“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.”
Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.” “Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?” Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini. “Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya. “Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.” “Kok bisa? Elo sih teledor.” Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.” “Kok lo... bisa nangis?” “Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!” Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?” Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati banget sih lo! Gue baru aja kena Tornado karena ulah lo. Bisa-bisanya lo tanya begitu.” “Kok gue?” “Kalo aja tadi kita gak pulang bareng, lo gak ngajak makan di taman komplek, kita gak akan ketemu bayi itu, kita gak akan dituduh kumpul kebo dan buang dia di semak. Selain arti nama lo, keberadaan lo di deket gue tuh emang selalu bikin gue kena angin Topan tahu gak!” Bayu dan Adit kiceup mendengar penuturanku. “Ra, asal lo tahu ya nama Bayu Ananta artinya emang Angin Abadi, tapi hidup lo kayak gini bukan karena arti nama gue. Tapi karena kita... bakal jadi orang kaya dadakan.” suara tawanya dipelankan setelah sadar kalau pembicaraan kami tidak boleh didengar pihak lain. “Huuu.” Adit berteriak untuk mencairkan suasana, “Si Bayu bener, Ra. Kita akan kaya dadakan.” “Jadi lo mau, Ra, nikah sama gue?” Bayu masih gencar merayuku. *** “Anjir gue keren banget pake jas ini.” Bayu memamerkan tubuhnya di depan cermin panjang kamar Adit yang disana jadi tempatku di dandani juga. Aku melirik calon suamiku itu malas, “Jas lo lebih mirip kayak penyihir dibanding buat calon manten.” Bayu terlihat panik, “Emang iya? Iya, Dit?” Adit yang sibuk mengscroll ponselnya hanya melirik sekilas, “Heem. Buat gue sih lebih mirip Komposer ya.” “Nah iya, Komposer. Setuju gue! Toss dong, Dit.” Aku dan Adit ber-toss ria. Bayu menatap dirinya lagi di depan cermin. Kini wajahnya tak lagi ceria, “Kalo diliat-liat kok kayak—Belalang Sembah ya gue.” “Bahahaha.” aku dan Adit terbahak. “Bayu, ayo. Akadnya udah mau mulai.” teriak mama Bayu dari luar kamar. Bayu melangkah dengan semangat, “Dit, yok, lo jadi ‘kan jadi wali nikah Aura?” Adit menggeleng, “Gak jadi, males gue.” Bayu membuang nafas kesal. “Jadi dong, demi lima belas juta dibagi tiga. Tapi kalian foto dulu, dokumentasi.” Adit mengacungkan kamera Polaroid. Aku bangkit dari kursi. Aku akan diam disini dan tak ikut prosesi akad karena ibu yang baru sampai dari Surabaya tadi subuh, memintaku keluar saat bersalaman dengan tamu saja. Ibu tidak mau anak bungsunya ini di cibir sehingga caranya diam di kamar dinilai paling aman. Bayu memegangi pinggangku. Kami berpose senyum penuh khidmat. Lalu ketika diarahkan untuk berganti pose, kami berubah memasang wajah sangar. Adit mengibas-ngibaskan kertas Polaroid dan memberikannya padaku ketika hasil fotonya sudah siap, “Nih.” “Anjay, beauty and the beat.” Bayu melirikku, “Lah, gue jadi motor.” Ibu melongokan kepalanya di pintu, “Bay, ayo. Dit, yuk.” “Iya, bu.” Adit mengusap bahuku, “Lo tunggu disini ya.” Aku mengangguk. Aku cemas sekali adanya pernikahan palsu ini karena takut ketahuan oleh teman-teman. Kalau mereka tahu bisa heboh satu sekolah. Aku mondar-mandir di depan ranjang saat mendengar suara Adit yang disusul Bayu saat prosesi ijab qabul. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menikah di usia semuda ini. “Saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” “Sah.” terdengar suara bapak-bapak yang saling bersahutan. Aku membuang nafas dengan mata tertutup ketika terdengar suara bacaan hamdallah di akhir ijab qabul. Meskipun pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi dihadapan banyak orang, ibu, orang tua Bayu, dan tentu saja dihadapan Tuhan pernikahan ini sudah sah secara hukum Agama dan Negara. “Aura,” Ibu memasuki kamar Adit untuk menjemputku, “Ayo. Pernikahan kamu sama Bayu udah sah.” Aku memegangi tangan ibu, “Bu, maaf aku—udah buat kesalahan ini.” kataku berusaha menjaga kerahasiaan bayi merah itu memang hasil perbuatan burukku dengan Bayu. Ibu menggeleng, “Ini salah ibu. Kalo aja ibu bisa hadir disini nemenin kamu sama kakak kamu, semua gak akan terjadi.” Air mata turun begitu saja dari kedua mataku. “Maafin ayah juga ya, karena dia gak bisa jadi wali kamu. Ibu udah berusaha bujuk, tapi—” “Gak papa, bu.” “Yang lain udah nunggu. Kita keluar sekarang.” Ibu menuntunku yang berdandan sederhana dan hanya memakai baju kebaya simpel. Beberapa warga yang diminta menjadi tamu dan saksi pernikahan berbisik-bisik membicarakanku dan Bayu karena kami menikah setelah ketahuan membuang bayi di semak taman komplek. “Ayo salim dulu sama suaminya.” pinta pak penghulu padaku yang berdiri kebingungan saat berhadapan dengan Bayu yang tampak seperti orang bener ketika memakai peci hitam. Aku bergerak lebih dekat dengan Bayu, ku ambil tangan itu pelan-pelan. Kalau tidak ada orang lain disini aku akan mengigit tangan itu kencang. Karena ulahnya, aku yang kini harusnya sedang makan Dimsum di kantin sambil bergosip malah harus salim pada suami palsu yang semprul sepertinya. Ketika aku mencium punggung tangan Bayu, Adit bergerak menjadi fotografer untuk mengabadikan momen, “Tahan dulu.” Aku dan Bayu menurut. Kami melakukan ini bukan karena patuh pada si Adit, tapi karena ingin mencuri hati papa dan mamanya yang menjadi donatur utama dalam keberlangsungan kehidupan kami mendatang. Meski tak bahagia dan terpaksa menikah karena si bayi merah yang kini sedang di rawat di NICU karena terkena Hipotermia, aku berusaha menikmati hidup sebagai menantu palsu dari pemilik yayasan tempatku sekolah. Selesai mengabadikan momen, mama Bayu memegang tanganku dan tersenyum malu-malu, "Kalian... mau bulan madu dimana?" Bulan madu? Itu sejenis minuman apa ya? Kok aku rada geli membayangkannya dengan si Bayu. Aku melirik suamiku, cailah. Ku perhatikan ekspresinya yang rada aneh. Sebentar, ini jangan-jangan yang mengusulkan bulan madu si semprul ini lagi?Aku melambaikan tangan ketika mobil ibu bergerak menjauhi pagar rumah. Ibu harus kembali ke Surabaya karena tidak ada pegawai kepercayaan disana. Aku membalikkan badan dan menatap Bayu yang duduk bersebelahan dengan Adit di kursi teras. “Ra,” Bayu berdiri, “Malam ini gue tidur dimana?” “Terserah lo lah.” “Kita—gak satu kamar?” Adit melirik Bayu yang bertanya seperti itu padaku, “Bay, sehat lo?” Bayu menggaruk kepalanya, “Kan gue cuma tanya.” Adit ikut berdiri dan mendorong kami untuk berkumpul di ruang tamu. Setelah menutup pintu, dia duduk dan menatap Bayu serius, “Bay, lo sadar ‘kan pernikahan ini tuh palsu? Kalian di nikahin paksa karena kasus si bayi merah itu?” Bayu mengangguk. “Terus? Kenapa lo pengen satu kamar sama adek gue?” “Kan gue udah bilang gue cuma tanya.” “Lo tidur disini aja, gue suka tidur disini.” Adit memukul sofa yang sedang di dudukkinya. “Tuh bener. Banyak tempat disini. Lo mau tidur sama si Adit juga gak masalah.” kataku menambahkan. Adi
Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah. Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar
“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah
Kedua alis Maira bertaut. Wajahnya seketika pucat seperti habis kena begal. Bedanya dia tidak kehilangan barang apapun, tapi kehilangan kepercayaannya pada si Bayu, mungkin.Maira menatap Bayu, “Ada yang harus aku tahu, Bayu Ananta?”“Sayang, aku—” Bayu melirik Adit memintanya masuk ke dalam kafe agar tidak membuat masalah baru.“Ya udah gue masuk dulu.”Bayu menghampiri Maira yang berdiri didekatku, ia menggenggam tangannya seperti di acara reality show, “Sayang, maaf aku belum sempet kasih tahu. Waktunya gak pas untuk bilang kalo aku sama Aura—”“Udah menikah?”“Pernikahan itu gak beneran kok.”“Oyah? Pernikahan gak beneran itu gimana? Yang jadi penghulunya Adit? Atau gimana?”Bayu melirikku meminta bantuan.Aku yang enggan nyemplung dalam drama seperti ini terpaksa ikut bicara, bagaimaan pun itu melibatkan aku juga, “Kak, gue sama si Ananta cuma nikah pura-pura kok, nikah kontrak gitu. Kita terpaksa nikah karena—ya tahu sendiri warganet tuh suka mitnah sembarangan.”“Tung
Aku duduk dengan lemas di ranjang kamar Bayu. Setelah dihitung-hitung untuk susu dan popok saja sudah habis hampir sepuluh juta. Belum lagi mama bilang kalau Askara tidak cocok dengan susunya, kita harus cari susu lain. Begitu pun dengan popoknya. Bisa ruam kalau dipaksakan dipakai. Kalau ganti merk lain harus tambah budget. Belum lagi lagi body carenya, bajunya, mainannya. “AAAH!” teriakku ketika sadar lima belas juta yang diberikan papa bukannya berlebih malah kurang untuk satu bulan. “Apa sih lo! Kaget tahu!” Bayu membalikkan kursi kerjanya yang terletak di ujung kamar. “Ananta, kita gak jadi kaya!” kataku memasang wajah sangat memprihatikan. “Sssst! Ananta nama kakek gue. Kalo kedengeran sama bokap bisa di amuk lo!” “Iya-iya, maksud gue Bayu,” aku bangkit dari ranjang, “Gimana dong? Buat susu aja bisa abis lima juta. Belum lagi kalo gak cocok, budgetnya nambah. Bisa minus dari lima belas juta yang ada.” “Ya gimana lagi. Emang lo tega oplos pake susu kalengan terus po