Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore.
“Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.” Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.” “Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.” “Tapi kasian, Ra.” “Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.” Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.” “Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.” Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus. Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki ajaran baru kelas dua belas. Usiaku menginjak sembilan belas tahun. Memang agak tua dari siswa lain karena pernah berhenti selama satu tahun ketika harus menemani ibu yang baru ditinggal lelaki keparat yang terpaksa harus ku panggil ayah. Aku delapan tahun lebih muda dari kakakku, tapi pikiranku jauh lebih dewasa dari Aditya, kakak satu-satunya yang ku punya. Kami tinggal hanya berdua disini. Ibu harus bekerja di Surabaya, membesarkan pabrik roti milik keluarga setelah ayah dengan kampret meninggalkan keluarga kecil kami demi perempuan yang lebih muda. Aku menutup buku paket dan buku tulis mata pelajaran Biologi lalu menatap jendela kamar yang terbuka, menyuguhkan daun pohon Ketapang bergerak terkena angin. “Si bayi merah udah ada yang bawa belum ya? Kasian.” Drrrrrt~ Drrrrrt~ “Siapa sih malem-malem gini?” aku mengangkat ponsel yang tergeletak di meja belajar, “Si Adit?” Dor-Dor-Dor Aku melihat pintu kamarku bergetar. Aku bangkit dari kursi belajar dan mematikan musik. Dengan cepat ku buka putaran kunci dan menatap bingung pada Adit yang menampilkan wajah menahan marah, “Apaan sih? Gue lagi belajar.” “Lo ngelakuin apa sama si Bayu?” “Gue bilang gue lagi belajar, Dit. Sendirian di kamar. Gak ada si Bayu.” Adit menarik lengan dan menyeretku ke ruang tamu. Disana sudah duduk Bayu dan kedua orang tuanya, serta pak RT dan beberapa warga. “Ini mau rapat tujuh belasan ya? Kok disini, tumben?” Bayu membuang nafas dan membuang muka. Dia terlihat malas sekali menatap wajahku. “Duduk.” Adit mendorong tubuhku ke sofa. Aku mendongak menatap Adit, “Gue belum cuci muka.” “Gak usah cuci muka. Muka lo juga tetep gitu kalo di cuci. Diem aja disini, dengerin pak RT ngomong.” cerocos Adit sok galak. “Eum, Aura...” bukan pak RT yang mulai bicara, melainkan papanya Bayu. “Iya, om? Om mau jadi ketua RT ya sekarang?” Semua saling lirik. Setelah dipikir-pikir pertanyaanku ternyata sedikit Oneng. “Eum, bukan. Om mau tanya, tadi kamu sama kak Bayu ke taman komplek depan?” “Iya, om. Kita abis makan Siomay disana. Enak banget. Kayaknya pedagang baru deh. Pedagang lama kentangnya kecil-kecil, yang tadi agak gede. Nanti aku beliin deh buat om sama tante.” Adit menutup wajahnya dengan kasar. Kenapa ya? “Ra, langsung aja, tadi... kalian buang bayi ‘kan di taman komplek?” tanya mama Bayu hati-hati. Aku mengangguk. Wajah yang masih tertempel masker Mugwort berwarna hijau membuatku terlihat seperti Fiona istri kartun Shrek, “Itu bayi habis nangis terus, tante. Jadi aku sama kak... Bayu taro aja disana.” Semua orang kecuali Bayu dan Adit mengucap istigfar bersamaan. “Ra, tapi itu ‘kan anak kalian. Kenapa kalian buang bayi itu?” Aku menatap Bayu yang pasti sudah mendengar tuduhan itu, “Tapi, tan, itu bukan anak aku sama kak Bayu. Kita nemu bayi itu di semak-semak. Iya ‘kan, kak?” Bayu tak menjawab apapun. Entah dia congean atau memang suaraku tak menembus telinganya. Papa Bayu mencondongkan badannya, “Aura, kita sama sekali gak marah kok sama kalian. Kita cuma mau tahu kronologi sebenarnya seperti apa. Mulai dari kapan kamu hamil, melahirkan, dan... alasan kalian membuang bayi itu.” Aku membeku beberapa detik. Aku dituduh kumpul kebo dengan si Bayu? Yang benar saja. Seperti tidak ada cowok lain yang lebih keren yang bisa ku ajak untuk punya anak bersama. Papa dan mama Bayu saling lirik. Sedangkan anak tunggalnya itu hanya duduk pasrah. Aku sangat ingin menjitaknya. “Ra, kalau kamu belum siap menjawab pertanyaan om gak papa. Tante... cuma minta kamu sama kak Bayu segera menikah dan merawat bayi itu sama-sama.” Aku berdiri, “Tante—bayi itu bukan anak kita. Itu anak.... orang lain, gak tahu siapa orangnya.” Adit mendorongku untuk kembali duduk. “Om, tante, sama bapak-bapak semua kenapa bisa tuduh bayi itu anak aku sama kak Bayu?” Pak RT menyodorkan ponselnya, “Kami lihat di rekaman CCTV. Coba kamu lihat dulu.” Aku menerima ponsel pak RT. Aku dan Adit sama-sama melihat rekaman itu. Jelas aku ingat betul dengan adegan ini. Ya jelas, karena masih hangat-hangatnya. “Om, tante, ini... ini tuh rekaman pas kita taro bayinya balik. Sebelumnya kita ambil bayi itu kondisinya langit masih terang. Ada pedagang Siomay juga kok disini. Ini mana, kok gak ada yang jualan Siomaynya?” “Itu satu-satunya yang terekam CCTV. Kami tidak menemukan rekaman lain.” sanggah pak RT. Aku menjerit, “Itu bukan anak kitaaaa! Bay, ngomong dong!” Bayu terlihat ingin bicara tapi selalu tidak jadi. Entah kenapa dia hanya menarik dan membuang nafas seperti orang bengek. “Aura, bayi itu mirip sekali sama Bayu.” tutur papa Bayu. “Om, itu berarti anaknya kak Bayu ‘kan, bukan anak aku?” “Tapi Bayu gak mungkin mengandung.” Mama Bayu menambahkan. Aku melirik Adit, “Dit, bantuin kek, diem aja kayak kena Malaria.” “Gue kaget, Di.” Aku menangis, “Pokoknya itu bukan anak aku!” Aku berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam seperti tadi. Beberapa detik kemudian aku kembali membuka pintu. “Kemana?” tanya Adit. “Cuci muka, gatel.” aku berjalan cepat menuju dapur. Mama dan papa Bayu terdengar berunding bersama perwakilan warga dan pak RT. Aku mencuci cepat mukaku yang perih karena tertahan beberapa menit dari waktu yang ditentukan untuk di bilas. Aku menangis menatap cermin diatas westafel. “Semua gara-gara si Bayu. Kalo aja tadi dia gak ngajak makan di taman komplek, kita pasti gak akan nemuin bayinya. Emang si Bayu bule itu pembawa sial!” Tok-Tok-Tok “Ra,” suara Adit diluar tampak khawatir padaku. Aku cepat-cepat menyeka wajahku untuk menyamarkan mata dan hidung merah ini. Ku buka pintu kamar mandi dan kini sudah berdiri dua mahluk yang doyan menyusahkanku. “Apa?” tanyaku galak. “Ada apa sih? Kok gue bingung sama apa yang terjadi.” “Gue aja yang jelasin,” si Bayu akhirnya bicara juga, “Jadi tadi waktu gue pulang bareng sama adek lo, kita melipir dulu ke taman komplek. Lagi makan Siomay kita nemuin bayi. Gue udah usul buat bawa bayi itu ke panti asuhan, tapi gue gak tega. Kita bawa ke kantor polisi tapi ternyata kita harus tetep urus bayinya. Si Aura ngasih ide katanya taro aja balik di semak. Sialnya mungkin CCTVnya lagi eror dan baru rekam pasti kita taro, bukan pas kita nemu bayinya pertama kali.” Adit menggeleng tampak iba, “Emang sial sih kalian.” “Tapi... ada kabar baiknya. Dan gue tahu kalian bakal suka sama kabar baik ini.” “Apa kabar baiknya?” Adit menggosok tangannya tak sabar.“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.” Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.” “Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?” Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini. “Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya. “Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.” “Kok bisa? Elo sih teledor.” Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.” “Kok lo... bisa nangis?” “Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!” Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?” Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati ba
Aku melambaikan tangan ketika mobil ibu bergerak menjauhi pagar rumah. Ibu harus kembali ke Surabaya karena tidak ada pegawai kepercayaan disana. Aku membalikkan badan dan menatap Bayu yang duduk bersebelahan dengan Adit di kursi teras. “Ra,” Bayu berdiri, “Malam ini gue tidur dimana?” “Terserah lo lah.” “Kita—gak satu kamar?” Adit melirik Bayu yang bertanya seperti itu padaku, “Bay, sehat lo?” Bayu menggaruk kepalanya, “Kan gue cuma tanya.” Adit ikut berdiri dan mendorong kami untuk berkumpul di ruang tamu. Setelah menutup pintu, dia duduk dan menatap Bayu serius, “Bay, lo sadar ‘kan pernikahan ini tuh palsu? Kalian di nikahin paksa karena kasus si bayi merah itu?” Bayu mengangguk. “Terus? Kenapa lo pengen satu kamar sama adek gue?” “Kan gue udah bilang gue cuma tanya.” “Lo tidur disini aja, gue suka tidur disini.” Adit memukul sofa yang sedang di dudukkinya. “Tuh bener. Banyak tempat disini. Lo mau tidur sama si Adit juga gak masalah.” kataku menambahkan. Adi
Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah. Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar
“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah
Kedua alis Maira bertaut. Wajahnya seketika pucat seperti habis kena begal. Bedanya dia tidak kehilangan barang apapun, tapi kehilangan kepercayaannya pada si Bayu, mungkin.Maira menatap Bayu, “Ada yang harus aku tahu, Bayu Ananta?”“Sayang, aku—” Bayu melirik Adit memintanya masuk ke dalam kafe agar tidak membuat masalah baru.“Ya udah gue masuk dulu.”Bayu menghampiri Maira yang berdiri didekatku, ia menggenggam tangannya seperti di acara reality show, “Sayang, maaf aku belum sempet kasih tahu. Waktunya gak pas untuk bilang kalo aku sama Aura—”“Udah menikah?”“Pernikahan itu gak beneran kok.”“Oyah? Pernikahan gak beneran itu gimana? Yang jadi penghulunya Adit? Atau gimana?”Bayu melirikku meminta bantuan.Aku yang enggan nyemplung dalam drama seperti ini terpaksa ikut bicara, bagaimaan pun itu melibatkan aku juga, “Kak, gue sama si Ananta cuma nikah pura-pura kok, nikah kontrak gitu. Kita terpaksa nikah karena—ya tahu sendiri warganet tuh suka mitnah sembarangan.”“Tung