Share

2

"Ada apa ini? Kenapa selalu ribut setiap hari?" tanya Niko yang dengan langkah berat melangkah masuk ke dapur. Wajahnya tampak tidak sabar dan matanya langsung tertuju pada sarapan yang tersaji di meja. Seperti setiap pagi, meja tersebut penuh dengan roti panggang dan bacon—menu yang sama setiap paginya.

Lelaki itu merasa bosan karena menu sarapan itu-itu saja, sama seperti rasa bosannya pada istrinya yang semakin hari semakin tidak menarik dan menyakiti penglihatannya. Dia heran, bagaimana bisa seorang wanita bisa lusuh seperti itu. Bukan hanya wajahnya saja yang kusam, tetapi semua baju yang dipakainya. Benar-benar sangat berbeda dengan para wanita di luar sana.

Kadang-kadang Niko ingin sekali menceraikannya, tapi dia masih memiliki sedikit rasa kasihan terhadap Adel yang dulu berbaik hati membantunya saat Niko masih kuliah.

Adel begitu baik padanya, sabar, dan tidak pernah menuntut apa pun.

Kadang-kadang, hal di masa lalu itulah yang membuat Niko dilema.

Perasaan dulu Adel tidak sejelek itu, tetapi lihatlah sekarang! Sangat-sangat tidak pantas! Pikir Niko jemu.

"Biasa, istrimu selalu saja mencari masalah dengan Mama," keluh Mona kembali duduk di kursinya.

Niko menarik kursi dan duduk, matanya tidak lepas dari piring-piring di hadapannya. "Roti panggang dan bacon lagi," keluhnya dengan nada bosan. "Sudah berapa kali aku bilang bahwa aku ingin sesuatu yang berbeda? Setiap hari menu ini dan aku mulai lelah. Buatkan aku kopi," kata Niko dengan nada jengkel.

Adel yang sedang berdiri di sudut dapur, membisu saat Niko mulai berbicara. Dia menatap sarapan di meja dengan rasa frustasi yang mendalam. Selama ini, dia berusaha keras untuk menyiapkan makanan terbaik yang bisa dia buat dengan anggaran yang sangat terbatas, tapi sepertinya usaha itu tidak pernah ada artinya di mata Niko.

Dengan cepat Adel membuatkan kopi untuk suaminya lalu menaruhnya di hadapannya.

"Aku meminta Mama untuk menaikkan uang belanja, tapi dia menolak," ucap Adel dengan hati-hati.

"Memangnya berapa sih Mama memberimu uang belanja?"

"Sep ...."

Belum sempat Adel mengatakannya, Mona sudah terburu menyela. "Mama memberikannya lima ratus dollar untuk seminggu. Bukankah itu sudah banyak, Nik? Entah dibuat apa uangnya oleh istrimu."

Adel hendak menyangkal, tetapi mata mertuanya sudah melotot ke arahnya seolah berkata diam atau mati!

Wanita berusia duapuluh lima itu tidak memiliki pilihan lain selain diam.

"Aku tidak mau tahu, besok harus ada sarapan yang lebih baik! Aku ingin sandwich tuna dengan telur mata sapi," kata Niko yang selesai menyesap kopinya tanpa menyentuh piringnya sedikit pun. "Aku pergi dulu, Ma. Ada rapat penting hari ini," katanya lagi berpamitan pada Mona dan mengacuhkan istrinya.

"Hati-hati, Nik!" kata Adel sambil melambaikan tangannya, tetapi Niko sama sekali tidak menghiraukannya.

Adel yang merasa sakit hati, hanya bisa menelan lukanya dalam-dalam.

Dulu saat masih pacaran, Niko sangat manis, romantis, dan bisa menerima dia apa adanya. Lelaki itu nampak tulus dan bersahaja. Namun, semua itu sekarang telah sirna.

Adel tidak tahu kenapa suaminya bisa berubah secepat itu. Apakah bisa cinta seseorang yang dulunya begitu besar dengan cepat tergerus waktu sesingkat ini?

"Makanya cepat punya anak!" celetuk Mona sambil menyunggingkan senyum jahat ketika melihat kegelisahan menantunya.

Adel yang yang baru akan mengangkat cangkir bekas suaminya hanya bisa diam sambil berpikir. Mungkinkah karena dia tak kunjung hamil itu yang membuat suaminya berubah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status