“Cuh-Cuh-Cuh!” Bayu membuang ludahnya beberapa kali, “Nyebut lo! Enak aja itu anak gue. Kenapa anak gue ada disana? Harusnya dia ada di rumah sakit lah sama ibunya. Inget ya, Ra, di rumah sakit mewah.”
“Ya mana gue tahu. Gue cuma nebak karena wajahnya mirip lo.” “Emang iya? Bukannya wajahnya mirip lo?” Aku mengangkat hidung dengan jari telunjuk sehingga menampilkan hidung seperti Babi, “Nih, mirip sama gue!” “Udah lo, bercanda terus. Bawa bayinya.” “Kok gue?” “Karena lo... cewek.” “Apa urusannya?” “Bawa! Ngelawan mulu lo sama yang tua.” “Iya-iya. Ngatur mulu. Donatur lo?” Dengan mulut monyong karena menggerutu tidak jelas, aku memangku bayi merah itu. Begitu berhasil membawanya aku menyerahkan bayi itu pada Bayu, “Lo aja nih, masih kenyal banget, geli gue.” “Lo kata Yupi?” Bayu mengambil alih bayi yang terbalut kain bergambar Helikopter berwarna biru itu. Dia yang memang suka anak kecil, tersenyum menatap wajah bayi itu yang mendadak diam ketika digendongnya, “Halo.” “Cie menyapa anak.” Bayu melirikku marah, “Ra, apaan sih?” “Bercanda.” aku kembali ke tembok bawah pohon Mangga untuk memakan Siomay yang masih ada setengah porsi lagi. “Ra, bisa-bisanya ya lo makan. Gak ada empati banget.” hardik Bayu ketus. “Anak juga bukan anak gue, kenapa harus empati? Lagian ‘kan ada elo yang lagi gendong. Mana mungkin ‘kan tuh bayi Thumbelina kita gotong berdua?” Bayu tak memerdulikkan ucapan dan kegiatanku yang malah asik makan. “Oaaaaak-oaaaak.” “Cup-cup-cup, tenang ya, sayang.” “Oaaaak-oaaaak.” Bayu kembali melirikku, “Lo gak akan berinisiatif buat bantuin gue nenangin nih bayi?” Aku tak menjawab. Aku malah sengaja memakan Siomay dengan penuh penghayatan, “Gila enak banget pentolnya. Berasa makan di Hawaii gue sore-sore begini.” Bapak penjual Siomay berdiri di dekat Bayu, “Ini bayi dari mana, mas?” “Kami nemu di semak-semak, pak. Ini buat bapak aja.” dia menyodorkan bayi mungil yang masih menangis itu. Bapak penjual Siomay menggeleng buru-buru, “Anak saya udah banyak. Buat mas sama adek aja.” “Tapi kami gak bisa ngurusnya, pak.” “Gusti Allah sudah menjadikan kalian penemu pertama bayi itu. Jadi semua pasti ada hikmahnya.” Bayu melirikku yang pura-pura sibuk dengan piring yang sudah kosong, “Ra, lo aja yang urus.” “Gue? Ananta, tolong ya otak lo di pake buat mikir jernih. Di rumah tuh cuma ada gue sama si Adit. Kenapa harus kita yang urus? Lo aja. Di rumah lo ‘kan ada orang tua lo. Lagian ‘kan lo anak tunggal. Kali aja lo kesepian.” “Ya gila kali lo. Kenapa harus gue dan orang tua gue yang urus bayi ini?” “Karena lo suka anak kecil.” Bayu diam sejenak, “Tapi kalo bayi gak bisa.” “Elah, entar juga tuh bayi langsung jadi balita, terus batita, terus toddler. Udah lo aja.” Bayu menggeleng, “Kita taro aja di Panti Asuhan.” “Lo yakin?” *** Sore menjelang magrib, kami berdiri lama di depan gerbang Panti Asuhan yang ramai. Ada banyak anak kecil tengah bermain di halaman depan. “Ra, gue gak jadi deh taro dia disini.” Aku meliriknya. Aku tahu semua ini akan terjadi, “Emang paling bener dia lo bawa aja ke rumah.” “Kita ke Kantor Polisi.” Aku meliriknya lagi, menatap Bayu lalu bayi yang tengah tidur dipangkuannya, “Anak ini bukan penjahat, kenapa lo bawa dia kesana?” “Kita bikin laporan penemuan bayi. Yuk. Lo lagi yang nyetir.” Mobil melaju pelan menuju kantor polisi terdekat. Aku sudah lelah, tapi tidak mungkin dengan egois aku pulang begitu saja padahal bayi itu ditemukan bersama. “Tiap gue pulang bareng sama lo ada aja kejadian diluar nurul.” kataku dengan suara pelan. Bayu menoleh, “Gue juga ngerasa gitu.” “Kalo gue lagi sendiri gak ada ya, Ta. Hidup gue selalu tenang, terjadi sesuai rencana. Kalo sama lo—suram. Gara-gara arti nama lo tuh!” “Nama lagi. Lo tuh sentimen banget sih sama nama gue.” “Turun!” “Ra, ini mobil gue ya!” bentak Bayu. “Itu kantor polisinya mumpung masih buka, lo buruan bikin laporan.” “Lah udah sampe ternyata.” Bayu keluar dari mobil. Sadar keluar hanya sendiri, dia membungkuk meneriaki ku, “Ra, buru lah. Masuk sendiri berasa jadi duda gembel tahu gak.” “Banyak mau lo!” aku terpaksa keluar dari mobil dan ikut masuk ke dalam kantor polisi. Kami berjalan melewati meja jaga. “Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?” Bayu melirikku, “Lo deh yang ngomong.” “Mulut lo kenapa? Kenapa harus gue yang ngomong?” “Ra, ayo dong.” Aku membuang nafas perlahan, “Kami mau bikin laporan penemuan bayi, pak.” Personel polisi itu melirik wajah kami silih berganti dengan curiga. “Kami bukan orang tua bayinya, pak. Suer.” Bayu mengangkat tangan membentuk hurup V dengan panik. “Penemuan bayi?” “Iya, kami nemu di semak-semak taman komplek Jalan Peganggsaan Dua.” Polisi itu diam sejenak, “Bukan anak kalian?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Tolong siapkan berkas-berkasnya, foto bayi dan nomor telepon yang bisa dihubungi.” “Terus untuk sementara bayi ini tinggal disini ‘kan, pak?” Polisi itu mengedarkan matanya ke sekeliling. Aku dan Bayu mengikutinya, “Kalian tega membiarkan bayi itu disini?” Kami saling lirik. “Untuk sementara kalian saja yang urus, menunggu orang tua aslinya atau ada orang yang bersedia mengadopsi menjemput.” “Tapi, pak—” Bayu berusaha protes, “Baik, pak.” Aku melotot, tak habis pikir kenapa Bayu begitu mudah pasrah pada keadaan. Karena marah dengan keputusan yang dia ambil sendiri, aku keluar lebih dulu menunggunya yang berjalan sepelan Siput didepan mobil, “Bay!” “Lo udah inget nama depan gue?” “Udah gak usah bahas nama. Lo—serius mau urus bayinya?” “Ya iya lah. Kalo bukan kita siapa lagi? Lo gak kasian sama bayi ini? Masih merah loh.” "Gue gak peduli warna bayinya apa. Gue ngurus diri sendiri sama si Adit aja masih kerepotan. Dan sekarang ada bayi itu. Lo aja yang ngurus. Gue masih sekolah, banyak tugas, gue masih mau menikmati masa muda gue dan—” “Gue juga baru kerja, Ra. Gue jadi guru di sekolah lo baru sebulan loh. Gue gak mungkin melalaikan pekerjaan gue demi anak ini.” Aku diam sejenak, berusaha mengambil keputusan dan solusi berupa pilihan ganda di otakku, “Kita--taro balik di semak taman komplek.” “Ra! Gak punya hati banget sih lo!” “Kalo lo gak mau berarti lo yang urus sendiri.” aku masuk ke dalam mobil cepat-cepat karena malas berdebat dengannya. Dari dalam mobil aku bisa melihat Bayu menatap bayi tak berdosa itu dengan tulus. Dalam hati kecilku tentu aku tidak tega. Tapi keputusanku adalah solusi paling tepat untuk diambil. Terus... kenapa si Bayu seperti berat mengambalikkan bayi itu ya?Bayu menangis saat menaruh bayi itu beserta keranjangnya di semak yang pertama kali kami temukan tadi sore. “Pake mewek segala. Itu bukan anak lo, ya, angin.” Bayu menoleh dengan wajah yang memprihatinkan, “Lo emang gak punya hati sebagai ibu tahu gak.” “Karena gue belum jadi ibu. Udah deh, buruan, udah mau magrib nih.” “Tapi kasian, Ra.” “Yaudin lo aja yang urus. Gak usah merayu gue untuk ikut kasian sama dia. Hidup gue udah sedih ya ditinggal sama bapak gak tahu diri kayak bokapnya si Adit. Masa gue harus berbagi simpati sama bayi yang gak gue kenal ini.” Bayu melepaskan tangannya dari genggaman bayi itu, “Dadah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik disini.” “Pake perpisahan segala, kayak kena eliminasi acara lo.” Bayu tak menggubris ledekanku. Dia bangkit dan masuk ke dalam mobil masih terus menangis dan ber-ingus. Sepulangnya ke rumah, aku menjalani rutinitas malamku, yakni maskeran sambil mendengar musik kencang dan membuat tugas sekolah. Tahun ini aku baru memasuki a
“Kabar baiknya adalah... bokap nyokap bilang kalo gue sama Aura nikah dan mau ngurus bayi itu, mereka akan kasih duit lima belas juta sebulan buat biaya hidup si bayi. Tapi itu judulnya doang. Biaya hidup bayi berapa sih? Kita bisa bagi dua, Ra.” Adit menendang kaki Bayu, “Bagi tiga dong sama gue. Biasa, tarif administratif.” “Oke, kita bagi tiga. Jadi gimana, Ra, lo mau ‘kan terima tawaran ini?” Aku tak menjawab. Aku mati-matiam menahan air mata agar tidak turun didepan dua mahluk ini. “Di, lo nangis? Mata lo merah semenjak keluar dari kamar mandi.” Adit kaget karena baru kali ini dia melihat adiknya menangis didepannya. “Bukan, mata gue kemasukan facial wash tadi.” “Kok bisa? Elo sih teledor.” Bayu menggebug lengan Adit, “Beneran nangis dia.” “Kok lo... bisa nangis?” “Gue manusia ya, Dit, emang elo Dinosaurus!” Bayu melerai pertengkaran aneh adik kakak ini, “Ra, to the point aja, lo mau ‘kan nikah sama gue?” Hidung bangirku kembang kempis, “Gak punya empati ba
Aku melambaikan tangan ketika mobil ibu bergerak menjauhi pagar rumah. Ibu harus kembali ke Surabaya karena tidak ada pegawai kepercayaan disana. Aku membalikkan badan dan menatap Bayu yang duduk bersebelahan dengan Adit di kursi teras. “Ra,” Bayu berdiri, “Malam ini gue tidur dimana?” “Terserah lo lah.” “Kita—gak satu kamar?” Adit melirik Bayu yang bertanya seperti itu padaku, “Bay, sehat lo?” Bayu menggaruk kepalanya, “Kan gue cuma tanya.” Adit ikut berdiri dan mendorong kami untuk berkumpul di ruang tamu. Setelah menutup pintu, dia duduk dan menatap Bayu serius, “Bay, lo sadar ‘kan pernikahan ini tuh palsu? Kalian di nikahin paksa karena kasus si bayi merah itu?” Bayu mengangguk. “Terus? Kenapa lo pengen satu kamar sama adek gue?” “Kan gue udah bilang gue cuma tanya.” “Lo tidur disini aja, gue suka tidur disini.” Adit memukul sofa yang sedang di dudukkinya. “Tuh bener. Banyak tempat disini. Lo mau tidur sama si Adit juga gak masalah.” kataku menambahkan. Adi
Semalam aku dan Bayu pulang atas perintah orang tuanya, dan Adit berjaga disana setelah mendonorkan darah. Pagi ini aku masak seperti biasa. Agar simple aku hanya memasak nasi goreng dan menyimpannya segera di meja. “Apa lo liat-liat? Gak pernah liat bidadari masak nasi goreng?” “Dih, bidadari apaan pake baju Monokurobo.” katanya dengan santai mengambil nasi dari mangkuk besar yang baru kusimpan. “Harusnya ‘kan kemaren lo ngadain tes bahasa Prancis, tapi lo malah gak dateng, jadinya tesnya mau kapan?” tanyaku masih berdiri diujung meja. “Gue gak dateng ke sekolah ‘kan karena kawin sama lo. Dan soal tes, itu... rahasia lah, enak aja lo tahu. Nanti lo ngasih tahu genk senk lo itu lagi.” Aku menaikkan bibir kiri atasku, “Gak mau rugi banget sih, orang nanya doang.” “Tes dadakkan lebih seru.” Aku masuk kamar untuk mengganti baju. Ku kunci pintu kamarku agar lebih leluasa. Aku memakai seragam sekolah dengan cepat sambil memoles liptint dan bedak tipis-tipis. Aku memutar
“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik. “Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat
Papa melirik jam tangannya, “Saya ada rapat. Kalian masuk kelas ya, ini belum jam istirahat ‘kan?” “Iya, pak. Kami mau ke toilet dulu.” jawab Nadia mewakili. “Oh iya. Kalau begitu saya duluan.” “Pak Bayu, kok mukanya merah?” tanya Nadia setelah papa pergi. Bayu menggeleng, “Nggak, ini cuma—panas aja.” “Oh. Soal cucu—” “Ayo ikut gue.” aku menarik tubuh Nadia, karena kalau dibiarkan persoalan akan semakin panjang. “Ra, kita ‘kan belum kasih tahu cucu itu artinya Curut, sama pak Bayu.” “Gak usah dikasih tahu, biarin aja.” Nadia melirik seisi kelas, “Kok kita disini? Bukannya lo mau ke toilet?” Aku menggeleng. Ponsel di saku bajuku bergetar pendek. Ketika ku lihat, itu pesan dari Bayu. Ia menanyakan perihal cucu. Ku balas cepat, sekalian meminta tolong padanya. Semoga kali ini ia bisa membantuku. *** Aku duduk sendiri di meja kantin. Tadi aku datang bersama Nadia. Tapi setelah berapa lama ia pergi dan mengatakan tak ingin menggaguku dengan Sean. Soal begituan saja
Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada. Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah. “Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal. “Elo? Kok ada disini?” “Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.” “Mulai deh jumawanya. Ayo balik.” “Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.” Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.” Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?” “Ngggggg, gak papa.” “Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.” Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu. “Lo kalo mau bareng
Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku. Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbah