Share

2. Hari Sial

“Cuh-Cuh-Cuh!” Bayu membuang ludahnya beberapa kali, “Nyebut lo! Enak aja itu anak gue. Kenapa anak gue ada disana? Harusnya dia ada di rumah sakit lah sama ibunya. Inget ya, Ra, di rumah sakit mewah.”

“Ya mana gue tahu. Gue cuma nebak karena wajahnya mirip lo.”

“Emang iya? Bukannya wajahnya mirip lo?”

Aku mengangkat hidung dengan jari telunjuk sehingga menampilkan hidung seperti Babi, “Nih, mirip sama gue!”

“Udah lo, bercanda terus. Bawa bayinya.”

“Kok gue?”

“Karena lo... cewek.”

“Apa urusannya?”

“Bawa! Ngelawan mulu lo sama yang tua.”

“Iya-iya. Ngatur mulu. Donatur lo?”

Dengan mulut monyong karena menggerutu tidak jelas, aku memangku bayi merah itu. Begitu berhasil membawanya aku menyerahkan bayi itu pada Bayu, “Lo aja nih, masih kenyal banget, geli gue.”

“Lo kata Yupi?” Bayu mengambil alih bayi yang terbalut kain bergambar Helikopter berwarna biru itu. Dia yang memang suka anak kecil, tersenyum menatap wajah bayi itu yang mendadak diam ketika digendongnya, “Halo.”

“Cie menyapa anak.”

Bayu melirikku marah, “Ra, apaan sih?”

“Bercanda.” aku kembali ke tembok bawah pohon Mangga untuk memakan Siomay yang masih ada setengah porsi lagi.

“Ra, bisa-bisanya ya lo makan. Gak ada empati banget.” hardik Bayu ketus.

“Anak juga bukan anak gue, kenapa harus empati? Lagian ‘kan ada elo yang lagi gendong. Mana mungkin ‘kan tuh bayi Thumbelina kita gotong berdua?”

Bayu tak memerdulikkan ucapan dan kegiatanku yang malah asik makan.

“Oaaaaak-oaaaak.”

“Cup-cup-cup, tenang ya, sayang.”

“Oaaaak-oaaaak.”

Bayu kembali melirikku, “Lo gak akan berinisiatif buat bantuin gue nenangin nih bayi?”

Aku tak menjawab. Aku malah sengaja memakan Siomay dengan penuh penghayatan, “Gila enak banget pentolnya. Berasa makan di Hawaii gue sore-sore begini.”

Bapak penjual Siomay berdiri di dekat Bayu, “Ini bayi dari mana, mas?”

“Kami nemu di semak-semak, pak. Ini buat bapak aja.” dia menyodorkan bayi mungil yang masih menangis itu.

Bapak penjual Siomay menggeleng buru-buru, “Anak saya udah banyak. Buat mas sama adek aja.”

“Tapi kami gak bisa ngurusnya, pak.”

“Gusti Allah sudah menjadikan kalian penemu pertama bayi itu. Jadi semua pasti ada hikmahnya.”

Bayu melirikku yang pura-pura sibuk dengan piring yang sudah kosong, “Ra, lo aja yang urus.”

“Gue? Ananta, tolong ya otak lo di pake buat mikir jernih. Di rumah tuh cuma ada gue sama si Adit. Kenapa harus kita yang urus? Lo aja. Di rumah lo ‘kan ada orang tua lo. Lagian ‘kan lo anak tunggal. Kali aja lo kesepian.”

“Ya gila kali lo. Kenapa harus gue dan orang tua gue yang urus bayi ini?”

“Karena lo suka anak kecil.”

Bayu diam sejenak, “Tapi kalo bayi gak bisa.”

“Elah, entar juga tuh bayi langsung jadi balita, terus batita, terus toddler. Udah lo aja.”

Bayu menggeleng, “Kita taro aja di Panti Asuhan.”

“Lo yakin?”

***

Sore menjelang magrib, kami berdiri lama di depan gerbang Panti Asuhan yang ramai. Ada banyak anak kecil tengah bermain di halaman depan.

“Ra, gue gak jadi deh taro dia disini.”

Aku meliriknya. Aku tahu semua ini akan terjadi, “Emang paling bener dia lo bawa aja ke rumah.”

“Kita ke Kantor Polisi.”

Aku meliriknya lagi, menatap Bayu lalu bayi yang tengah tidur dipangkuannya, “Anak ini bukan penjahat, kenapa lo bawa dia kesana?”

“Kita bikin laporan penemuan bayi. Yuk. Lo lagi yang nyetir.”

Mobil melaju pelan menuju kantor polisi terdekat. Aku sudah lelah, tapi tidak mungkin dengan egois aku pulang begitu saja padahal bayi itu ditemukan bersama.

“Tiap gue pulang bareng sama lo ada aja kejadian diluar nurul.” kataku dengan suara pelan.

Bayu menoleh, “Gue juga ngerasa gitu.”

“Kalo gue lagi sendiri gak ada ya, Ta. Hidup gue selalu tenang, terjadi sesuai rencana. Kalo sama lo—suram. Gara-gara arti nama lo tuh!”

“Nama lagi. Lo tuh sentimen banget sih sama nama gue.”

“Turun!”

“Ra, ini mobil gue ya!” bentak Bayu.

“Itu kantor polisinya mumpung masih buka, lo buruan bikin laporan.”

“Lah udah sampe ternyata.” Bayu keluar dari mobil. Sadar keluar hanya sendiri, dia membungkuk meneriaki ku, “Ra, buru lah. Masuk sendiri berasa jadi duda gembel tahu gak.”

“Banyak mau lo!” aku terpaksa keluar dari mobil dan ikut masuk ke dalam kantor polisi.

Kami berjalan melewati meja jaga.

“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?”

Bayu melirikku, “Lo deh yang ngomong.”

“Mulut lo kenapa? Kenapa harus gue yang ngomong?”

“Ra, ayo dong.”

Aku membuang nafas perlahan, “Kami mau bikin laporan penemuan bayi, pak.”

Personel polisi itu melirik wajah kami silih berganti dengan curiga.

“Kami bukan orang tua bayinya, pak. Suer.” Bayu mengangkat tangan membentuk hurup V dengan panik.

“Penemuan bayi?”

“Iya, kami nemu di semak-semak taman komplek Jalan Peganggsaan Dua.”

Polisi itu diam sejenak, “Bukan anak kalian?”

Aku dan Bayu menggeleng keras-keras.

“Tolong siapkan berkas-berkasnya, foto bayi dan nomor telepon yang bisa dihubungi.”

“Terus untuk sementara bayi ini tinggal disini ‘kan, pak?”

Polisi itu mengedarkan matanya ke sekeliling. Aku dan Bayu mengikutinya, “Kalian tega membiarkan bayi itu disini?”

Kami saling lirik.

“Untuk sementara kalian saja yang urus, menunggu orang tua aslinya atau ada orang yang bersedia mengadopsi menjemput.”

“Tapi, pak—” Bayu berusaha protes, “Baik, pak.”

Aku melotot, tak habis pikir kenapa Bayu begitu mudah pasrah pada keadaan.

Karena marah dengan keputusan yang dia ambil sendiri, aku keluar lebih dulu menunggunya yang berjalan sepelan Siput didepan mobil, “Bay!”

“Lo udah inget nama depan gue?”

“Udah gak usah bahas nama. Lo—serius mau urus bayinya?”

“Ya iya lah. Kalo bukan kita siapa lagi? Lo gak kasian sama bayi ini? Masih merah loh.”

"Gue gak peduli warna bayinya apa. Gue ngurus diri sendiri sama si Adit aja masih kerepotan. Dan sekarang ada bayi itu. Lo aja yang ngurus. Gue masih sekolah, banyak tugas, gue masih mau menikmati masa muda gue dan—”

“Gue juga baru kerja, Ra. Gue jadi guru di sekolah lo baru sebulan loh. Gue gak mungkin melalaikan pekerjaan gue demi anak ini.”

Aku diam sejenak, berusaha mengambil keputusan dan solusi berupa pilihan ganda di otakku, “Kita--taro balik di semak taman komplek.”

“Ra! Gak punya hati banget sih lo!”

“Kalo lo gak mau berarti lo yang urus sendiri.” aku masuk ke dalam mobil cepat-cepat karena malas berdebat dengannya.

Dari dalam mobil aku bisa melihat Bayu menatap bayi tak berdosa itu dengan tulus. Dalam hati kecilku tentu aku tidak tega. Tapi keputusanku adalah solusi paling tepat untuk diambil.

Terus... kenapa si Bayu seperti berat mengambalikkan bayi itu ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status