"Namamu Carisa, kan?" tanyanya. "Iya. Kok kamu tahu namaku? Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanyaku heran. Aku jadi ragu kalau dia memang salah orang. Wanita itu tersenyum mengejek. "Nama suami kamu Bian?" tanyanya kemudian. Aku menganggukkan kepala. Apa ini semacam prank dari Bian? Agar bisa tahu bagaimana caraku menghadapi tukang fitnah?"Berarti aku tak salah orang, dong. Kamu memang pelakor yang aku maksud," sinisnya, terlihat serius dan tak ada nada bercanda. Pikiranku langsung tertuju pada mantan istri dari suamiku yang selalu cari gara-gara. Bisa saja ini kerjaannya, apalagi tadi dia ngebet meminta Bian agar menikahinya lagi meskipun jadi istri kedua. "Apa kamu mendapatkan info palsu ini dari seseorang yang bernama Inayah?" selidikku. Mata wanita itu membulat sempurna"Bagaimana kamu bisa tahu?"Hmm, berarti benar ulah Inayah."Karena setahuku, aku tak punya musuh. Hanya wanita itu satu-satunya yang suka cari masalah denganku.""Jelas saja dia benci sama kamu, s
"Lain kali gak usah diladeni, Ca. Dia hanya berusaha mencari-cari kesalahan orang lain. Karena kamu itu perfect, jadilah dia membuat fitnah untuk menyudutkanmu," bisik Bian.Aku menatap raut wajah suamiku, menyentuh pipi kanannya dengan lembut."Beneran aku perfect, Bi?""Iya, kamu sempurna, tanpa cela di mataku, Ca.""Makasih, Sayang. Semoga aku juga tak akan pernah melihat kekuranganmu. Kamu lah yang membuat hidupku semakin berwarna," balasku.Bian menganggukkan kepala mengusap-usap kepalaku."Bi!""Ya, Sayang?""Apa dia selalu begitu saat kalian menikah , Bi? Kulihat Bibi bahagia bersamanya kalau itu," ujarku.Bian menggelengkan kepala."Entahlah, Ca. Mencintai Inayah sebagai istri itu kewajibanku dan perlahan rasa cinta itu telah hadir. Aku gak masalah kalau terlihat seperti budak cinta asal dia tak senang. Selama ini kulihat perangainya baik-baik saja di depanku. Namun beberapa fakta telah membuatku tak ingin bertemu dia lagi. Kesalahan lainnya masih bisa kutolelir, tapi tidak de
*"Selamat datang, Nak," sambut Bu Ranti yang kini jadi mertuaku. Beliau memelukku dan Bian, lalu beralih ke Boy, cucu yang jadi primadona di rumah ini. Aku ikut ke dapur, membantu yang lainnya memasak kue dan beberapa lauk yang akan disajikan pada tetangga besok pagi sebagai acara memperkenlkanku sebagai menantu baru rumah ini. Tidak ada pesta di sini karena kami akan digondangkan di kampung. Malam harinya, aku dan Bian akan tidur di kamarnya saat masih lajang, sudah dihiasi lagi dengan nuansa pengantin baru. Keluarga Bian lainnya yang berasal dari kampung akan tidur si ruang tamu. Yang laki-laki di sudut dekat pintu, dan perempuan diepan tivi. Oppung Bolon dan Oppung Menek tidur di kamar Bu Ranti, Nisa dan dua sepupunya tidur di kamar adik iparku itu. Aku memainkan ponsel sesaat, menyimpan beberapa foto kami tadi saat jalan-jalan di beranda facebook , tapi dengan menggunakan privasi hanya aku yang bisa melihatnya. Tujuannya simpel, karena fb sekarang bisa mengingatkan kenangan in
Mataku membulat sempurna, melihat ekspresi Bian yang terlihat serius. Padahal kata 'yang' yang Bian maksud tidak ada unsur panggilan kemesraan. Hanya kata penghubung dalam suatu kalimat."Jadi kamu akan mengirim uang ke nomor rekening Yang-mu itu yang bahkan aku tidak tahu kalau tak sengaja melihat sms masuk di ponselmu? Membeli sebuah rumah minimalis dengan nuansa taman hijau di halamannya tanpa sepengetahuanku?" tanya Bian lagi, mulai melebih-lebihkan.Astaga, kayaknya perlu dikompres nih suami. Ini sih korban layangan putus."It's my dream, Bi. Not her's," potongku, menghentikan keanehan suami. Kapan dia menonton film yang kata beberapa orang lumayan vulgar itu? Duh, aku tak rela kalau mata Bian melihat adegan-adegan tak pantas dalam film yang terinspirasi dari kisah nyata itu."Jadi ginjal kamu pengen dicubit, Bi?" ujarku, mengangkat tangan kanan dan memperagakan sedang mencubit.Bian mengulum senyum, berjalan mundur hingga kakinya menyentuh sisi ranjang."Ampun, Ca. Aku cuma berc
Jika ada contoh kegigihan seorang insan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, mungkin Inayah adalah contoh yang pas. Namun sayang, ia melakukannya untuk hal yang negatif.Dulu ia dengan gigih ingin membuatku tergoda lagi dengan Caca, sekarang dia lah yang terus-terusan datang menggodaku, setelah sekarang berstatus bukan suaminya lagi, melainkan pasangan halal Caca.Aku sempat membaca beberapa pesannya dulu yang suka nantangin Caca. Cukup terlambat biar akhirnya aku tahu motif dia kenapa ingin suaminya bekerja di perusahaan yang diwariskan almarhum suami wanita yang kini jadi istriku.Keadaan yang berbanding terbalik. Aku tak nyaman jika terus-terusan begini.Inayah menerobos masuk ke rumah ini, sementara hanya ada aku di sini. Caca sudah masuk kamar beberapa menit yang lalu. Mungkin sudah berkelana dalam mimpi."Ngapain kamu ke sini? Cepat keluar. Keluargaku lagi gak ada di sini, nanti terjadi fitnah," usirku dengan tegas meskipun agak pelan, sengaja memelankan suara agar istriku
"Aku tahu kok, Bi, kamu baru ketemu sama Inayah," ujarku setelah kami menghabiskan cendol yang Bian bawa. Seketika Bian terbatuk, lalu meminum air putih yang sudah kusediakan."Kamu kok tahu? Apa Inayah yang kasih tahu kamu?" tanya Bian setelah menguasai keadaan. Wajahnya sedikit pucat, lalu nyengir."Aku sempat denger pas dia datang. Siapa sih yang bisa tidur lagi saat mantan istri suaminya datang ke rumah dan mengajak keluar?" tanyaku seraya tersenyum."Maaf, aku hanya …." Bian terlihat salah tingkah."Lalu aku ikutin deh kalian biar Hi lebih lega. Makasih, ya, Sayang, kamu tak terpengaruh dengan ucapan Inayah. Aku gak ada hubungan dengan Rino, kok. Sengaja tak memberi tahu kamu karena tak ingin kepikiran. Aku sudah blokir dia juga agar tidak mengusik ketenangan hati kita," tuturku.Tadi aku merasa bersalah karena kesannya tidak percaya pada suami sendiri. Sempat merasa curiga, tapi semua terpatahkan dengan menyaksikan sendiri bagaimana cara Bian menghadapi mantannya."Kamu tidak ma
"Udah, Ca. Bibi minta maaf karena bikin kamu cemas. Aku tidak bermaksud loh, Beib," ujar Bian merangkulku dengan erat. Aku terus saja memukul kakinya dengan pelan lalu tak menolak pelukannya lagi.Setelah beberapa saat, aku mengurai pelukan suamiku. Menatap netranya dengan tatapan sendu."Kamu tak tahu bagaiman cemasnya aku, Bi? Aku hampir jantungan gara-gara ulahmu. Aku kira akan ditinggal lagi untuk selamanya. Kamu gak tahu kan, bagaimana rasanya orang yang dicintai terbujur kaku, Bi? Aku mohon, jangan bersikap seperti ini lagi. Aku mencintaimu dan tak ingin kehilangmu," tuturku, lalu memeluk suamiku sambil memejamkan mata.Ya Robbi, terimakasih masih memberikan kesempatan untuk berbahagia."Aku tak meragukan kesetiaanmu, Sayang. Aku hanya berusaha menjauhkan Inayah dari kita. Kamu lihat, kan, dia tak pernah tulus mencintaiku. Aku memang yang salah karena tak memberitahu terlebih dahulu," ujar Bian dengan suara serak. Aku tahu, dia pun ikutan menangis.Aku tak bisa marah terlalu lam
Dari pukul sepuluh hingga salat zhuhur, aku dan Bian belum menemukan putra kami. Beberapa tetangga juga ikut membantu mencari, meskipun kata mereka tak melihat Boy keluar rumah. "Coba cari dalam rumah dulu, Bian. Mana tahu dia sedang tidur di rumah," ujar tetangga samping rumah. Iya juga, ya. Kenapa kami tak kepikiran akan hal itu? Kami pun masuk dengan langkah gontai. "Gimana? Ketemu, gak?" desak Ibu mertua. Padahal beliau pun melihat kalau tak ada cucunya kami bawa. Rasa khawatir kentara di wajahnya. Aku menggeleng lemah, lalu duduk di sofa berwarna coklat. "Ke dalam kamar aja, Ca. Kamu istirahat, biar aku yang cari lagi," usul Bian yang tak bisa kutolak lagi. Kakiku sudah pegal semua. Jujur aku cemas, pikiran tak karuan. Untung saja Bian selalu mengajakku berhuznuzon kalau semua akan baik-baik saja. Aku dan Bian masuk ke kamar dan langsung mencari Boy. Aku membeliakkan mata saat melihat satu telapak kaki kecil berasal dari bawah tempat tidur kami yang terbuat dari kayu jat
"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
Aku menarik napas panjang. "Temani aku bertemu Bang Bian, Nah. Dia lagi di kota ini," lanjutku.Aminah tersenyum hambar. Gurat kecewa tak bisa ia sembunyikan. "Aku tak akan sekecewa ini bila kamu menolak tawaranku, In. Namun aku tak menduga kalau kamu masih mengharapkan mantanmu. Aku kira kamu sudah ikhlas melepas dia berbahagia dengan wanita itu."Aminah membuang muka, tak sudi menatap wajahku lagi. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya, membingkai wajah yang jarang putus dari wudhu itu. "Hey, siapa yang sering mengajarkanku agar tidak berprasangka buruk? Aku tidak bilang kalau ingin kembali dengan mantan suamiku loh."Aminah menggenggam kedua tanganku seraya tersenyum. "Lalu apa maksudmu ingin menemuinya dan sampai mengajakku?" cecarnya. "Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Murni untuk minta maaf saja, sekalian mengabarkan kalau aku akan menikah dengan lelaki pilihan sahabatku," balasku tersenyum lebar. "Alhamdulillah ya, Allah. Kamu beneran mau jadi temanku bahu-membah
"Apa benar kamu masih mencintai mantan suamimu? Atau kamu hanya takut kalau tak ada yang mengurus di usia senja, In?" cecar Aminah dengan lembut. Dia adalah teman sekampungku dan tak sengaja bertemu di warung makan tempatku bekerja. Saling tukar kontak dan bertemu keesokan harinya karena aku libur kerja. Dia datang ke kosanku dan aku banyak bercerita padanya tentang kehidupan rumah tangga yang sudah kandas. Semuanya kuceritakan dengan detail meskipun aku tahu tindakanku akan salah dalam pandangannya. Aku butuh orang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg.Perempuan berkulit hitam manis itu mendengarkan dengan baik, terkadang tersenyum dan sesekali mengelus dada. Setelah aku bercerita, barulah hati ini plong. Aku tak punya teman berbagi kisah karena memang tak punya teman akrab di sini.Sebagai anak yatim piatu, jelas saja aku cemas akan nasibku di hari tua. Tiada anak, suami, maupun keluarga. Aku sebatang kara, mencari uang sendiri dengan mengandalkan tenaga dengan gaji tak seberapa. Aku
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata