Niko duduk di kursi empuk di kantornya, memandang tumpukan dokumen yang ada di meja. Dia adalah wakil manajer di perusahaan milik ayah mertuanya, tapi dia lebih sering memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi daripada menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
Padahal, dulu saat masih berstatus mahasiswa dia adalah orang yang ulet dan pekerja keras, tetapi setelah masuk ke dunia kerja, semuanya berubah. Entah karena itu memang sifat aslinya atau karena jabatan dan uang mengubah hidupnya. Niko beranggapan bahwa perusahaan ini membutuhkannya dan apa pun yang dilakukannya, tak akan mempengaruhi posisinya. Pintu ruangannya terbuka pelan dan seorang gadis berusia dua puluh tahunan masuk dengan membawa laporan yang diminta oleh Niko. Aroma parfum floral yang dikenakan gadis itu segera memenuhi ruangan, membuat Niko menyeringai tipis. “Pak Niko, ini laporan yang Bapak minta,” katanya dengan suara lembut sambil menyerahkan berkas tersebut. Niko menatap gadis itu dengan senyum penuh arti. Floren, dengan kecantikan yang masih segar, mengingatkannya pada masa-masa kuliah dulu dan juga saat awal bertemu dengan istrinya. Sayangnya, sekarang istrinya tak lagi segar seperti Florem melainkan sudah swpwrti bunga yang layu setelah dipetik. “Terima kasih, Flo. Kamu benar-benar cepat belajar,” puji Niko sambil menerima laporan itu. Floren tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca seolah dia baru saja memenangkan jackpot. "Semua ini berkat bimbingan Pak Niko. Makanya saya jadi cepat belajar." Niko berdiri dari kursinya, berjalan mengitari meja, lalu berdiri di samping Floren. “Apa sih yang tidak untuk gadis manis sepertimu," ucap Niko sambil meraih rambut panjang Floren lalu mengendusnya dalam-dalam. "Pak Niko ada waktu malam ini? Bagaimana kalau kita pergi dinner?" tanya gadis itu dengan pandangan yang intens. Niko tersenyum kecil, meletakkan tangannya di bahu Floren. "Tentu saja. Mau makan malam di restoran atau di apartemenmu seperti biasa?" Gadis itu mendekatkan bibirnya ke telinga Niko dan berbisik, "Bagaimana kalau di restoran, setelah itu kita pulang ke apartemen?" "Ide yang bagus," balas Niko yang ikut berbisik, lalu meraih pinggang gadis itu agar menempel pada tubuhnya. Hawa panas dari tubuh Floren terasa di kulitnya, memicu hasrat yang sudah lama dipendam. Untuk sesaat mereka hanya saling pandang dengan napas yang semakin berat. Floren menggigit bibirnya sedikit, memberikan isyarat yang tak mungkin diabaikan. Tanpa menunggu lebih lama, Niko menundukkan wajahnya dan bibir mereka pun bertemu dalam ciuman yang penuh gairah. Niko sedang asyik bercumbu dengan Floren di sudut ruang kantornya langsung mematung saat tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Kedua tubuh yang semula saling melekat itu segera terpisah dengan cepat. "Sialan! Siapa sih yang datang saat penting begini?" gerutu Niko kesal. "Tunggu sebentar, Sayang," bisik Niko tergesa-gesa dengan wajahnya berubah pucat. Floren buru-buru merapikan bajunya yang sedikit berantakan, sambil menahan napas. Ia berharap tidak ada yang melihat keadaan mereka barusan. Niko, sambil merapikan dasinya dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri, berjalan ke arah pintu. Saat pintu dibuka, wajah Niko langsung berubah lega ketika melihat siapa yang datang. Itu hanya salah satu staf biasa yang mengantarkan dokumen lainnya. "Maaf mengganggu, Pak. Ini laporan tambahan yang diminta oleh Bu Lika kemarin. Katanya serahkan saja pada Pak Niko untuk diperiksa," kata staf tersebut dengan nada datar. Niko mengambil dokumen itu sambil memaksakan senyum. "Terima kasih," jawab Niko mengambil dokumen itu dari tangan bawahannya. Staf tersebut mengangguk, sedikit curiga melihat ekspresi Niko yang tampak tegang. Namun, dia tidak berkomentar apa pun dan segera pergi. Setelah pintu tertutup, Niko menoleh ke arah Floren yang masih berdiri di sudut ruangan, matanya memancarkan campuran perasaan lega dan kegelisahan. "Astaga, hampir saja," desis Floren sambil merapikan rambutnya sekali lagi. "Sekarang keluarlah, Sayang. Orang-orang akan curiga kalau kamu terlalu lama di sini." Floren tidak membantah. Sekali lagi dia memagut bibir pria itu dan memeluknya dengan erat sebelum keluar dari ruangan Niko.Floren melangkah kembali ke mejanya dengan hati-hati, menjaga agar ekspresinya tetap tenang seolah tidak ada yang terjadi. Dia tidak ingin rekan-rekannya mencurigai apa pun. Begitu sampai di mejanya, dia langsung menyalakan komputer dan mulai mengetik, mencoba terlihat sibuk.“Flo, kenapa lama sekali di ruang Pak Niko tadi?” tanya Gigi, teman sekantornya yang duduk di sebelahnya. Mereka adalah sama-sama anak magang yang sudah enam bulan berada di sini. Gigi adalah tipe gadis yang selalu penasaran dengan hal-hal kecil dan kali ini tidak berbeda. “Aku kira kamu cuma mau kasih laporan, kok bisa lama banget?”Floren tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. “Oh, tadi aku langsung ke toilet setelah itu. Sempat antre sedikit di sana,” jawabnya dengan santai. Dia berharap alasan itu cukup untuk menghentikan rasa penasaran Gigi.Namun, tak jauh dari mereka, Luna, seorang gadis yang juga bekerja di kantor itu, mendengar percakapan mereka. Ada sesuatu yang terasa janggal baginya. Barusan dia d
Masa kecil Niko tidaklah mudah. Sejak usianya baru menginjak 10 tahun, dia sudah harus merasakan kehilangan yang mendalam ketika ayahnya meninggal dunia. Ayahnya, yang merupakan seorang pegawai negeri, meninggalkan Niko dan ibunya hanya dengan uang pensiunan yang tidak seberapa. Ibunya, yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, selalu menekankan pentingnya pendidikan pada Niko. “Hanya dengan pendidikan, kamu bisa keluar dari kemiskinan ini,” kata ibunya setiap kali Niko merasa putus asa. Niko dikenal sebagai anak yang baik dan pintar di lingkungan tempat tinggalnya yang sederhana. Kecerdasannya membuatnya berhasil mendapatkan beasiswa penuh di universitas. Namun, ketika dia mulai kuliah, realita hidup di dunia yang lebih luas mulai terasa kejam. Status sosialnya sebagai anak dari keluarga miskin menjadi bahan cemoohan bagi beberapa teman sekelasnya. Mereka menghina pakaian sederhana Niko, mengolok-olok sepatu yang selalu sama setiap harinya, dan merendahkan mimpi
"Hanya ini saja makanan untuk sarapan?" keluh Mona, mertua Adel yang cerewetnya minta ampun begitu melihat apa yang disiapkan menantunya untuk sarapan."Iya, Mam," jawab Adel sambil memanggang roti satu persatu lalu menaruhnya di atas piring lalu memindahkannya dari meja dapur ke meja makan.Pagi itu, dapur keluarga Fredrik yang sempit dipenuhi aroma roti panggang dan bacon yang baru saja matang. Adel dengan cekatan menyiapkan piring-piring sarapan di atas meja makan. Matahari baru saja terbit, dan cahaya lembutnya menerobos masuk melalui jendela kecil tanpa tirai, memberikan kesan hangat pada ruangan itu. Namun, di balik kehangatan pagi itu, Adel merasakan dinginnya tatapan tajam seorang perempuan paruh baya yang ditujukan padanya.Mona, ibu mertua Adel, duduk dengan angkuhnya di kursi ujung meja makan. Wajahnya yang selalu tegang kini tampak lebih keras dari biasanya. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah menantunya, Mona mulai berbicara dengan nada yang dingin dan penuh dengan penghina
"Ada apa ini? Kenapa selalu ribut setiap hari?" tanya Niko yang dengan langkah berat melangkah masuk ke dapur. Wajahnya tampak tidak sabar dan matanya langsung tertuju pada sarapan yang tersaji di meja. Seperti setiap pagi, meja tersebut penuh dengan roti panggang dan bacon—menu yang sama setiap paginya. Lelaki itu merasa bosan karena menu sarapan itu-itu saja, sama seperti rasa bosannya pada istrinya yang semakin hari semakin tidak menarik dan menyakiti penglihatannya. Dia heran, bagaimana bisa seorang wanita bisa lusuh seperti itu. Bukan hanya wajahnya saja yang kusam, tetapi semua baju yang dipakainya. Benar-benar sangat berbeda dengan para wanita di luar sana. Kadang-kadang Niko ingin sekali menceraikannya, tapi dia masih memiliki sedikit rasa kasihan terhadap Adel yang dulu berbaik hati membantunya saat Niko masih kuliah. Adel begitu baik padanya, sabar, dan tidak pernah menuntut apa pun. Kadang-kadang, hal di masa lalu itulah yang membuat Niko dilema. Perasaan dulu Adel
"Di keluarga kami, semuanya subur. Lihatlah aku. Punya dua anak yang cantik dan tampan!" lanjut Mona lagi setelah menghabiskan dua piring sarapan. Satu miliknya sendiri dan satunya lagi milik Niko yang tidak dimakan. Dia berpikir lebih baik dimakan sendiri daripada dimakan oleh menantunya. Melihat Adel diam saja dalam kebimbangan, Mona membuka mulutnya lagi dengan ketus. "Atau jangan-jangan kamu mandul? Makanya gak hami-hamil?"Adel yakin dia tidak mandul dan sangat subur. Namun, bagaimana suburnya dia kalau tak pernah digauli oleh suaminya? Bagaimana seorang bayi bisa tumbuh di rahimnya jika Niko sekarang lama tak menyentuhnya. Wanita itu bahkan lupa kapan terakhir kali dicumbu oleh suaminya sendiri. "Good morning, Mam," sapa Renata yang baru saja keluar dari kamarnya. "Morning, Darling. Cepatlah makan sarapanmu agar tidak kelaparan di tempat kerja."Renata langsung duduk di kursinya dan menyantap makanan di depannya sambil menggerutu. "Lama-lama aku bisa seperti babi kalau tia
Matahari sudah menyingsing sedikit ke arah barat ketika Adel berjalan menyusuri lorong pasar tradisional dengan keranjang belanjaan di tangannya. Hiruk-pikuk pasar dengan teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya, aroma rempah, dan sayuran segar yang bercampur di udara terasa akrab bagi Adel. Dan dengan uang 50 dollar, sekarang keranjangnya pun penuh dengan belanjaan. Ya, meskipun bukan daging steak seperti yang diinginkan adik iparnya karena uangnya tak akan cukup. Namun, dia berhasil mendapatkan tulang iga yang penuh daging, kentang, wortel, dan juga brokoli. Begitu selesai berbelanja, dia pergi ke sebuah restoran yang cukup mewah di kota Metro. Meski para pelayan dan penjaga restoran itu ramah kepada Adel, tetapi tidak dengan para pengunjung. Semua mata tertuju padanya dengan tatapan risih. Mereka heran bagaimana bisa orang yang dianggap kelas bawah dengan pakaian sangat biasa itu masuk ke restoran yang bagus begini? Rasanya mereka ingin protes ke pihak restoran dan memint
"Sulit menjelaskan pada orang yang tidak pernah jatuh cinta," jawab Adel mengambil buku menu dan memesan semua makanan yang dia inginkan. Satu steak dengan daging asal negeri sakura yang terbaik, pasta dengan saos mentaiko, es teh barley, dan tidak lupa juga tiramitsu sebagai makanan pencuci mulut. Ketika pelayan membawa hidangan pertama yaitu steak dan pasta, Adel menyantapnya dengan semangat. Potongan-potongan daging itu hilang dalam waktu singkat, disusul dengan pasta yang disantapnya tanpa ragu.Lika memperhatikan setiap gerakan Adel, semakin heran dengan apa yang dilihatnya. Adel, yang dulu selalu elegan dan anggun dalam setiap gerakan, kini caranya makan hampir seperti orang yang sudah lama tidak melihat makanan enak. Huh, cinta buta benar-benar mengubah hidup sahabatnya itu."Kenapa tidak ceraikan saja suamimu itu dan kembali ke rumah orangtuamu? Aku yakin mereka mau menerimamu kembali." Adel tidak menjawab. Dia masih fokus pada makanannya, tapi dia tahu kenapa Lika bicara
Masa kecil Niko tidaklah mudah. Sejak usianya baru menginjak 10 tahun, dia sudah harus merasakan kehilangan yang mendalam ketika ayahnya meninggal dunia. Ayahnya, yang merupakan seorang pegawai negeri, meninggalkan Niko dan ibunya hanya dengan uang pensiunan yang tidak seberapa. Ibunya, yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, selalu menekankan pentingnya pendidikan pada Niko. “Hanya dengan pendidikan, kamu bisa keluar dari kemiskinan ini,” kata ibunya setiap kali Niko merasa putus asa. Niko dikenal sebagai anak yang baik dan pintar di lingkungan tempat tinggalnya yang sederhana. Kecerdasannya membuatnya berhasil mendapatkan beasiswa penuh di universitas. Namun, ketika dia mulai kuliah, realita hidup di dunia yang lebih luas mulai terasa kejam. Status sosialnya sebagai anak dari keluarga miskin menjadi bahan cemoohan bagi beberapa teman sekelasnya. Mereka menghina pakaian sederhana Niko, mengolok-olok sepatu yang selalu sama setiap harinya, dan merendahkan mimpi
Floren melangkah kembali ke mejanya dengan hati-hati, menjaga agar ekspresinya tetap tenang seolah tidak ada yang terjadi. Dia tidak ingin rekan-rekannya mencurigai apa pun. Begitu sampai di mejanya, dia langsung menyalakan komputer dan mulai mengetik, mencoba terlihat sibuk.“Flo, kenapa lama sekali di ruang Pak Niko tadi?” tanya Gigi, teman sekantornya yang duduk di sebelahnya. Mereka adalah sama-sama anak magang yang sudah enam bulan berada di sini. Gigi adalah tipe gadis yang selalu penasaran dengan hal-hal kecil dan kali ini tidak berbeda. “Aku kira kamu cuma mau kasih laporan, kok bisa lama banget?”Floren tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. “Oh, tadi aku langsung ke toilet setelah itu. Sempat antre sedikit di sana,” jawabnya dengan santai. Dia berharap alasan itu cukup untuk menghentikan rasa penasaran Gigi.Namun, tak jauh dari mereka, Luna, seorang gadis yang juga bekerja di kantor itu, mendengar percakapan mereka. Ada sesuatu yang terasa janggal baginya. Barusan dia d
Niko duduk di kursi empuk di kantornya, memandang tumpukan dokumen yang ada di meja. Dia adalah wakil manajer di perusahaan milik ayah mertuanya, tapi dia lebih sering memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi daripada menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Padahal, dulu saat masih berstatus mahasiswa dia adalah orang yang ulet dan pekerja keras, tetapi setelah masuk ke dunia kerja, semuanya berubah. Entah karena itu memang sifat aslinya atau karena jabatan dan uang mengubah hidupnya. Niko beranggapan bahwa perusahaan ini membutuhkannya dan apa pun yang dilakukannya, tak akan mempengaruhi posisinya.Pintu ruangannya terbuka pelan dan seorang gadis berusia dua puluh tahunan masuk dengan membawa laporan yang diminta oleh Niko. Aroma parfum floral yang dikenakan gadis itu segera memenuhi ruangan, membuat Niko menyeringai tipis.“Pak Niko, ini laporan yang Bapak minta,” katanya dengan suara lembut sambil menyerahkan berkas tersebut.Niko menatap gadis itu dengan senyum penuh
"Sulit menjelaskan pada orang yang tidak pernah jatuh cinta," jawab Adel mengambil buku menu dan memesan semua makanan yang dia inginkan. Satu steak dengan daging asal negeri sakura yang terbaik, pasta dengan saos mentaiko, es teh barley, dan tidak lupa juga tiramitsu sebagai makanan pencuci mulut. Ketika pelayan membawa hidangan pertama yaitu steak dan pasta, Adel menyantapnya dengan semangat. Potongan-potongan daging itu hilang dalam waktu singkat, disusul dengan pasta yang disantapnya tanpa ragu.Lika memperhatikan setiap gerakan Adel, semakin heran dengan apa yang dilihatnya. Adel, yang dulu selalu elegan dan anggun dalam setiap gerakan, kini caranya makan hampir seperti orang yang sudah lama tidak melihat makanan enak. Huh, cinta buta benar-benar mengubah hidup sahabatnya itu."Kenapa tidak ceraikan saja suamimu itu dan kembali ke rumah orangtuamu? Aku yakin mereka mau menerimamu kembali." Adel tidak menjawab. Dia masih fokus pada makanannya, tapi dia tahu kenapa Lika bicara
Matahari sudah menyingsing sedikit ke arah barat ketika Adel berjalan menyusuri lorong pasar tradisional dengan keranjang belanjaan di tangannya. Hiruk-pikuk pasar dengan teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya, aroma rempah, dan sayuran segar yang bercampur di udara terasa akrab bagi Adel. Dan dengan uang 50 dollar, sekarang keranjangnya pun penuh dengan belanjaan. Ya, meskipun bukan daging steak seperti yang diinginkan adik iparnya karena uangnya tak akan cukup. Namun, dia berhasil mendapatkan tulang iga yang penuh daging, kentang, wortel, dan juga brokoli. Begitu selesai berbelanja, dia pergi ke sebuah restoran yang cukup mewah di kota Metro. Meski para pelayan dan penjaga restoran itu ramah kepada Adel, tetapi tidak dengan para pengunjung. Semua mata tertuju padanya dengan tatapan risih. Mereka heran bagaimana bisa orang yang dianggap kelas bawah dengan pakaian sangat biasa itu masuk ke restoran yang bagus begini? Rasanya mereka ingin protes ke pihak restoran dan memint
"Di keluarga kami, semuanya subur. Lihatlah aku. Punya dua anak yang cantik dan tampan!" lanjut Mona lagi setelah menghabiskan dua piring sarapan. Satu miliknya sendiri dan satunya lagi milik Niko yang tidak dimakan. Dia berpikir lebih baik dimakan sendiri daripada dimakan oleh menantunya. Melihat Adel diam saja dalam kebimbangan, Mona membuka mulutnya lagi dengan ketus. "Atau jangan-jangan kamu mandul? Makanya gak hami-hamil?"Adel yakin dia tidak mandul dan sangat subur. Namun, bagaimana suburnya dia kalau tak pernah digauli oleh suaminya? Bagaimana seorang bayi bisa tumbuh di rahimnya jika Niko sekarang lama tak menyentuhnya. Wanita itu bahkan lupa kapan terakhir kali dicumbu oleh suaminya sendiri. "Good morning, Mam," sapa Renata yang baru saja keluar dari kamarnya. "Morning, Darling. Cepatlah makan sarapanmu agar tidak kelaparan di tempat kerja."Renata langsung duduk di kursinya dan menyantap makanan di depannya sambil menggerutu. "Lama-lama aku bisa seperti babi kalau tia
"Ada apa ini? Kenapa selalu ribut setiap hari?" tanya Niko yang dengan langkah berat melangkah masuk ke dapur. Wajahnya tampak tidak sabar dan matanya langsung tertuju pada sarapan yang tersaji di meja. Seperti setiap pagi, meja tersebut penuh dengan roti panggang dan bacon—menu yang sama setiap paginya. Lelaki itu merasa bosan karena menu sarapan itu-itu saja, sama seperti rasa bosannya pada istrinya yang semakin hari semakin tidak menarik dan menyakiti penglihatannya. Dia heran, bagaimana bisa seorang wanita bisa lusuh seperti itu. Bukan hanya wajahnya saja yang kusam, tetapi semua baju yang dipakainya. Benar-benar sangat berbeda dengan para wanita di luar sana. Kadang-kadang Niko ingin sekali menceraikannya, tapi dia masih memiliki sedikit rasa kasihan terhadap Adel yang dulu berbaik hati membantunya saat Niko masih kuliah. Adel begitu baik padanya, sabar, dan tidak pernah menuntut apa pun. Kadang-kadang, hal di masa lalu itulah yang membuat Niko dilema. Perasaan dulu Adel
"Hanya ini saja makanan untuk sarapan?" keluh Mona, mertua Adel yang cerewetnya minta ampun begitu melihat apa yang disiapkan menantunya untuk sarapan."Iya, Mam," jawab Adel sambil memanggang roti satu persatu lalu menaruhnya di atas piring lalu memindahkannya dari meja dapur ke meja makan.Pagi itu, dapur keluarga Fredrik yang sempit dipenuhi aroma roti panggang dan bacon yang baru saja matang. Adel dengan cekatan menyiapkan piring-piring sarapan di atas meja makan. Matahari baru saja terbit, dan cahaya lembutnya menerobos masuk melalui jendela kecil tanpa tirai, memberikan kesan hangat pada ruangan itu. Namun, di balik kehangatan pagi itu, Adel merasakan dinginnya tatapan tajam seorang perempuan paruh baya yang ditujukan padanya.Mona, ibu mertua Adel, duduk dengan angkuhnya di kursi ujung meja makan. Wajahnya yang selalu tegang kini tampak lebih keras dari biasanya. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah menantunya, Mona mulai berbicara dengan nada yang dingin dan penuh dengan penghina