Katy selalu membanggakan kesetiakawanannya. Bersama sahabat semasa kecilnya, mereka membuat sebuah geng bernama geng Kelas Berat. Sayangnya, persahabatan mereka diuji karena seorang laki-laki. Namanya Jace. Pemain basket andalan sekolah berwajah rupawan. Kekacauan bermula pada sebuah liburan pendek yang mewajibkan katy dan teman-temannnya membawa pasangan masing-masing. Katy pun membawa pacarnya yang bernama Zoey. Di sana secara mengejutkan, Jace mengumumkan kalau dia ternyata menyukai Katy. Susah payah Katy meyakinkan para sahabatnya agar memaafkannya. Namun, semua menjadi semakin rumit karena Jace yang tidak mau mundur sekalipun Katy menolaknya. Katy juga harus membohongi dirinya karena sebetulnya dia sudah menyukai Jace bahkan di saat awal masuk sekolah Di samping itu semua, Ada banyak kejadian buruk yang harus Katy alami. membuat Katy semakin terpuruk dan tidak berdaya. Akankah Katy akhirnya bersatu dengan pujaan hatinya? Atau dia tetap melepas cintanya demi persahabatan?
View MoreKuis kimia baru saja berakhir. Aku mendesah panjang sambil melepas semua kepenatan karena harus belajar berbagai unsur dan reaksi yang menjadi topik kuis hari ini. Rencananya, aku akan segera pulang jika saja temanku tidak menahanku. Dari semenjak masuk kelas, dia selalu mengatakan ada hal yang ingin dia sampaikan padaku.
“Ada apa sih, Sheryl?” tanyaku padanya. Tanganku masih sibuk memasukan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas punggungku.
“Gue enggak tahan harus bilang ini sama lo.” Dia tersenyum lebar sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada.
“Bilang apa?”
Sheryl tidak langsung bicara. Dia menghentikan kegiatanku yang masih sibuk membereskan meja dan memintaku menghandap ke arahnya.
“Katy, gue jadian sama Jace.”
Aku terdiam, lalu mencoba mengkonfirmasi kembali apa yang sudah aku dengar tadi. “Apa? Jadian?”
Sheryl mengangguk dengan sangat bersemangat. Matanya berbinar dengan senyum yang mengembang di wajahnya
Seketika, ada pisau tak kasat mata yang menusuk dadaku. Empat kata yang temanku ucapkan tadi seolah telah mengambil kemampuanku dalam bernapas. Rasanya sakit dan sesak. Sampai aku tidak mampu lagi berbicara.
Aku ingat ketika cowok yang bernama Jace itu memperhatikanku saat malam api unggun. Malam di mana kami dinobatkan sebagai siswa baru di SMA. Tatapannya selalu mengarah ke arahku. Aku bisa pastikan itu.
Malam itu, aku terlalu terganggu dengan tatapannya. Aku merasa cowok itu sedang mempelajari gerak-gerikku. Sampai akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak balik mencuri pandang padanya. Dia masih melihat ke arahku. Bahkan dia tersenyum kecil setelahnya.
“Katy, Lo liat cowok yang bawa gitar itu?” tanya Sheryl kala itu. Dia baru saja kembali dari warung dadakan yang digelar warga di sekitar area api unggun.
Aku menoleh ke tempat tangannya mengarah. Sheryl menunjuk Jace. Cowok yang baru saja melemparkan senyuman karena kami tidak sengaja saling beradu pandang sebelum Sheryl duduk di sampingku. Sekarang cowok itu sedang sibuk dengan gitar di pangkuannya.
“Kenapa?” Aku mencoba terlihat tidak acuh.
“Gila, ganteng banget,” puji Sheryl dengan mata yang berbinar-binar.
Aku tidak berkomentar. Aku memilih untuk pura-pura sibuk dengan handphone-ku. Lalu rasa penarasan menelisik masuk ke dalam hatiku. Siapa tahu dia punya informasi tentang cowok yang sedang kami bicarakan ini.
“Lo kenal?” tanyaku dengan nada yang dibuat sewajar mungkin.
“Enggak sih. Tapi nanti pasti gue dapetin nomornya.”
Aku tidak akan besar kepala kalau tidak ada bukti bahwa pandangan Jace memang selalu mengarah padaku. Saat Sheryl pergi ke kamar mandi, atau membeli jajanan ke warung warga, Jace akan selalu menaruh matanya padaku. Itu yang membuatku tidak terlalu menganggap serius ucapan Sheryl saat itu.
Sampai, acara api unggun selesai, tidak ada yang berani untuk menyapa satu sama lain. Dia hanya mengangguk ramah ketika pandangan kami tidak sengaja bertemu. Dia tersenyum ringan lalu menyugar rambut tebalnya dengan gaya paling keren. Seolah dia tahu bahwa dia sedang diperhatikan.
Seharusnya itu tidak menggangguku. Seharusnya aku melupakan cowok yang pasti akan menjadi cowok populer dan berpotensi menjadi playboy. Namun, ternyata tidak bisa. Mata tajamnya terlalu mengusik hari-hariku yang sederhana. Membuatku gelisah jika satu hari saja tidak bisa melihat wajahnya yang sempurna. Kemudian aku menyadari, aku menyukai cowok tampan itu.
Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku dan Jace hanya menjadi dua orang yang tidak pernah saling menyapa. Sampai saat Sheryl bercerita kalau ada cowok yang sedang dia dekati dan ingin menjadi pacarnya. Aku yakin dia tidak akan pernah gagal. Dia pasti akan mendapatkan apa yang dia mau. Namun, aku tidak tahu kalau cowok itu adalah Jace. Cowok yang juga aku sukai.
“Kat? Katy?”
Suara Sheryl menarikku kembali pada masa kini. Aku mengerjap beberapa kali lalu sadar bahwa aku harus menyunggingkan senyuman untuk sahabatku ini.
“Selamat ya, Sheryl.” Aku mendengar kepalsuan pada suaraku.
Sheryl memandangku dengan wajah bingung. “Lo kenapa? Sakit?”
Aku kembali mengerjap. Entah karena aku gugup atau mengedip-kedipkan mata sudah menjadi hobiku sekarang.
“Gue? Enggak apa-apa.” Aku menarik tas punggungku dan bangkit dari kursi dengan tergesa-gesa. “Gue balik duluan ya.”
“Lo enggak tunggu Shafira dan Briya? Gue belum ngasi tahu mereka tentang ini,” bujuknya.
Aku menggigit bibir bawahku. Mencari alasan yang tepat supaya aku bisa segera pulang dan menyendiri. Aku sedang ingin sendirian dan meratapi apa pun yang sedang aku rasakan sekarang. Aku sedang kesakitan sekarang.
“Gue enggak bisa. Gue harus anter nyokap ke Saung Geulis,” kilahku. Itu cukup untuk membuat Sheryl diam. Dia tahu mengantar ibuku ke restoran sunda miliknya adalah adalah rutinitasku setiap hari jumat.
Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang Sheryl katakan ketika dua temanku yang lain, Shafira dan Briya datang bergabung. Aku terlalu sibuk menekan air mata agar tidak keluar dari tempatnya. Yang aku pikirkan hanya kenyataan bahwa aku harus segera pulang, mengunci diri di kamar dan meluapkan apapun yang sedang menggelayuti dadaku saat ini.
Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku ikut berbahagia untuk sahabat masa kecilku ini. Namun, ini terlalu sulit aku terima. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa Jace tidak akan menyukaiku. Dia memang hanya cocok untuk cewek seperti Sheryl. Cantik, lincah dan selalu ceria. Tidak sepertiku yang hanya memikirkan tugas sekolah setiap harinya.
Hari-hariku selanjutnya menjadi lebih berat. Jace menjadi sering berada di sekitarku. Susah payah aku bersikap wajar, tetapi aku tetap merasa matanya selalu mengikutiku. Bahkan ketika aku membelakanginya, aku merasa matanya seperti sedang melubangi punggungku. Sebut aku aneh. Namun, kalian tidak akan mengerti. Itu yang aku rasakan.
Suatu ketika Sheryl bertanya kenapa aku menjauhinya. Sebelumnya aku tidak sadar kalau aku sedang menjauh. Aku hanya meminimalkan interaksiku dengan Jace. Aku tidak mau sikapku yang canggung menyebabkan kecurigaan di mata teman-temanku.
“Gue enggak menjauh kok, Sher. Restoran nyokap gue lagi rame. Jadi enggak bisa selalu ikut kalian nongkrong,” jawabku saat itu.
“Lo enggak lagi ada masalah, ‘kan?” tanya Sheryl penuh dengan kekhawatiran. “Kalo lo perlu apa-apa bilang sama gue. Uang gue banyak. Gue anak yatim yang kaya raya. Ingat itu.”
Aku tersenyum geli mendengarnya. Jika bukan teman dekatnya, pasti menganggap itu hanya lelucon. Namun, Sheryl memang benar-benar anak yatim yang dilimpahi warisan yang banyak.
“Iya gue tahu lo kaya. Makanya gue betah temenan sama lo,” godaku sambil merangkul bahunya.
“Gue serius, Katy. Kalo ada apa-apa cerita sama gue. Gue pasti bantu. Gue sedih lihat lo jadi murung gini.”
Saat itu perasaan bersalah menyerangku. Sheryl tidak pernah meninggalkanku walau dia sudah bersama Jace. Dia selalu bertanya keberadaanku dan mencariku ketika aku menghilang di waktu istirahat sekolah atau ketika aku pulang tanpa pamit padanya, dan dia mengabari bahwa dia menungguku untuk pulang bersama. Sheryl membuatku bertahan dan membantuku berlapang dada untuk menerima bahwa, Jace tidak tercipta untukku.
Pagi itu di dalam kelas. Baru beberapa orang yang sudah duduk di kelas dengan rapih. Rata-rata mereka adalah orang yang selalu menyerahkan tugas, dan mendapat nilai tinggi di setiap kuis. Aku salah satu dari orang-orang tidak keren itu. Tidak seperti ketiga temanku yang selalu telat dan menyontek saat waktunya mengumpulkan tugas.
Aku mengatur tata letak alat tulisku di meja. Sedikit berkaca untuk memastikan penampilanku tidak ada yang salah. Memakai lipbalm untuk bibirku yang kering dan merapikan rambut ikal sebahuku.
“Ehem.”
Suara orang berdeham mengagetkanku. Aku menoleh ke sampingku dengan pelan. Sosok jangkung itu berdiri di sana. Seragamnya dibiarkan keluar dari sabuk. Seulas tato yang baru aku sadari menyembul dari lengan bagian atas. Tidak begitu jelas itu tato apa.
“Jace?” Aku mengerutkan dahi melihat pagi-pagi dia sudah ada di kelasku. “Sheryl belum dateng.”
“Gue enggak nyari Sheryl. Gue nyari lo,” ujarnya sambil menarik kursi di sampingku dan duduk dengan santai.
Dadaku tiba-tiba berdebar tanpa kendali. Makin lama semakin kencang seiring dengan segala pertanyaan yang keluar dari dalam otakku. Mau apa cowok ini mencariku di saat pacarnya sedang tidak ada?
Aku berdeham demi menutupi gugup yang tiba-tiba menyerangku. “Terus?”
Dia menghadapkan badannya ke padaku. Memandangku dengan matanya yang tajam dan penuh dengan intimidasi. Seolah matanya berkata, gue butuh perhatian penuh sekarang. Jangan abaikan gue!
Jace menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimatnya. “Ada yang mau gue sampaikan.”
Deg!
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments