“Selamat sore dokter Nababan, ini Mbok Min yang kerja di keluarga Jonathan... Iya, betul. Yang buka toko kayu Meranti Merindu. Dok, bisa datang secepatnya ke tempat kami? Penting... Alhamdulilah, jadi bisa ya, Dok... Oh, yang sakit kali ini bukan Nyai, ini Abah... Dia muntah terus dan saat ini ditemani Emak... Mukanya sampe pucet... Penyebab muntahnya Abah? Saya kurang ngerti, Dok. Kalo gak salah denger Abah muntah gara-gara sikat gigi. Dia nggak suka sikat giri yang warnanya merah-biru... Serius!“
*
“Namaku Beny Jonathan, tapi biasa dipanggil BJ.”
“Ooooh, Bijeeeeee.”
“Pindahan SMA di Palembang.”
“Ooooh, Palembaaaaaaang."
“Tinggal di jalan Buaya.”
“Oooooh, buayaaaaaa!”
Tak sampai sedetik muncul celetukan. "Buaya darat ni ye...."
Duarr! Suasana satu kelas langsung riuh laiknya orang mengantri sembako gratis. Ramai dengan suara anak-anak yang terbahak.
Menyebalkan.
BJ yang tengah memperkenalkan diri di depan kelas jadi sebal lantaran setiap satu kalimatnya ditanggapi dengan gemuruh nyaris tanpa akhir. Terlebih saat ada yang nyeletuk seperti tadi. BJ berusaha setengah mati jangan sampai terlihat kesal. Baginya, sebagai anak baru eks pindahan sekolah lain, apalagi dari luar pulau Jawa, dia perlu agak ja-im alias jaga image agar calon teman-teman barunya tidak menilai dia galak, angkuh, sok pandai, atau apa pun yang konotasinya negatif.
BJ juga sebetulnya agak kesal dengan guru yang mengajaknya memperkenalkan diri. Kenapa dia tidak apa-apakan anak-anak kelas yang berisik dan khususnya yang usil melontar celetukan tadi. Orang itu - ibu guru tepatnya - reaksinya cenderung diam. Padahal BJ inginnya sang guru memberi teguran. BJ ingin sang ibu guru itu menegur. Mengomeli. Mendamprat. Atau kalau perlu anak bandel yang bikin kacau dijewer saja seperti dulu dilakukan pak Leman - wali kelas di sekolah lamanya. Tapi – ah! – BJ yakin itu tak akan pernah dilakukan sang guru. Dilihat dari wajahnya, sang ibu guru jauh dari sifat keras. Bicaranya pelan. Teramat sangat luar biasa pelan sekali. Seandainya tercipta sebagai sebuah MP3 player, indikator audionya paling-paling mentok di bar kedua.
“Biarpun omonganmu masih kecampur bahasa daerah, nanti kalo sudah lama di sini kamu akan terbiasa. SMA Kinarya Bangsa ini Pancasila banget. Apalagi di kelas 2 ini. Semua suku dan agama ada. Lama-kelamaan kam… ti… hami...st…"
Suara bu Merry yang pelan minta ampun membuat BJ tak bisa mendengar ujung kalimatnya. BJ yang belum terbiasa dengan cara bicara guru barunya secara refleks mendekatkan badan demi agar bisa mendengar lebih jelas.
"Lama-kelamaan apa, Bu?"
"Ibu tadi bilang, nanti kalo kamu sudah lama di sini lama-lama kamu pasti... hami... disi...st…"
BJ masih belum paham. Sambil meminta maaf BJ kembali minta ibu guru yang menurutnya memiliki vokal terpelan sedunia itu mengulang lagi ucapannya.
"Ibu bilang," bu Merry mengulang dengan sabar, "nanti kalo BJ sudah lama di sekolah ini lama kelamaan kamu pasti... hami... disi...st…sel… si… Iya kan?"
BJ menyerah. Sumpah, dia tak bisa mendengar bagian terakhir. Namun demi menyenangkan hati bu Merry, BJ mengangguk-angguk.
"Baik, Bu. Siap, Bu. Pasti, Bu."
Anak yang tadi melontar celetukan terkekeh sendiri. BJ heran, apa yang lucu dengan ucapannya?
“Sudah boleh duduk, Bu?”
“Status?!” terdengar lagi celetukan dari belakang. Orang yang sama lagi.
BJ enggan menanggapi pertanyaan tadi. Apalagi bu Merry sebetulnya sudah selesa bertanya-tanya. Tapi gara-gara celetukan tadi lagi, akhirnya dia menunda mempersilahkan BJ duduk.
“Oh iya. Teman-temanmu masih bertanya tuh mengenai apak....”
Sudah mulai terbiasa pada gaya ucapan gurunya dan tanpa merasa perlu mendengar ujungnya, BJ sudah paham apa maksudnya.
“Single. Status saya belum ganda campuran.”
Kelas riuh lagi seperti pasar tumpah. BJ sudah kepingin kabur dari situ tapi ibu guru bervolume-suara-satu-dua-bar masih juga belum memberi izin untuk dirinya duduk.
“Belum punya pacar?”
BJ pasrah. “Dulu. Sekarang belum, Bu.”
“Kenapa? Biarpun kulitmu gelap kamu ganteng lho. Apalagi ada lesung pipitnya.”
BJ sebetulnya ingin diam saja. Tapi suasana kelas jadi makin ramai. Norak sekali!
“Dia meninggalkan diriku, Bu.”
"Pergi ke mana?"
"Ikut orangtuanya. Masuk ke dalam hutan, Bu."
Suasana yang sempat mereda langsung berubah semakin ramai. BJ betul-betul heran. Apa yang salah dengan ucapannya? BJ makin sebal. Mereka di kelas itu seharusnya simpati. Tapi justeru mereka malah menertawakan. Terlalu. Mungkin merasa lucu dan aneh dengan alasan tadi, tapi tidak bagi BJ. Beberapa temannya di SMP sebuah kota kecamatan – sebelum ia pindah ke Palembang – ada yang pindah ke dalam hutan. Alasannya, mencari tanah yang lebih subur untuk perkebunan sebagai tempat mencari nafkah.
"Berarti cewek lu itu beruk dong?"
Suasana kelas riuh lagi. Kali ini Bu Merry malah ikut tersenyam-senyum. Wajah BJ merah padam. Kekesalan masih menyelimuti ketika ia diijinkan duduk di salah satu bangku belakang. Sudah ada seorang siswa di sana.
Saat bertemu mata, BJ sempat mengangguk sopan. Tapi orang itu ternyata galak.
"Sapa suruh duduk di situ?"
BJ kaget. "Ndak boleh?"
"Gak!"
Mata BJ mencari-cari bangku kosong lain. Tapi memang tidak ada.
"Hehehe... gue becanda," orang itu tertawa cengengesan. Matanya jadi terlihat cuma segaris. "Duduklah."
Ragu-ragu, BJ duduk di bangku di samping orang itu.
“Welcome to the jungle. Kenalin, gue Charlie,” sambutnya.
Badannya yang kurus, berkacamata minus, kulit putih bak susu kacang, dan mata model lobang celengan seperti menunjukan secara jelas asal sukunya. Batak, jelas tidak mungkin. Apalagi Papua.
“Bije,” kata BJ sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. "Kalo ditulis, cuma huruf B dan huruf J. Itu saja."
“Udah tau. Kan lu udah ngenalin diri barusan.” Charlie tersenyum. “Lu tuh lugu banget di depan sana.”
Alis BJ naik satu sentimeter. ”Lugu?”
“Mustinya jangan terlalu dibuka semua. Akibatnya gitu, lu diketawain orang-orang.”
BJ tak peduli. Saat duduk dia masih sempat melihati bangku di pojok kelas di mana duduk orang yang tadi berulang melontar celetukan menyebalkan.
“Jangan perhatiin dia.”
Ucapan pelan tadi dibalas BJ dengan bisikan agak keras. “Ih, dasar gendut nian."
“Aduh, jangan main fisik.”
“Maksudnya?”
“Jangan jelek-jelekin orang.”
"Kenapa harus dibilang ganteng kalo memang terlahir jelek?"
"Nah itu main fisik juga namanya!"
"Kalo di kampung aku anak gendut begitu biasanya karena habis disengat kawanan tawon," cetus BJ sambil mulai membuka dan mengeluarkan isi tasnya. "Memangnya siapa sih si bengkak itu?"
"Namanya Happy, anak pemilik yayasan sekolah ini."
"Dia keliatan go..." BJ yang keceplosan bicara sebelum Charlie menyelesaikan kalimat secepat kilat mengerem ucapan.
Charlie menoleh ke arah BJ. "Barusan mau ngomong apa lu?"
BJ diam. Sadar betul bahwa meneruskan suku kata kedua yakni ‘blok’ bisa berbuntut panjang.
"M-maksud aku, anak itu keliatan go-kil. Keren."
*
Charlie ternyata usil. Ucapannya soal Happy tadi cuma berbohong. Saat jam istirahat BJ baru tahu kalau orang itu ternyata bukan anak pemilik yayasan sekolah. Dia cuma anak dari keluarga sederhana yang kemana-mana pun lebih banyak naik angkot atau bis. MRT pun jarang ia tumpangi. Sementara bapaknya adalah pengusaha tambal ban, sang ibu sibuk menjadi pengemudi ojol alias ojek daring. Pendek kata, Happy itu miskin dari segala penjuru mata angin. Bodinya yang gemuk tidak berkorelasi dengan keadaan ekonomi. Selain karena memang hobi makan, bisa jadi karena memang gen bawaan dari sang ibu yang konon pernah jadi atlit gulat tingkat provinsi. Sebagai anak suku Batak dimana orangtua di zaman dulu suka memberi nama berdasarkan apa yang terlintas atau terbaca, Happy diberi nama unik. Mungkin terdengar keren bagi orangtuanya, tapi tidak bagi
Dan perbedaan paham antara BJ dengan Lichelle memang tidak berhenti sampai di situ saja.“Tadi siang lu berantem lagi sama Lichelle?”Pertanyaan setengah berbisik itu disampaikan Charlie kepada BJ saat Pak Rokib tengah serius mengajarkan tentang sistim pencernaan tubuh.Sambil tetap serius melihati guru Biologi, BJ bertanya balik. “Kok tau?”“Gue sempat liat,” Charlie menghela nafas. “Empat hari lu di sini, empat kali konflik. Itu yang gue tau. Itu yang gue liat. Kenapa sih kalian kayak kucing sama anjing?”BJ tidak menanggapi. Matanya tetap tertuju ke depan sambil tangannya menulis sesuatu di buku.“Lu sebel banget sama dia ya, J?”“Kok tau?” tanya BJ, tetap melihati guru biologi mereka yang matanya berkedip-kedip terus akibat kerusakan di syaraf matanya.“Kok tau, kok tau. Ya tau lah,” jawab CharlieTidak juga ditanggapi, Charlie
“Selamat sore dokter Nababan, ini Mbok Min yang kerja di keluarga Jonathan... Iya, betul. Yang buka toko kayu Meranti Merindu. Dok, bisa datang secepatnya ke tempat kami? Penting... Alhamdulilah, jadi bisa ya, Dok... Oh, yang sakit kali ini bukan Nyai, ini Abah... Dia muntah terus dan saat ini ditemani Emak... Mukanya sampe pucet... Penyebab muntahnya Abah? Saya kurang ngerti, Dok. Kalo gak salah denger Abah muntah gara-gara sikat gigi. Dia nggak suka sikat giri yang warnanya merah-biru... Serius!“*Beberapa hari sebelumnya, di dalam sebuah kamar dengan interior mewah, seorang gadis nampak menelpon seseorang. Suaranya sengau, ada duka dalam ucapannya. Ketika selesai, ia menutup telpon dan menatap dengan tatapan kosong. Di dekatnya, seorang rekannya, mendekat dan kemudian menyentuh lengan. Gadis pertama menoleh. Keduanya baru pulang sekolah dan itu terlihat dari seragam putih abu-abu yang masih dikenakan oleh mereka berdua.
Bayu mencoba bersikap kepala dingin. Ia sadar bahwa teman-temannya makin berkurang. Lalu kalau itu yang terjadi maka pilihan – ketika ia tak mau mengubah sikap – hanya satu saja yaitu: ia perlu menyewa bodyguard alias pengawal alias tukang pukul. Caranya, akan dipikirkan nanti. Yang jelas uang bukanlah masalah. Kalau pun disebut masalah, itu hanya masalah yang amat kecil buat dirinya.*Dengan kecerdasan serta keluwesan BJ dalam bergaul, tidak butuh lama bagi dirinya untuk dengan cepat menguasai logat Jakarta. Di rumah yang berfungsi sebagai toko, setiap hari dijadikan momen untuk belajar. Saat membersihkan dan merapikan toko dimana ia banyak berinteraksi dengan pegawai toko Abah adalah salah satu momen itu. Sikap ini
Jauh dari situ, Lichelle ‘bete’. Ia kurang suka melihat postingan Facebook miliknya. Di laman FB itu, seorang pria, teman sekolahnya yang cukup dekat, sibuk memamerkan diri. Belasan foto multishot dengan wajah closeup dirinya dipajang di sana. Bagi Lichelle itu sepertinya pertanda kejiwaan. Ada spirit narsis, tidak percaya diri dan butuh pengakuan dari orang banyak akan keberadaan dirinya. Ketika bermain dengan medsos, hampir selalu ia menemukan wajah orang itu di sana. Termasuk juga ketika ia memajang sebagian kekayaan yang dimiliki berupa supercar, motor gede, gadget, lokasi wisata, serta restoran yang dikunjungi. Ada sifat pamer di situ dan Lichelle kurang suka. Ia sebal. Saat ia hendak berganti laman, ia melihat ada sebuah notifikasi bahwa seseorang melakukan postingan. Karena yang melakukan adalah ayahnya
Tawa Charlie sebetulnya terasa ‘garing’ alias kurang lucu bagi Dedot. Di kalimat terakhir malah tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Agak heran juga Dedot. Apa yang membuat Charlie mudah sekali tertawa-tawa? “Lu dari tadi ketawa melulu, Lie. Nggak salah minum obat nih? Tau nggak, terus-terusan ketawa itu nggak bagus.” “Bisa dicap gila?”“Bukan cuma itu. Gue jadi keingetan nasib tetangga gue, namanya Engkong Ni’ih. Engkong ini sebetulnya lumayan kaya. Tapi dia jadi miskin gara-gara keseringan ketawa.” Dedot menyeruput lagi minumannya. “Keseringan ketawa ternyata bisa bawa musibah.”“Bo’ong ah. Dasar ilmiahnya di mana?”“Engkong itu murah senyum dan malahan gampang
“Siapa?““Nama aslinya sih Wendi, si Joker. Kalo yang cewek itu, Cat Woman, namanya Wenni.“Akibat terlalu fokus, kedua orang yang dijuluki sebagai penjahat musuh Batman itu tidak menyadari keberadaannya. BJ masih diam. Hendak menyaksikan ulah apa yang hendak mereka lakukan. Salah seorang kini berjongkok dan yang kedua dengan santainya berdiri di atas punggung orang pertama. Tangan orang kedua menjulurkan tas ke sebuah dahan pohon mangga yang kebetulan sedikit menjorok ke koridor dekat kelas.Paham sekarang bahwa tasnya hendak disembunyikan dengan cara digantung di dahan pohon, BJ tiba-tiba mendehem keras. Sontak keduanya menoleh dan langsung tersipu ketika melihat siapa yang tadi mendehem. Tapi walau sudah tertangkap basah sedang mengusili, tak seorang pun yang berniat membatalkan misi usil tersebut. Joker, yang ada di bawah, tersipu tapi tetap berjongkok. Yang di atas – gadis berjulukan Cat Woman &ndash
Saat ditegur seperti itu kemarahan Bayu muncul. Ia balik mendamprat orang-orang yang tadi menegur. Situas tentu saja menjad ramai. Kasir d konter memberi isyarat agar petugas keamanan mendamaikan. Begitu petugas itu datang ke lokasi konter, situasi sudah lebih panas karena Bayu tidak terima ditegur seperti itu. Tak ayal hal ini membuat orang-orang yang antri tadi jadi tak tahan untuk tidak mengumpat. Bayu semakin marah dan akibatnya perang mulut pun tak terhindarkan. Dalam suatu kesempatan ia menghina tetangga yang tadi disalip. “Jadi orang kaya jangan sombong.“ “Kalo aku sombong emang kenapa? Itu hak aku kalo nyombongin diri bahwa aku kaya. Kenapa jadi kamu yang repot? Bilang aja kamu sirik nggak bokap tajir melintir seperti aku.“&n