya... Banyu gimana?” “Banyu? Air? Dih, gak!” “Kalo lo gak suka karena kesannya kolot, Bintang deh, gimana?” “Najis. Cupu banget namanya, enggak-enggak.” Bayu diam sejenak. Ku pikir ia menyiapkan belasan nama. Ternyata hanya dua nama saja? “Ah, Venus aja gimana? Bagus tuh, modern.” “Ananta, lo tuh pikirannya dimana sih? Kenapa nama yang lo siapin berhubungan sama alam semua?” “Ya bagus lah. Emang lo gak suka?” “Motivasi lo ngasih nama begitu apa? Lo berharap dia kerja di BMKG apa gimana?” Dia diam. Dia pasti sibuk mencari nama lain yang pasti tidak jauh dari nama-nama yang di usulkan sebelumnya. “Langit aja, bagus, Ra. Langit ‘kan luas, indah, dan—” “Askara. Gue mau namanya Askara.” “Hah? Lo serius mau namain Askara?” Aku mengangguk semangat, “Gue udah ngubek internet dan nemu nama itu. Artinya Cahaya. Dia udah jadi cahaya buat lo.” “Gue?” dia menunjuk dirinya sendiri. “Lo ‘kan ogah pisah dari dia. Ternyata alam kembali mempersatukan kalian, meskipun gue dituduh kumpul kebo sih sama lo.” Laju mobil mendadak memelan, “Gue minta maaf.” Aku meliriknya. Ku lihat wajahnya yang mendung, “Gak cocok muka lo begitu, kayak duda gak sanggup bayar rumah kontrakan tahu gak!” Bayu mendecek, “Oke, kita kasih nama Askara. Askara Ananta.” “Anjay. Kedengerannya kayak anak lo beneran.” Begitu sampai sekolah, aku langsung turun sebelum parkiran. Untungnya orang-orang tahu kalau aku memang sering nebeng pada guru idola mereka, sehingga tak timbul kecurigaan apapun. “Ra, lo kemaren kemana gak sekolah?” Nadia menghampiriku. “Gue? Gue ada urusan.” kataku berusaha tenang. “Cailah, gaya lo,” Nadia menatap mobil Bayu yang melewati mereka, “Lo berangkat bareng lagi sama pak Bayu?” Aku mengangguk, “Si Adit lagi liburan ke Dubai soalnya.” Nadia tertawa terbahak-bahak, “Dia hutang sama gue bekas kopi aja belum di bayar, lagaknya pergi ke Dubai.” Kami berjalan menuju kelas. Di belakangku ada Sean, murid baru berwajah bule yang super ganteng. “Kemaren dia nyariin lo.” bisik Nadia. “Mau ngapain?” “Taaau. Kayaknya dia naksir lo deh. Soalnya dia sering ngeliatin lo di kelas.” Aku mengambil ancang-ancang untuk meliriknya dibelakang tubuhku, “Mana mungkin sih. Apa yang dia liat dari gue?” “Meskipun kere, lo ‘kan keturunan Turki. Yaa... ada lah sisa kecantikan yang diturunin nyokap lo yang asli sana. Segede biji beras hahaha.” Aku tak menggubris banyolan Nadia, karena begitu masuk kelas, Karina, ketua genk Barbie menghampiriku. “Lo kemaren kenapa gak sekolah?” Aku hanya menatapnya masa bodo. Aku dan Nadia berjalan melewatinya. “Jangan-jangan lo kawin lagi ya?” ucapan Karina disambut tawa dari teman-teman lain. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bagaimana pun aku izin sekolah mendadak, dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Wajar saja mereka curiga. Tapi tidak ditembak begitu juga dong, ‘kan kaget. “Terus kenapa kalo gue kawin?” tanyaku setelah menyimpan tas. “Soalnya lo ‘kan paling tua disini. Usia lo udah legal buat kawin ‘kan?” tanyanya dengan mulut merah menyala seperti ibu-ibu mau kondangan. “Gue—” “Aura gak nikah, karena gue yang akan nikahin dia setelah kita lulus sekolah.” pembelaan Sean membuat Karina dan semua teman-teman kiceup. Aku menatapnya yang berdiri tepat dilawang pintu. Mataku yang bulat dan lebar lalu melirik pada orang yang berdiri dibelakangnya. Si Bayu berdiri juga disana, ikut kiceup dan terkejut mendengar ucapan Sean. Ku tatap wajahnya yang kecewa itu. Bayu—cemburu pada Sean?“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah
Kedua alis Maira bertaut. Wajahnya seketika pucat seperti habis kena begal. Bedanya dia tidak kehilangan barang apapun, tapi kehilangan kepercayaannya pada si Bayu, mungkin.Maira menatap Bayu, “Ada yang harus aku tahu, Bayu Ananta?”“Sayang, aku—” Bayu melirik Adit memintanya masuk ke dalam kafe agar tidak membuat masalah baru.“Ya udah gue masuk dulu.”Bayu menghampiri Maira yang berdiri didekatku, ia menggenggam tangannya seperti di acara reality show, “Sayang, maaf aku belum sempet kasih tahu. Waktunya gak pas untuk bilang kalo aku sama Aura—”“Udah menikah?”“Pernikahan itu gak beneran kok.”“Oyah? Pernikahan gak beneran itu gimana? Yang jadi penghulunya Adit? Atau gimana?”Bayu melirikku meminta bantuan.Aku yang enggan nyemplung dalam drama seperti ini terpaksa ikut bicara, bagaimaan pun itu melibatkan aku juga, “Kak, gue sama si Ananta cuma nikah pura-pura kok, nikah kontrak gitu. Kita terpaksa nikah karena—ya tahu sendiri warganet tuh suka mitnah sembarangan.”“Tung
Aku duduk dengan lemas di ranjang kamar Bayu. Setelah dihitung-hitung untuk susu dan popok saja sudah habis hampir sepuluh juta. Belum lagi mama bilang kalau Askara tidak cocok dengan susunya, kita harus cari susu lain. Begitu pun dengan popoknya. Bisa ruam kalau dipaksakan dipakai. Kalau ganti merk lain harus tambah budget. Belum lagi lagi body carenya, bajunya, mainannya. “AAAH!” teriakku ketika sadar lima belas juta yang diberikan papa bukannya berlebih malah kurang untuk satu bulan. “Apa sih lo! Kaget tahu!” Bayu membalikkan kursi kerjanya yang terletak di ujung kamar. “Ananta, kita gak jadi kaya!” kataku memasang wajah sangat memprihatikan. “Sssst! Ananta nama kakek gue. Kalo kedengeran sama bokap bisa di amuk lo!” “Iya-iya, maksud gue Bayu,” aku bangkit dari ranjang, “Gimana dong? Buat susu aja bisa abis lima juta. Belum lagi kalo gak cocok, budgetnya nambah. Bisa minus dari lima belas juta yang ada.” “Ya gimana lagi. Emang lo tega oplos pake susu kalengan terus po
“Syaratnya adalah...” aku menumpuk bantal ditengah kasurnya yang luas. Ini mah bisa cukup buat lima orang, “Ini batas teritorial antara lo dan gue. Kalo bantalnya gerak, bergeser atau... kaki dan tangan lo menyebrang, maka... dengan sangat terpaksa tim keamanan gue akan mengusir lo dari kasur ini.” “Tim keamanan lo?” Aku mengangguk, “Intinya lo akan gue usir dari kasur.” “Oke.” “Ya udah lo cuci kaki, cuci tangan dulu sana. Tangan lo kotor udah ngetik di laptop.” “Berasa mau masuk wilayah ratu gue.” “Iya lah, ratu Aura.” kataku mengangkat kerah bajuku jumawa. Bayu berjalan menuju meja kerjanya. Ia menutup laptop dan berjalan ke kamar mandi untuk menuruti perintahku. Syukurlah dia jinak. Ternyata dia tidak sekeras kepala si Adit. Aku bersiap tidur. Ku tarik selimut super lembut di kasurnya, “Gila, si Bayu hidupnya begini selama dua puluh tujuh tahun? Enak banget.” Bayu mengeringkan kaki dan tangannya dengan handuk. Ia lalu menaiki ranjang. Namun, belum kedua kakinya ng
Aku belum bicara lagi dengan si Bayu dari semalam. Dia keterlaluan. Sudah ku jauhkan dari jangkauan aset berharga yang tak boleh di lihat, ia malah menghampiriku diam-diam demi bisa melihat bentuknya. “Baru segitu doang. Gak gue apa-apain juga.” katanya bela diri, ketika kita ada di perjalanan ke sekolah. “Lo mana ngerti sih. Tetek lo ‘kan gak berharga.” Dia dengan polosnya menyentuh sebelah payudara miliknya. Kita saling diam lagi. Selain kesal, aku juga ngantuk. Semalam, setelah aksi dia mengintip, Askara tak langsung tidur. Kita bergadang gantian sampai subuh. Ternyata menjadi orang tua baru memang tidak pernah semudah itu. “Gue pulang agak sore. Ada kuis di kelas lain dan gue perlu imput nilai.” “Terserah.” Bayu melirikku, “Mau pulang bareng gue lagi gak?” “Itu bukan pertanyaan. Itu syarat mutlak dari bokap lo. Gue bisa pulang sama si Adit, gak perlu nungguin elo yang malah suka sibuk tebar pesona di sekolah. Euh, kalo si Maira tahu bisa diputusin lo.” “Dia gak s
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu