Share

PEMBALASAN ISTRI YANG SELALU DIHINA
PEMBALASAN ISTRI YANG SELALU DIHINA
Author: Maitra Tara

1

"Hanya ini saja makanan untuk sarapan?" keluh Mona, mertua Adel yang cerewetnya minta ampun begitu melihat apa yang disiapkan menantunya untuk sarapan.

"Iya, Mam," jawab Adel sambil memanggang roti satu persatu lalu menaruhnya di atas piring lalu memindahkannya dari meja dapur ke meja makan.

Pagi itu, dapur keluarga Fredrik yang sempit dipenuhi aroma roti panggang dan bacon yang baru saja matang. Adel dengan cekatan menyiapkan piring-piring sarapan di atas meja makan. Matahari baru saja terbit, dan cahaya lembutnya menerobos masuk melalui jendela kecil tanpa tirai, memberikan kesan hangat pada ruangan itu. Namun, di balik kehangatan pagi itu, Adel merasakan dinginnya tatapan tajam seorang perempuan paruh baya yang ditujukan padanya.

Mona, ibu mertua Adel, duduk dengan angkuhnya di kursi ujung meja makan. Wajahnya yang selalu tegang kini tampak lebih keras dari biasanya. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah menantunya, Mona mulai berbicara dengan nada yang dingin dan penuh dengan penghinaan sambil mengoleskan mentega di atas rotinya.

"Kau pikir ini sarapan yang layak untuk disajikan? Kenapa sih kemampuan memasakmu tidak kunjung membaik? Heran, kenapa Niko dulu mau menikahi gadis bodoh sepertimu." Mona mulai dengan suara yang dipenuhi cemoohan. "Hanya roti panggang dan bacon? Bahkan anjing peliharaan pun layak mendapatkan makanan yang lebih baik dari ini!"

Adel merapatkan bibirnya, menahan diri agar tidak membalas. Dia tahu betul bahwa tak ada gunanya berdebat dengan Mona. Setiap kata yang keluar dari mulutnya pasti akan dipelintir dan digunakan untuk mencaci dirinya lebih lanjut. Tangannya gemetar sedikit saat dia meletakkan piring terakhir di meja, tapi dia segera mengendalikan diri.

"Maaf, Mam. Hanya itu yang bisa kuperoleh dengan uang sepuluh dolar di supermarket," jawab Adel dengan suara pelan. Dia menatap ibu mertuanya sebentar sebelum menunduk lagi, berharap kata-katanya bisa sedikit melunakkan hati Mona.

Namun, harapan itu sia-sia. Adel terlalu banyak berharap bahwa waktu akan mengubah keluarga suaminya terutama Mona, tapi itu adalah keajaiban yang tak pernah terjadi atau bahkan tidak akan pernah terjadi.

Nyatanya, satu tahun menjadi menantu di keluarga ini, Adel tak pernah sekali pun melihat ibu mertuanya bersikap manis padanya.

"Sepuluh dolar sehari dan kau hanya bisa menyediakan ini? Kau benar-benar tak berguna, Adel!" seru Mona, suaranya semakin tinggi, penuh amarah. "Kalau saja anakku menikah dengan wanita yang lebih kompeten, dia pasti sudah hidup lebih baik sekarang!"

Adel menahan napas, menekan perasaan sakit yang tiba-tiba menghantam dadanya. Dia sudah terbiasa dengan penghinaan ini, tetapi setiap kali Mona melontarkan cemoohan, luka lama di hatinya terasa terbuka kembali. Semua pengorbanan yang dia lakukan untuk menikahi Niko, suaminya, seakan tidak ada artinya di mata ibu mertuanya.

Dia tahu bahwa sepuluh dolar bukanlah jumlah yang cukup untuk menyiapkan sarapan mewah setiap hari. Tapi dia selalu berusaha semampunya, mengakali setiap sen yang ada untuk memastikan bahwa setidaknya ada makanan di meja. Meski begitu, usahanya tak pernah cukup bagi Mona.

Entah di mana pikiran ibu mertuanya. Zaman sekarang, mana ada daging harga sepuluh dolar?

"Kalau Mam menaikkan uang belanja menjadi lima puluh dollar, aku bisa menyajikan makanan yang lebih baik, Mam."

Mata Mona langsung melotot. "Lima puluh dollar? Kamu pikir uang itu bisa diperoleh dengan mudah? Dasar menantu tidak tahu diri!"

"Semua harga naik, Mam. Tidak ada yang murah."

Mona langsung berdiri dari kursinya dan mendekati Adel.

"Pakai otakmu itulah, Adel!" kata Mona gemas sambil menonyor kepala menantunya. "Putar otakmu bagaimana uang sepuluh dollar itu bisa membuat keluarga ini makan enak!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status