Aku melambaikan tangan ketika mobil ibu bergerak menjauhi pagar rumah. Ibu harus kembali ke Surabaya karena tidak ada pegawai kepercayaan disana. Aku membalikkan badan dan menatap Bayu yang duduk bersebelahan dengan Adit di kursi teras.
“Ra,” Bayu berdiri, “Malam ini gue tidur dimana?” “Terserah lo lah.” “Kita—gak satu kamar?” Adit melirik Bayu yang bertanya seperti itu padaku, “Bay, sehat lo?” Bayu menggaruk kepalanya, “Kan gue cuma tanya.” Adit ikut berdiri dan mendorong kami untuk berkumpul di ruang tamu. Setelah menutup pintu, dia duduk dan menatap Bayu serius, “Bay, lo sadar ‘kan pernikahan ini tuh palsu? Kalian di nikahin paksa karena kasus si bayi merah itu?” Bayu mengangguk. “Terus? Kenapa lo pengen satu kamar sama adek gue?” “Kan gue udah bilang gue cuma tanya.” “Lo tidur disini aja, gue suka tidur disini.” Adit memukul sofa yang sedang di dudukkinya. “Tuh bener. Banyak tempat disini. Lo mau tidur sama si Adit juga gak masalah.” kataku menambahkan. Adit melotot, “Eh, najis. Enggak ya, enak aja. Apaan. Ngeri banget gue bayanginnya.” “Jadi gue tidur di sofa aja?” tanya Bayu dengan nada sedih. Adit diam sejenak, dia lalu melirikku dan kembali menatap Bayu, “Gue ngerti sih lo gak pernah tidur di sofa. Ya udah lo tidur di kamar nyokap aja.” “Emang gak papa?” “Ya gak papa lah. Nyokap gue ‘kan gak ada.” “Emang sopan ya tidur di kamar mertua?” “Mertua palsu. Lo jangan terlalu idealis lah. Dan slogan lo to be perfect husband itu, lo simpen aja baik-baik.” aku berjalan malas memasuki kamar. Adit berdiri menepuk pundak Bayu, “Gue tidur duluan ya. Hari ini capek banget. Nanti kalo lo butuh apa-apa ke kamar aja.” Setelah terdengar Adit masuk kamar, aku membawa bantal dan selimut ke ruang tamu, “Nih buat lo.” “Gue emang gak boleh ya tidur sama lo?” “Dih. Sama si Adit aja sono.” Bayu tak menjawab. “Lo takut tidur sendiri?” ledekku. “Enggak.” “Ya udah gue tidur, besok gue sekolah. Lo juga ada jadwal ngajar ‘kan?” Bayu mengangguk. Aku mengunci pintu ruang tamu dan kembali berjalan ke kamar. Bayu membuang nafas pelan. Ia terlihat kurang nyaman tinggal dirumahku yang tidak setengah dari rumahnya yang sebesar kastil. Tok-Tok-Tok “Ra, ada orang!” teriak Bayu. “Elah, lo buka aja kali. Kaki sama tangan lo ‘kan ada disitu.” aku yang belum sampai kamar berjalan kesal memutar kunci pintu ruang tamu. Begitu pintu terbuka, aku terkejut mendapati kehadiran mertua palsuku, “Om-tante? Masuk.” Papa dan mama masuk. Mereka terkejut melihat ada bantal dan selimut di sofa ruang tamu. “Ini tadi kak Bayu katanya mau nonton bola dulu disini, kalo dikamar takut ganggu.” kataku sibuk memangku bantal dan selimut. “Mama sama papa ada apa kesini?” tanya Bayu cepat. Aku tahu dia hanya tidak ingin orang tuanya curiga. “Keadaan bayi kalian gak stabil, Bay, di ruang NICU.” Mama menatap Bayu dan aku dengan tatapan khawatir. “Hah? Terus gimana, ma?” Bayu beneran khawatir mendengar kabar itu. “Perawat barusan telpon, katanya bayi kalian butuh transfusi darah. Kita kesana sekarang. Mama takut terjadi apa-apa sama cucu mama.” “Iya, ma, aku ambil jaket dulu. Ayo, sayang.” Bayu menyeret tubuhku membawa ke kamar. Aku melepaskan tangan Bayu dengan kasar begitu sudah di kamar, “Sayang? Geli tahu gak.” “Di depan nyokap bokap aja. Lo tenang aja, gue inget kok kalo pernikahan kita ini palsu. Jadi lo gak usah geer kalo gue memperlakukan lo dengan baik atau tiba-tiba manggil lo sayang. Buruan ganti baju. Gue gak mau terjadi apa-apa sama anak gue.” Aku dan Bayu memakai mobil terpisah dengan mama dan papa. Kami ke rumah sakit sama-sama, meninggalkan Adit yang sudah tidur dalam ketenangan. Maksudnya dia tidak terbangun meski dibangunkan, jadi biarkan saja. Begitu sampai di depan ruang NICU, dokter jaga perempuan menghampiri Bayu yang terlihat sangat panik persis seorang ayah yang mengkhawatirkan anaknya, “Dengan orang tua bayi?” “Iya, dok. Apa yang terjadi sama anak saya?” tanya Bayu sok iyeh. “Anak bapak mengalami Anemia Prematuritas atau kondisi bayi prematur yang mengalami kekurangan sel darah merah. Sehingga anak bapak kini membutuhkan transfusi darah secepatnya.” Papa mendekati dokter, “Tolong ambil darah segera dari anak saya, dok.” “Kita harus melakukan pemeriksaan terlebih dulu, pak.” “Periksa saja anak saya sekarang. Darah saya pun tidak papa. Tapi tolong selamatkan cucu saya.” Aku melihat papa begitu sayang dan peduli pada cucu palsunya itu. Entah, jika tahu itu bayi asing apakah papa mertuaku masih bisa menyayangi bayi itu atau tidak. “Ra, ayo kita periksa. Kok diem aja sih?” ajak Bayu. Mama membuang nafas pelan dan memelukku, “Mama tahu kamu pasti terguncang denger kabar dede bayi. Kamu yang sabar ya, sayang.” Papa juga ikut memelukku, “Iya, kita hadapi semuanya sama-sama. Papa sama mama janji akan nemenin kamu dan Bayu sampe adek bayi sembuh.” Agar tidak membuat mertuaku malu, aku pura-pura menangis meski tanpa air mata. Aku lalu manggut-manggut seperti ibu di tivi-tivi yang sedang terguncang. Setelah melakukan serangkaian cek darah darurat, hasilnya langsung keluar. Perawat menyampaikan jika bayi yang belum memiliki nama itu memiliki golongan darah yang sama denganku. Entah aku harus senang atau merana. “Tapi ibu Aura tidak bisa melakukan transfusi darah karena juga mengalami Anemia. Sehingga kami meminta pihak keluarga untuk mencari donor darah lain. Kami membutuhkan darah secepatnya. Tolong di usahakan ya, bu, pak.” Semua saling lirik. Kami bisa menemukan golongan darah langka AB- dari mana malam-malam begini? “Adit. Si Adit golongan darahnya AB- juga kok.” aku baru ingat bahwa si Adit bisa dimantaafkan untuk diambil darahnya. “Ayo telpon Adit, Bay.” pinta mama. “Oke, aku telpon sekarang.” Bayu yang baru mengeluarkan ponsel dari saku celananya tercengang ketika perawat yang sedang bicara barusan dengan kami dihampiri satu perawat lain. “Kamu dipanggil dokter ke ruang NICU. Biar aku yang ambil sampel darah orang tua bayi.” “Oke. Bu, pak, saya permisi.” Mama-papa-Bayu tidak merespon perawat yang berpamitan pada mereka. Kehadiran perawat baru itu membuat mereka terkejut. Terus kenapa aku tidak terkejut? Entahlah, aku tidak pernah liat dia sebelumnya. “Ma-Maira” Bayu terbata memanggil nama suster itu. Hebat juga dia bisa tahu namanya tanpa berkenalan. Suster cantik yang dipanggil Maira itu melirik semua orang satu per-satu. Dia membaca hasil pemeriksaan di kertas. Entah kenapa tangannya jadi bergetar seperti belum makan. Matanya juga merah antara menahan mulas atau menahan marah. “Bay, kamu—orang tua dari bayi itu?” Tunggu, kenapa dia bertanya begitu pada suamiku? Maksudnya suami palsuku?Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah. Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar
“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah
Kedua alis Maira bertaut. Wajahnya seketika pucat seperti habis kena begal. Bedanya dia tidak kehilangan barang apapun, tapi kehilangan kepercayaannya pada si Bayu, mungkin.Maira menatap Bayu, “Ada yang harus aku tahu, Bayu Ananta?”“Sayang, aku—” Bayu melirik Adit memintanya masuk ke dalam kafe agar tidak membuat masalah baru.“Ya udah gue masuk dulu.”Bayu menghampiri Maira yang berdiri didekatku, ia menggenggam tangannya seperti di acara reality show, “Sayang, maaf aku belum sempet kasih tahu. Waktunya gak pas untuk bilang kalo aku sama Aura—”“Udah menikah?”“Pernikahan itu gak beneran kok.”“Oyah? Pernikahan gak beneran itu gimana? Yang jadi penghulunya Adit? Atau gimana?”Bayu melirikku meminta bantuan.Aku yang enggan nyemplung dalam drama seperti ini terpaksa ikut bicara, bagaimaan pun itu melibatkan aku juga, “Kak, gue sama si Ananta cuma nikah pura-pura kok, nikah kontrak gitu. Kita terpaksa nikah karena—ya tahu sendiri warganet tuh suka mitnah sembarangan.”“Tung
Aku duduk dengan lemas di ranjang kamar Bayu. Setelah dihitung-hitung untuk susu dan popok saja sudah habis hampir sepuluh juta. Belum lagi mama bilang kalau Askara tidak cocok dengan susunya, kita harus cari susu lain. Begitu pun dengan popoknya. Bisa ruam kalau dipaksakan dipakai. Kalau ganti merk lain harus tambah budget. Belum lagi lagi body carenya, bajunya, mainannya. “AAAH!” teriakku ketika sadar lima belas juta yang diberikan papa bukannya berlebih malah kurang untuk satu bulan. “Apa sih lo! Kaget tahu!” Bayu membalikkan kursi kerjanya yang terletak di ujung kamar. “Ananta, kita gak jadi kaya!” kataku memasang wajah sangat memprihatikan. “Sssst! Ananta nama kakek gue. Kalo kedengeran sama bokap bisa di amuk lo!” “Iya-iya, maksud gue Bayu,” aku bangkit dari ranjang, “Gimana dong? Buat susu aja bisa abis lima juta. Belum lagi kalo gak cocok, budgetnya nambah. Bisa minus dari lima belas juta yang ada.” “Ya gimana lagi. Emang lo tega oplos pake susu kalengan terus po
“Syaratnya adalah...” aku menumpuk bantal ditengah kasurnya yang luas. Ini mah bisa cukup buat lima orang, “Ini batas teritorial antara lo dan gue. Kalo bantalnya gerak, bergeser atau... kaki dan tangan lo menyebrang, maka... dengan sangat terpaksa tim keamanan gue akan mengusir lo dari kasur ini.” “Tim keamanan lo?” Aku mengangguk, “Intinya lo akan gue usir dari kasur.” “Oke.” “Ya udah lo cuci kaki, cuci tangan dulu sana. Tangan lo kotor udah ngetik di laptop.” “Berasa mau masuk wilayah ratu gue.” “Iya lah, ratu Aura.” kataku mengangkat kerah bajuku jumawa. Bayu berjalan menuju meja kerjanya. Ia menutup laptop dan berjalan ke kamar mandi untuk menuruti perintahku. Syukurlah dia jinak. Ternyata dia tidak sekeras kepala si Adit. Aku bersiap tidur. Ku tarik selimut super lembut di kasurnya, “Gila, si Bayu hidupnya begini selama dua puluh tujuh tahun? Enak banget.” Bayu mengeringkan kaki dan tangannya dengan handuk. Ia lalu menaiki ranjang. Namun, belum kedua kakinya ng