Share

3. Dituduh Warga

Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore.

“Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.”

Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.”

“Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.”

“Tapi kasian, Ra.”

“Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.”

Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.”

“Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.”

Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus.

Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki ajaran baru kelas dua belas.

Usiaku menginjak sembilan belas tahun. Memang agak tua dari siswa lain karena pernah berhenti selama satu tahun ketika harus menemani ibu yang baru ditinggal lelaki keparat yang terpaksa harus ku panggil ayah.

Aku delapan tahun lebih muda dari kakakku, tapi pikiranku jauh lebih dewasa dari Aditya, kakak satu-satunya yang ku punya.

Kami tinggal hanya berdua disini. Ibu harus bekerja di Surabaya, membesarkan pabrik roti milik keluarga setelah ayah dengan kampret meninggalkan keluarga kecil kami demi perempuan yang lebih muda.

Aku menutup buku paket dan buku tulis mata pelajaran Biologi lalu menatap jendela kamar yang terbuka, menyuguhkan daun pohon Ketapang bergerak terkena angin.

“Si bayi merah udah ada yang bawa belum ya? Kasian.”

Drrrrrt~ Drrrrrt~

“Siapa sih malem-malem gini?” aku mengangkat ponsel yang tergeletak di meja belajar, “Si Adit?”

Dor-Dor-Dor

Aku melihat pintu kamarku bergetar.

Aku bangkit dari kursi belajar dan mematikan musik. Dengan cepat ku buka putaran kunci dan menatap bingung pada Adit yang menampilkan wajah menahan marah, “Apaan sih? Gue lagi belajar.”

“Lo ngelakuin apa sama si Bayu?”

“Gue bilang gue lagi belajar, Dit. Sendirian di kamar. Gak ada si Bayu.”

Adit menarik lengan dan menyeretku ke ruang tamu. Disana sudah duduk Bayu dan kedua orang tuanya, serta pak RT dan beberapa warga.

“Ini mau rapat tujuh belasan ya? Kok disini, tumben?”

Bayu membuang nafas dan membuang muka. Dia terlihat malas sekali menatap wajahku.

“Duduk.” Adit mendorong tubuhku ke sofa.

Aku mendongak menatap Adit, “Gue belum cuci muka.”

“Gak usah cuci muka. Muka lo juga tetep gitu kalo di cuci. Diem aja disini, dengerin pak RT ngomong.” cerocos Adit sok galak.

“Eum, Aura...” bukan pak RT yang mulai bicara, melainkan papanya Bayu.

“Iya, om? Om mau jadi ketua RT ya sekarang?”

Semua saling lirik. Setelah dipikir-pikir pertanyaanku ternyata sedikit Oneng.

“Eum, bukan. Om mau tanya, tadi kamu sama kak Bayu ke taman komplek depan?”

“Iya, om. Kita abis makan Siomay disana. Enak banget. Kayaknya pedagang baru deh. Pedagang lama kentangnya kecil-kecil, yang tadi agak gede. Nanti aku beliin deh buat om sama tante.”

Adit menutup wajahnya dengan kasar. Kenapa ya?

“Ra, langsung aja, tadi... kalian buang bayi ‘kan di taman komplek?” tanya mama Bayu hati-hati.

Aku mengangguk. Wajah yang masih tertempel masker Mugwort berwarna hijau membuatku terlihat seperti Fiona istri kartun Shrek, “Itu bayi habis nangis terus, tante. Jadi aku sama kak... Bayu taro aja disana.”

Semua orang kecuali Bayu dan Adit mengucap istigfar bersamaan.

“Ra, tapi itu ‘kan anak kalian. Kenapa kalian buang bayi itu?”

Aku menatap Bayu yang pasti sudah mendengar tuduhan itu, “Tapi, tan, itu bukan anak aku sama kak Bayu. Kita nemu bayi itu di semak-semak. Iya ‘kan, kak?”

Bayu tak menjawab apapun. Entah dia congean atau memang suaraku tak menembus telinganya.

Papa Bayu mencondongkan badannya, “Aura, kita sama sekali gak marah kok sama kalian. Kita cuma mau tahu kronologi sebenarnya seperti apa. Mulai dari kapan kamu hamil, melahirkan, dan... alasan kalian membuang bayi itu.”

Aku membeku beberapa detik. Aku dituduh kumpul kebo dengan si Bayu? Yang benar saja. Seperti tidak ada cowok lain yang lebih keren yang bisa ku ajak untuk punya anak bersama.

Papa dan mama Bayu saling lirik. Sedangkan anak tunggalnya itu hanya duduk pasrah. Aku sangat ingin menjitaknya.

“Ra, kalau kamu belum siap menjawab pertanyaan om gak papa. Tante... cuma minta kamu sama kak Bayu segera menikah dan merawat bayi itu sama-sama.”

Aku berdiri, “Tante—bayi itu bukan anak kita. Itu anak.... orang lain, gak tahu siapa orangnya.”

Adit mendorongku untuk kembali duduk.

“Om, tante, sama bapak-bapak semua kenapa bisa tuduh bayi itu anak aku sama kak Bayu?”

Pak RT menyodorkan ponselnya, “Kami lihat di rekaman CCTV. Coba kamu lihat dulu.”

Aku menerima ponsel pak RT. Aku dan Adit sama-sama melihat rekaman itu. Jelas aku ingat betul dengan adegan ini. Ya jelas, karena masih hangat-hangatnya.

“Om, tante, ini... ini tuh rekaman pas kita taro bayinya balik. Sebelumnya kita ambil bayi itu kondisinya langit masih terang. Ada pedagang Siomay juga kok disini. Ini mana, kok gak ada yang jualan Siomaynya?”

“Itu satu-satunya yang terekam CCTV. Kami tidak menemukan rekaman lain.” sanggah pak RT.

Aku menjerit, “Itu bukan anak kitaaaa! Bay, ngomong dong!”

Bayu terlihat ingin bicara tapi selalu tidak jadi. Entah kenapa dia hanya menarik dan membuang nafas seperti orang bengek.

“Aura, bayi itu mirip sekali sama Bayu.” tutur papa Bayu.

“Om, itu berarti anaknya kak Bayu ‘kan, bukan anak aku?”

“Tapi Bayu gak mungkin mengandung.” Mama Bayu menambahkan.

Aku melirik Adit, “Dit, bantuin kek, diem aja kayak kena Malaria.”

“Gue kaget, Di.”

Aku menangis, “Pokoknya itu bukan anak aku!”

Aku berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam seperti tadi. Beberapa detik kemudian aku kembali membuka pintu.

“Kemana?” tanya Adit.

“Cuci muka, gatel.” aku berjalan cepat menuju dapur.

Mama dan papa Bayu terdengar berunding bersama perwakilan warga dan pak RT.

Aku mencuci cepat mukaku yang perih karena tertahan beberapa menit dari waktu yang ditentukan untuk di bilas. Aku menangis menatap cermin diatas westafel.

“Semua gara-gara si Bayu. Kalo aja tadi dia gak ngajak makan di taman komplek, kita pasti gak akan nemuin bayinya. Emang si Bayu bule itu pembawa sial!”

Tok-Tok-Tok

“Ra,” suara Adit diluar tampak khawatir padaku.

Aku cepat-cepat menyeka wajahku untuk menyamarkan mata dan hidung merah ini. Ku buka pintu kamar mandi dan kini sudah berdiri dua mahluk yang doyan menyusahkanku.

“Apa?” tanyaku galak.

“Ada apa sih? Kok gue bingung sama apa yang terjadi.”

“Gue aja yang jelasin,” si Bayu akhirnya bicara juga, “Jadi tadi waktu gue pulang bareng sama adek lo, kita melipir dulu ke taman komplek. Lagi makan Siomay kita nemuin bayi. Gue udah usul buat bawa bayi itu ke panti asuhan, tapi gue gak tega. Kita bawa ke kantor polisi tapi ternyata kita harus tetep urus bayinya. Si Aura ngasih ide katanya taro aja balik di semak. Sialnya mungkin CCTVnya lagi eror dan baru rekam pasti kita taro, bukan pas kita nemu bayinya pertama kali.”

Adit menggeleng tampak iba, “Emang sial sih kalian.”

“Tapi... ada kabar baiknya. Dan gue tahu kalian bakal suka sama kabar baik ini.”

“Apa kabar baiknya?” Adit menggosok tangannya tak sabar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status