“Wow.”
Tanpa sadar BJ melontar kekaguman. Ia kini berada di depan gerbang sebuah mall. Mungkin bukan mall terbesar ibukota namun bagi seorang bocah kampung, bagi BJ itu adalah mall terbesar yang pernah dimasuki. Dengan sedikit ragu, ia melangkah masuk.
Dan lagi-lagi sebagai seorang bocah kampung, ia ternganga. Begitu berjibun orang yang ada di dalamnya. Di pelataran lobby, di tangga-tangga eskalator, di depan aneka counter, di dalam banyak restoran, showroom mobil, semuanya. Seisi kota kecamatan Bayung di Sumatera Selatan yang ia pernah tinggali pun warganya tidak sebanyak ini. Keadaan di dalam mall secara sekilas menurutnya mirip keadaan di dalam sarang semut di Simpang Pauh. Sama-sama padat dengan makhluk hidup dengan labirin mengular kesana-kemari.
BJ terus berkeliling. Berpindah dari satu lantai ke lantai lain. Sampai ia tiba di lantai teratas mall yang dipenuhi ratusan kios ponsel.
Matanya tiba-tiba terpaku pada seseorang. Ia memicingkan mata. BJ tidak percaya dengan pemandangan di depannya. Tanpa ragu ia menyapa orang yang tengah duduk di depan sebuah kios ponsel.
“Bayu?”
Orang itu menoleh. Seketika matanya membelalak.
“Nathan?”
"Haloooo wong kito," kata BJ. Keduanya nampak terkejut dengan pertemuan yang tak terduga. Laiknya saat Tinky Winky dan Dipsy melakukan pertemuan, keduanya serta-merta langsung berpelukan.
“Ya ampun, apa kabarnyo? Wah, kurus nian kau, Bay.”
Rekan BJ itu tersenyum kecil. “Atletis maksudmu, Nathan?”
BJ mencibir. “Di sini gue dipanggil BJ.”
Bayu sedikit tersedak. “Wow, mentang-mentang di Jakarta sekarang ngomong lu-gue.”
“Masih suka salah-salah, Bay. Kadang terpeleset, campur-campur logat Melayu juga.”
“Kalo gitu langsung ngomong lu-gue aja,” Bayu mengedip mata. “Jadi sekarang ini, di Jakarta, Benny Jonathan maunya dipanggil BJ?”
“Begitulah.”
BJ kemudian duduk di sebuah kursi kosong. Berdampingan dengan Bayu yang sepertinya sudah mau melakukan transaksi pembayaran di kios ponsel itu.
Jakarta adalah kota asing bagi BJ. Kota yang ia dan keluarganya baru saja tinggali sejak akhir 2019 ini memiliki banyak hal dimana ia perlu beradaptasi. Perbedaan bahasa, budaya, gaya hidup, lingkungan, teknologi kadang membuatnya sedikit tergagap. Ada yang cepat teratasi, ada yang sedikit butuh waktu. Hingga satu bulan keberadaannya di Jakarta rasanya hanya masalah bahasa dan benturan budaya yang terkadang menjadi sandungan. Dibandingkan dengan Palembang yang sebelumnya ia tinggali selama setahun pun ibukota tetap menampilkan wajah dingin dan angkuh. Perbedaan itu melebar jika dibandingkan dengan kehidupannya di kota kecamatan yang belasan tahun ia tinggali.
“Gimana kabar temen-temen di SMP?” tanya Bayu setelah keduanya bicara banyak hal.
“Temen-temen kita pada berubah, Bay. Apalagi Trio Kwek-kwek.”
“Emang gimana kabar Dedi, Nunung, sama Jumali?”
“Si Dedi berubah gara-gara dapet warisan. Si Nunung juga berubah gara-gara salah operasi mulut. Apalagi Jumali, dia berubah gara-gara salah pergaulan.”
“Coba cerita satu-satu. Dedi kenapa?”
“Dia berubah jadi sombong.”
“Nunung?”
“Dia berubah jadi monyong.”
“Jumali?”
“Dia berubah jadi bencong.”
*
Di dalam sebuah rumah yang sebagian disulap menjadi sebuah toko, kesibukan malam terjadi.
Ada banyak orang yang menghuni tempat itu. Ada sepasang suami isteri yang biasa dipanggil Abah dan Emak. Ada Minel anggota termuda yang berusia tiga tahun. Ada Nyai, ibunda Emak yang baru minggu lalu merayakan hari jadi ke-68. Ada pula seorang asisten rumah tangga bernama Mbok Min yang sudah hampir tiga tahun melayani keluarga itu.
Malam itu di meja makan sudah ada Abah dan Nyai. Abah terlihat bahagia betul. Kebahagiaan itu karena keberhasilan mendapat kontrak bisnis kayu dengan salah seorang pelanggan Abah. Bagi dirinya yang mejadi tulang punggung keluarga, mendapat kontrak itu benar-benar merupakan berkah karena hasilnya bisa menghidupi keluarga untuk tiga bulan ke depan. Mungkin malah bisa empat bulan jika mereka rajin berhemat. Mereka adalah keluarga dengan ekonomi menengah sehingga penggunaan keuangan mutlak dibatasi ketat.
“BJ kok ndak keliatan. Dia di mana, Abah?“
“Jalan-jalan ke mall.“
Emak terlihat agak kaget. “Jalan-jalan? Abah yang kasih ijin?“
“Iya, sekalian minta dia tolong cari-cari ponsel. Siapa tau bisa dapet ponsel tiga ratus ribuan. Lagian biarin BJ santai dulu. Besok hari Senin kan dia mulai masuk ke sekolahnya yang baru.“
“Abah, jangan sering-sering kasih kerjaan ke BJ,” Emak menyatakan keberatannya. “Kasihan dia. Angkat kayu, minta tolong BJ. Angkat cat, minta tolong BJ. Antar barang, minta tolong BJ. Bersihin kamar mandi, minta tolong BJ. Mentang-mentang rajin, Abah teruuus minta tolong dia.”
Nyai yang duduk di samping Abah langsung menimbrung. “Kenapo?”
“Si Abah, apa-apaminta tolong BJ,” Emak mengadu. “Bantu pindahan barang, angkat kayu, angkat cat, beli ini-itu, angkat ini-itu.”
“Kalo gitu kenapo ndak minta tolong ke Nyai? Pasti Nyai bantú angkat-angkat,” kata Nyai lagi. Mulutnya mengunyah-ngunyah daging rendang dari semenjak dua menit lalu. Dagingnya alot. Bisa jadi karena diambil dari sapi yang sama uzur dengan Nyai.
“Terima kasih, Nyai. Tapi ndak sekarang. Lain kali saja.”
“Iya. Nyai memang rajin. Kemarin, sewaktu ada jemuran ketiup angin, Nyai yang angkatin,” Abah memuji-muji mertuanya. Kegembiraannya bisa jadi karena terpengarauh kebahagiaan akibat mendapat kontrak,
Nyai melepeh daging alot ke pinggir piring. Menyerah akan kealotan tetelan daging. “Biar pun wong tuo, Nyai mau rajin terus. Ndak mau malas.”
“Bagus.”
“Ado barang yang jatuh pasti Nyai angkatin. Nyai ndak mau rumah berantakan.”
“Bagus.”
“Ada pensil jatuh, Nyai angkat. Begitu juga buku, tisyu, pembalut,”
“Hebat.”
“Waktu itu sikat gigi Abah, Nyai jugo yang angkat.”
“Sikat gigi Abah yang warna merah-biru?” tanya Emak yang hafal bahwa sikat gigi Abah memang berbeda sendiri.
“Iya,” kata Nyai. “Nyai angkat lagi.”
Abah yang baru menyelesaikan makanannya, mendadak terdiam.
“Lagi? Maksudnya ‘Nyai angkat lagi’ itu apa?”
“Tadi siang sikat itu Nyai ndak sengajo jatuhin ke lantai. Maaf ya.”
“Ohhh. Ndak apo-apo, Nyai. Waktu barusan Abah pake kondisi masih bagus, gagangnya ndak patah. Cuma jatuh ke lantai toh?”
“Jatuhnya itu mental,” kata Nyai innocent. “Mental, terus… plung! Jatuh.”
“Jatuh?”
“Ke lobang kloset.”
*
Di mall, di depan konter penjual ponsel, BJ dan Bayu masih asyik berbagi cerita. Sayangnya, setelah sejam berbicara BJ tersadar bahwa Bayu sudah agak berubah. Bahkan malah sangat berubah. Bayu sekarang jadi tengil. Sok.Indikasi pertama terlihat saat Bayu mau membayar ponsel yang diminati. Awalnya, jujur saja, BJ agak iri. Kalau BJ ke sana untuk mencari-cari info ponsel bekas dengan harga 6 angka Bayu justeru serius membeli ponsel baru seharga 8 angka.
“Selamat sore dokter Nababan, ini Mbok Min yang kerja di keluarga Jonathan... Iya, betul. Yang buka toko kayu Meranti Merindu. Dok, bisa datang secepatnya ke tempat kami? Penting... Alhamdulilah, jadi bisa ya, Dok... Oh, yang sakit kali ini bukan Nyai, ini Abah... Dia muntah terus dan saat ini ditemani Emak... Mukanya sampe pucet... Penyebab muntahnya Abah? Saya kurang ngerti, Dok. Kalo gak salah denger Abah muntah gara-gara sikat gigi. Dia nggak suka sikat giri yang warnanya merah-biru... Serius!“
Charlie ternyata usil. Ucapannya soal Happy tadi cuma berbohong. Saat jam istirahat BJ baru tahu kalau orang itu ternyata bukan anak pemilik yayasan sekolah. Dia cuma anak dari keluarga sederhana yang kemana-mana pun lebih banyak naik angkot atau bis. MRT pun jarang ia tumpangi. Sementara bapaknya adalah pengusaha tambal ban, sang ibu sibuk menjadi pengemudi ojol alias ojek daring. Pendek kata, Happy itu miskin dari segala penjuru mata angin. Bodinya yang gemuk tidak berkorelasi dengan keadaan ekonomi. Selain karena memang hobi makan, bisa jadi karena memang gen bawaan dari sang ibu yang konon pernah jadi atlit gulat tingkat provinsi. Sebagai anak suku Batak dimana orangtua di zaman dulu suka memberi nama berdasarkan apa yang terlintas atau terbaca, Happy diberi nama unik. Mungkin terdengar keren bagi orangtuanya, tapi tidak bagi
Dan perbedaan paham antara BJ dengan Lichelle memang tidak berhenti sampai di situ saja.“Tadi siang lu berantem lagi sama Lichelle?”Pertanyaan setengah berbisik itu disampaikan Charlie kepada BJ saat Pak Rokib tengah serius mengajarkan tentang sistim pencernaan tubuh.Sambil tetap serius melihati guru Biologi, BJ bertanya balik. “Kok tau?”“Gue sempat liat,” Charlie menghela nafas. “Empat hari lu di sini, empat kali konflik. Itu yang gue tau. Itu yang gue liat. Kenapa sih kalian kayak kucing sama anjing?”BJ tidak menanggapi. Matanya tetap tertuju ke depan sambil tangannya menulis sesuatu di buku.“Lu sebel banget sama dia ya, J?”“Kok tau?” tanya BJ, tetap melihati guru biologi mereka yang matanya berkedip-kedip terus akibat kerusakan di syaraf matanya.“Kok tau, kok tau. Ya tau lah,” jawab CharlieTidak juga ditanggapi, Charlie
“Selamat sore dokter Nababan, ini Mbok Min yang kerja di keluarga Jonathan... Iya, betul. Yang buka toko kayu Meranti Merindu. Dok, bisa datang secepatnya ke tempat kami? Penting... Alhamdulilah, jadi bisa ya, Dok... Oh, yang sakit kali ini bukan Nyai, ini Abah... Dia muntah terus dan saat ini ditemani Emak... Mukanya sampe pucet... Penyebab muntahnya Abah? Saya kurang ngerti, Dok. Kalo gak salah denger Abah muntah gara-gara sikat gigi. Dia nggak suka sikat giri yang warnanya merah-biru... Serius!“*Beberapa hari sebelumnya, di dalam sebuah kamar dengan interior mewah, seorang gadis nampak menelpon seseorang. Suaranya sengau, ada duka dalam ucapannya. Ketika selesai, ia menutup telpon dan menatap dengan tatapan kosong. Di dekatnya, seorang rekannya, mendekat dan kemudian menyentuh lengan. Gadis pertama menoleh. Keduanya baru pulang sekolah dan itu terlihat dari seragam putih abu-abu yang masih dikenakan oleh mereka berdua.
Bayu mencoba bersikap kepala dingin. Ia sadar bahwa teman-temannya makin berkurang. Lalu kalau itu yang terjadi maka pilihan – ketika ia tak mau mengubah sikap – hanya satu saja yaitu: ia perlu menyewa bodyguard alias pengawal alias tukang pukul. Caranya, akan dipikirkan nanti. Yang jelas uang bukanlah masalah. Kalau pun disebut masalah, itu hanya masalah yang amat kecil buat dirinya.*Dengan kecerdasan serta keluwesan BJ dalam bergaul, tidak butuh lama bagi dirinya untuk dengan cepat menguasai logat Jakarta. Di rumah yang berfungsi sebagai toko, setiap hari dijadikan momen untuk belajar. Saat membersihkan dan merapikan toko dimana ia banyak berinteraksi dengan pegawai toko Abah adalah salah satu momen itu. Sikap ini
Jauh dari situ, Lichelle ‘bete’. Ia kurang suka melihat postingan Facebook miliknya. Di laman FB itu, seorang pria, teman sekolahnya yang cukup dekat, sibuk memamerkan diri. Belasan foto multishot dengan wajah closeup dirinya dipajang di sana. Bagi Lichelle itu sepertinya pertanda kejiwaan. Ada spirit narsis, tidak percaya diri dan butuh pengakuan dari orang banyak akan keberadaan dirinya. Ketika bermain dengan medsos, hampir selalu ia menemukan wajah orang itu di sana. Termasuk juga ketika ia memajang sebagian kekayaan yang dimiliki berupa supercar, motor gede, gadget, lokasi wisata, serta restoran yang dikunjungi. Ada sifat pamer di situ dan Lichelle kurang suka. Ia sebal. Saat ia hendak berganti laman, ia melihat ada sebuah notifikasi bahwa seseorang melakukan postingan. Karena yang melakukan adalah ayahnya
Tawa Charlie sebetulnya terasa ‘garing’ alias kurang lucu bagi Dedot. Di kalimat terakhir malah tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Agak heran juga Dedot. Apa yang membuat Charlie mudah sekali tertawa-tawa? “Lu dari tadi ketawa melulu, Lie. Nggak salah minum obat nih? Tau nggak, terus-terusan ketawa itu nggak bagus.” “Bisa dicap gila?”“Bukan cuma itu. Gue jadi keingetan nasib tetangga gue, namanya Engkong Ni’ih. Engkong ini sebetulnya lumayan kaya. Tapi dia jadi miskin gara-gara keseringan ketawa.” Dedot menyeruput lagi minumannya. “Keseringan ketawa ternyata bisa bawa musibah.”“Bo’ong ah. Dasar ilmiahnya di mana?”“Engkong itu murah senyum dan malahan gampang