Share

Ketemu Kawan Lama

Di mall, di depan konter penjual ponsel, BJ dan Bayu masih asyik berbagi cerita.  Sayangnya, setelah sejam berbicara

BJ tersadar bahwa Bayu sudah agak berubah. Bahkan malah sangat berubah. Bayu sekarang jadi tengil. Sok.

Indikasi pertama terlihat saat Bayu mau membayar ponsel yang diminati. Awalnya, jujur saja, BJ agak iri. Kalau BJ ke sana untuk mencari-cari info ponsel bekas dengan harga 6 angka Bayu justeru serius membeli ponsel baru seharga 8 angka. 

“Kamu ndak  sayang buang duit segitu banyak hanya untuk beli ponsel?” cetus BJ.

Bayu mengangkat bahu. “Terus, mau diapain duit seabreg yang bokap gue kasih? Bokap gue nge-top up saldo belasan juta seminggu, Bro. Hehe…”

BJ ikut tertawa. Tawa kecut. Dirinya berharap, Bayu tak serius dan hanya bercanda dengan berbicara agak tinggi seperti itu. Tapi setelah dipikir-pikir, ucapan-ucapan Bayu selama setengah jam terakhir pun tak kalah sombong sebetulnya.

BJ pura-pura tak melihat ketika Bayu dengan santainya mengeluarkan dompet kulit berlogo YSL dari saku celana dan mengeluarkan kartu ATM dari dalamnya. BJ kurang tahu apakah dirinya yang terlalu berprasangka atau bukan, tapi Bayu sepertinya show off atau pamer ketika menyerahkan kartu ke gadis manis yang melayaninya di konter.

Bayu masih mengajak mengobrol yang tak lagi terlalu menarik minat BJ. Tak berapa lama urusan pembelian ponsel selesai. Buat BJ, teman lamanya sudah tidak lagi menarik diakrabi. Kekariban persahabatan setelah hanya beberapa tahun terpisah ternyata cuma bertahan di seperempat jam pertama. Sehabis itu malah anti klimaks. Itu sebabnya BJ memutuskan untuk pura-pura lupa sehingga tidak meninggalkan nomor ponselnya. Pun tidak juga meminta nomor Bayu. Cuma ada sedikit rasa penyesalan dalam diri BJ karena sebelumnya sempat memberi info nama toko yang sekaligus menjadi rumah tempat ia tinggal.

BJ yang sudah tidak betah buru-buru pamit pulang. Sialnya Bayu membujuk supaya BJ menunda sebentar. BJ yang tak enak hati terpaksa mengalah. Tapi dia jadi dongkol lagi begitu mengetahui bahwa penundaan itu gara-gara Bayu meminta nomor ponsel sang gadis penjaga konter. Damned!

Lima menit kemudian keduanya meninggalkan lokasi. BJ kurang tahu apakah Bayu berhasil mendapat nomor ponsel gadis itu atau tidak. Ia tak peduli. Tapi hati BJ menjadi kembali dongkol ketika mereka melewati koridur yang dipenuhi penjual makanan dan minuman. Mulanya Bayu mengajak BJ untuk mampir membeli minuman ringan. Seperti biasa, BJ mengalah lagi. Nah, saat membayar minuman terulang kejadian yang lagi-lagi membuat BJ sebal. Tak diduga, Bayu ternyata hanya membeli minuman untuk diri sendiri. Jadi sementara Bayu membeli segelas avocado float, BJ yang hampir kehabisan uang mau tidak mau harus ikut membeli. Kondisi ini membuat ia cuma bisa membeli air mineral satu botol yang ukurannya paling mini.

“Dari dulu lu gak berubah, BJ. Minumnya air putih terus.”

BJ langsung mengeluarkan alasan terbaik. “Air putih itu baik buat kesehatan.”

“Tapi kan tawar.”

“Siapo bilang?” BJ meneguk isi botol imut hingga habis. “Yang ini kayak ada manis-manisnya.”

Bayu tertawa yang BJ anggap sepertinya tawa sinis. Mereka meneruskan perjalanan.

“Kaget gue bisa ketemu lu di sini. Gimana rasanya tinggal di Jakarta? Cerita dong. Masa’ dari tadi gue terus yang bawel. Hehe…”

"Beda nian dengan suasano di Plaju atau Palembang,” BJ menyeka kening. “Di mano-mano semua orang bicara dengan bahasa yang aku ndak kenal."

"Itu bahasa gaul di sini. Cepat-cepatlah lu kuasai bahasa kekinian di sini. Hilangin juga logat daerah. Jangan lagi pake kata pulo, nian, siko, mano, bae, segala macam. Kecuali lu ingin diketawain. Sering-sering nonton TV lah. Lu kan cepat belajar di lingkungan yang baru." Bayu berceloteh.

"OK, aku ikut saranmu."

“Kalo bahasa gaul udah jago, itu bisa bikin lu lebih gampang nyari duit. Nggak heran kami kaya raya di sini. Di sini apa-apa bisa jadi duit. Tinggal kita pake ini. Hahaha…” Bayu mengakhiri kalimat sambil menunjuk keningnya.

Ucapan bernada menyombong itu lagi-lagi membuat BJ diam seketika. Kemudian, mendadak Bayu mengganti topik pembicaraan.

"Lu udah punya cewek di Jakarta? Atau masih sama Titik?”

“Sudah ndak lagi. Titik ikut orangtuanya. Ikut sukunya.”

“Masuk ke dalam hutan?” tebak Bayu. Waktu BJ mengangguk, Bayu terbahak.

“Di jaman mileneal masih ada ya orang-orang yang hidup nomaden.”

Sebelum BJ menanggapi, Bayu menyambung ucapan. “Mungkin karena dia dari suku Anak Dalam ya.”

“Kamu itu. Nanya sendiri,  jawab sendiri. Kamu, eh lu sendiri sudah punya pacar?”

“Nah gitu dong. Mulai dipake tuh bahasa gaulnya. Kalo soal pacar, punya dong.”

Bayu menunjukan wajah seorang gadis di ponselnya.

“Cantik kan?”

BJ mengangguk. Sempat melihat nama pacar Bayu itu di foto profilnya: Chrissy.

“Itu cewek gue di Surabaya. SPG, Sales Promotion Girl. Kalo yang di Jakarta yang ini,” layar ponsel Bayu diklik dan geser beberapa kali. BJ sempat melirik sewaktu Bayu menunjukan wajah gadis lain. “Ini Mayang, di Jakarta. Tapi dia ini rencananya mau gue putusin setelah  gue dapetin cewek lain. Cewek satu sekolah sama gue. Satu kelas malah.”

“Lu mau putusin pacar yang sekarang? Kenapa?”

“Dia posesif.”

“Dia yang posesif atau kamu yang ndak bisa diajak komitmen? Itu tipis bedanya,” BJ mulai berani menegur. Sayangnya waktu itu suasana sekitar berisik sekali. Dan melihat reaksi Bayu yang santai saja, BJ menduga Bayu tidak menangkap apa yang ia sampaikan.

“Cewek sekelas yang gue incer itu, wuih… mantep.”

“Cantik?”

“So pasti. Tapi gue deketin bukan cuma itu alasan utamanya. Bokapnya pejabat lumayan penting di dinas Pekerjaan Umum. Mudah-mudahan kalo anaknya gue bisa dapetin, bokap gue juga bisa dapet tender proyek melalui bokapnya cewek itu.”

BJ menelan ludah. Bayu ternyata sudah sejauh itu.

“Gue punya nih fotonya."

Waktu Bayu mau menunjukkan layar ponsel lagi BJ menampik. BJ merasa malas kalau kembali diajak mengobrol soal Bayu tentang gadis-gadisnya. Jujur saja BJ agak heran. Apa yang membuat Bayu langsung mengumbar keflamboyanannya di saat mereka belum lama bertemu? Inikah tabiat baru Bayu seiring melonjaknya ekonomi mereka? Tabiat pamer?

“Dia itu cakep banget, J. Cakkkeppp banget.”

Sementara Bayu terus berceloteh, BJ diam. Tak berespon. Bagi BJ, nilai dan prinsip hidup Bayu sudah tidak sama seperti dulu. Ada gap di antara mereka sekarang. Sebuah celah yang membuat perjumpaan pertama dengan Bayu setelah sekian tahun terpisah jadi kehilangan makna.

"Demi pendekatan ke cewek itu mangkanya hari-hari ini gue sibuk ngecilin pinggang. Ngecilin paha juga. Tau kan maksud gue?"

Dalam hati BJ mendesah. Ia tahu bahwa Bayu hendak pamer lagi. Mengecilkan pinggang lah, paha lah, perut lah, itu adalah operasi sedot lemak dengan biaya tidak sedikit. Biar pun klinik kecantikan dan estetika di Jakarta ada dimana-mana bukan berarti biaya-biaya di atas jadi murah meriah dan diobral. Selain itu, rasanya tidak jamak dan nyaris mustahil seorang anak SMA sudah menjalani operasi estetika semacam itu. BJ sangat yakin bahwa Bayu membual. Menghadapi kesombongan yang sebentar lagi akan Bayu pamerkan otak BJ langsung berputar keras. Ia berpikir bagaimana caranya mengerjai temannya yang sekarang jadi sok seperti ini.

"Biayanya makin tahun makin mahal. Gile.”

“Di Jakarta itu apa-apa memang mahal. Ndak seperti di Palembang. Ya kan?”

“Pasti lah.”

“Memang habis biaya berapa buat kecilin pinggang, kecilin paha?"

"Jutaan lah untuk sekali kecilin."

"Astaga mahalnyoo!" Tanpa sadar BJ keceplosan lagi sehingga kembali berlogat daerah. "Macam mano? Ndak masuk akal. Di Palembang, ndak semahal itu harganyo."

"Maksud kau?"

"Di sana kecilin pinggang cuma lima ribu. Kecilin paha sepuluh ribu. Kecilin lengan juga sepuluh ribu."

"Bohong lu. Ndak mungkin semurah itu."

"Betul."

"Ndak mungkin."

"Betul."

"Dimana ada biaya segitu?"

"Di daerah Kuto Besak. Pinggir sungai Musi, " jawab BJ tandas. "Kalo ndak salah nama tempatnya itu Ampera Tailor."

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status