Share

4. Pernikahan Palsu

“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.”

Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.”

“Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?”

Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini.

“Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya.

“Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.”

“Kok bisa? Elo sih teledor.”

Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.”

“Kok lo... bisa nangis?”

“Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!”

Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?”

Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati banget sih lo! Gue baru aja kena Tornado karena ulah lo. Bisa-bisanya lo tanya begitu.”

“Kok gue?”

“Kalo aja tadi kita gak pulang bareng, lo gak ngajak makan di taman komplek, kita gak akan ketemu bayi itu, kita gak akan dituduh kumpul kebo dan buang dia di semak. Selain arti nama lo, keberadaan lo di deket gue tuh emang selalu bikin gue kena angin Topan tahu gak!”

Bayu dan Adit kiceup mendengar penuturanku.

“Ra, asal lo tahu ya nama Bayu Ananta artinya emang Angin Abadi, tapi hidup lo kayak gini bukan karena arti nama gue. Tapi karena kita... bakal jadi orang kaya dadakan.” suara tawanya dipelankan setelah sadar kalau pembicaraan kami tidak boleh didengar pihak lain.

“Huuu.” Adit berteriak untuk mencairkan suasana, “Si Bayu bener, Ra. Kita akan kaya dadakan.”

“Jadi lo mau, Ra, nikah sama gue?” Bayu masih gencar merayuku.

***

“Anjir gue keren banget pake jas ini.” Bayu memamerkan tubuhnya di depan cermin panjang kamar Adit yang disana jadi tempatku di dandani juga.

Aku melirik calon suamiku itu malas, “Jas lo lebih mirip kayak penyihir dibanding buat calon manten.”

Bayu terlihat panik, “Emang iya? Iya, Dit?”

Adit yang sibuk mengscroll ponselnya hanya melirik sekilas, “Heem. Buat gue sih lebih mirip Komposer ya.”

“Nah iya, Komposer. Setuju gue! Toss dong, Dit.”

Aku dan Adit ber-toss ria.

Bayu menatap dirinya lagi di depan cermin. Kini wajahnya tak lagi ceria, “Kalo diliat-liat kok kayak—Belalang Sembah ya gue.”

“Bahahaha.” aku dan Adit terbahak.

“Bayu, ayo. Akadnya udah mau mulai.” teriak mama Bayu dari luar kamar.

Bayu melangkah dengan semangat, “Dit, yok, lo jadi ‘kan jadi wali nikah Aura?”

Adit menggeleng, “Gak jadi, males gue.”

Bayu membuang nafas kesal.

“Jadi dong, demi lima belas juta dibagi tiga. Tapi kalian foto dulu, dokumentasi.” Adit mengacungkan kamera Polaroid.

Aku bangkit dari kursi. Aku akan diam disini dan tak ikut prosesi akad karena ibu yang baru sampai dari Surabaya tadi subuh, memintaku keluar saat bersalaman dengan tamu saja. Ibu tidak mau anak bungsunya ini di cibir sehingga caranya diam di kamar dinilai paling aman.

Bayu memegangi pinggangku. Kami berpose senyum penuh khidmat. Lalu ketika diarahkan untuk berganti pose, kami berubah memasang wajah sangar.

Adit mengibas-ngibaskan kertas Polaroid dan memberikannya padaku ketika hasil fotonya sudah siap, “Nih.”

“Anjay, beauty and the beat.”

Bayu melirikku, “Lah, gue jadi motor.”

Ibu melongokan kepalanya di pintu, “Bay, ayo. Dit, yuk.”

“Iya, bu.” Adit mengusap bahuku, “Lo tunggu disini ya.”

Aku mengangguk. Aku cemas sekali adanya pernikahan palsu ini karena takut ketahuan oleh teman-teman. Kalau mereka tahu bisa heboh satu sekolah.

Aku mondar-mandir di depan ranjang saat mendengar suara Adit yang disusul Bayu saat prosesi ijab qabul. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menikah di usia semuda ini.

“Saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut tu-nai.”

“Bagaimana para saksi?”

“Sah.” terdengar suara bapak-bapak yang saling bersahutan.

Aku membuang nafas dengan mata tertutup ketika terdengar suara bacaan hamdallah di akhir ijab qabul. Meskipun pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi dihadapan banyak orang, ibu, orang tua Bayu, dan tentu saja dihadapan Tuhan pernikahan ini sudah sah secara hukum Agama dan Negara.

“Aura,” Ibu memasuki kamar Adit untuk menjemputku, “Ayo. Pernikahan kamu sama Bayu udah sah.”

Aku memegangi tangan ibu, “Bu, maaf aku—udah buat kesalahan ini.” kataku berusaha menjaga kerahasiaan bayi merah itu memang hasil perbuatan burukku dengan Bayu.

Ibu menggeleng, “Ini salah ibu. Kalo aja ibu bisa hadir disini nemenin kamu sama kakak kamu, semua gak akan terjadi.”

Air mata turun begitu saja dari kedua mataku.

“Maafin ayah juga ya, karena dia gak bisa jadi wali kamu. Ibu udah berusaha bujuk, tapi—”

“Gak papa, bu.”

“Yang lain udah nunggu. Kita keluar sekarang.”

Ibu menuntunku yang berdandan sederhana dan hanya memakai baju kebaya simpel. Beberapa warga yang diminta menjadi tamu dan saksi pernikahan berbisik-bisik membicarakanku dan Bayu karena kami menikah setelah ketahuan membuang bayi di semak taman komplek.

“Ayo salim dulu sama suaminya.” pinta pak penghulu padaku yang berdiri kebingungan saat berhadapan dengan Bayu yang tampak seperti orang bener ketika memakai peci hitam.

Aku bergerak lebih dekat dengan Bayu, ku ambil tangan itu pelan-pelan. Kalau tidak ada orang lain disini aku akan mengigit tangan itu kencang. Karena ulahnya, aku yang kini harusnya sedang makan Dimsum di kantin sambil bergosip malah harus salim pada suami palsu yang semprul sepertinya.

Ketika aku mencium punggung tangan Bayu, Adit bergerak menjadi fotografer untuk mengabadikan momen, “Tahan dulu.”

Aku dan Bayu menurut. Kami melakukan ini bukan karena patuh pada si Adit, tapi karena ingin mencuri hati papa dan mamanya yang menjadi donatur utama dalam keberlangsungan kehidupan kami mendatang.

Meski tak bahagia dan terpaksa menikah karena si bayi merah yang kini sedang di rawat di NICU karena terkena Hipotermia, aku berusaha menikmati hidup sebagai menantu palsu dari pemilik yayasan tempatku sekolah.

Selesai mengabadikan momen, mama Bayu memegang tanganku dan tersenyum malu-malu, "Kalian... mau bulan madu dimana?"

Bulan madu? Itu sejenis minuman apa ya? Kok aku rada geli membayangkannya dengan si Bayu.

Aku melirik suamiku, cailah. Ku perhatikan ekspresinya yang rada aneh. Sebentar, ini jangan-jangan yang mengusulkan bulan madu si semprul ini lagi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status