"Sehat, Ca. Apa kamu mau ngomong sama Papa? Papa kamu sudah sangat rindu."Aku mengangguk, tapi menimbulkan salah paham di seberang sana. Kami bicara melewati sambungan telpon biasa, tentu saja mereka tak melihat anggukanku. "Kalau Carisa gak mau ngomong sama Papa, gak apa-apa. Yang penting dia sudah bahagia dengan Bian. Jangan merusak suasana hatinya, Ma."Ya Allah, pipiku semakin dialiri cairan hangat. Dulu aku memang kesal sama keegoisan Papa hingga malas bicara dengan beliau. Tapi sikapku sudah melunak sejak beberapa bulan lalu. "Papa, Carisa sayang banget sama Papa," lirihku."Apa? Coba ulangi lagi, Nak?" Suara Papa terdengar jelas, sepertinya sudah mengambil alih ponsel Mama. "Carisa sayang sama Papa. Papa adalah kesayangan Carisa. Maafkan anak Papa yang sering membuat Papa sedih," tuturku. "Papa juga sayang sama kamu, Nak. Jaga kesehatan kamu di sana. Cuma kamu buah hati kami," balas Papa. Rasa nyeri terasa menusuk ulu hati. Bukan karena kesedihan, melainkan rasa haru yang
Membahagiakan Ibu adalah salah satu tujuan hidupku. Aku yakin, tak mudah bagi Ibu meninggalkan rumah dimana beliau dilahirkan, tumbuh dan membesar di sana. Di rumah itu juga lah jadi saksi kedua orang tuaku menjalani kehidupan dalam berumah tangga.Ya, rumah itu adalah peninggalan kedua orang tua dari Ibu. Karena Bapak tak punya siapa-siapa di kota, beliau ikut tinggal di rumah Ibu.Mungkin, di setiap sudut rumah tua yang sudah direnovasi beberapa kali itu memiliki banyak kenangan manis. Tidak ada memang yang memaksa Ibu harus tinggal di Sidimpuan ini, tapi kerinduan itu pasti ada.Aku juga sama, tapi tidak terlalu kentara karena cintaku ada di sini, bersamaku. Namun aku tak menyangka kalau Caca juga merindukan rumahnya. Kerinduan yang wajar memang."Kita berangkat saja, Bi. Kasihan Ibu, beliau hanya ingin berziarah ke makam Bapak. Kita berserah diri saja pada Allah. Semoga tidak ada halangan yang berarti di sana," ujar Caca."Beneran, Ca?" tanyaku antusias."Iya, Bi.""Makasih, ya, S
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Caca, membuyarkan lamunanku. "Eh?" Aku menatap sekeliling. "Ayo turun, Ibu sama Boy udah nungguin loh," ujar Caca. Aku mengusap wajah dengan pelan, lalu turun dari taksi online yang sudah berhenti sejak tadi. Aku mengikuti nenek dan cucunya itu masuk ke rumah mertuaku. Binar bahagia terpancar di wajah kedua mertuaku. Mereka tentu tak menyangka kalau kami akan datang ke sini, apalagi tidak dikabari sebelumnya. Boy tentu jadi idola, tak hentinya dihadiahi ciuman dari kakek neneknya. "Assalamualaikum!" sapa orang dari luar. Aku menoleh pada Caca. Itu seperti suara mantan mertua istriku. Dengan sigap Caca membuka pintu. "Ya Allah, Nak, kamu di sini? Kok gak ngabarin Mami? Ponsel kamu juga tak bisa dihubungi sejak tiga hari yang lalu. Mami kangen loh, Nak," lirih ibunya Reno. Keduanya berpelukan. "Namanya juga surprise, Mi.""Papaaaaaaaaaa!"Teriakan Boy yang lumayan kencang membuat kami semua menoleh. Aku terkejut bukan karena suaranya, melainkan kata
"Ada apa ini? Kok kamu sampai jatuh sih, Sayang?" tanya maminya Rino, membantu putranya berdiri. Dia terlihat cemas dan membolak-balik badan Rino, memeriksa apakah ada yang terluka."Gak ada apa-apa, Mi. Aku cuma terjatuh pas mau berdiri," balas lelaki itu, sedikit meringis dan melirikku sekilas.Kenapa dia harus berbohong? Padahal kalau dia mau, bisa saja mengatakan yang sebenarnya kalau aku telah memukul perutnya."Papa sakit?" tanya Boy cemas.Ya Allah, dia bukan papamu, Nak."Enggak kok, Sayang. Hanya sedikit."Wajah Rino membuatku muak. Dia meringis di depan putraku hingga Boy menarik tangan lelaki itu agar duduk di sofa.Tangan mungilnya mengusap-usap betis Rino yang katanya sakit. Tentu saja aku merasa tak nyaman melihat pemandangan ini karena sudah mendengar sendiri penuturan Rino tadi. Dia ingin merebut cintaku seperti yang dilakukan saudaranya.Apa di dunia ini tak ada lagi wanita lajang yang pas buatnya?Jika aku menjelaskan sekarang pada Boy bahwa lelaki tadi bukan papanya
"Pokoknya kamu juga harus nikah. Carisa udah mau nikah dan dia akan tingal di kampung suaminya itu. Siapa lagi yang jadi menantu Mami?" desak Mami. Aku berdecak kesal. Dulu Reno yang selalu jadi patokan kesuksesan. Sekarang, istrinya lah yang jadi acuan menjadi orang bahagia."Kalau gitu, nikahkan saja aku sama Carisa," balasku cuek. Mata Mami membeliak, lalu memegang kedua bahuku. "Kamu serius?""Iya. Sepertinya aku mulai menyukai janda itu."Mami terlihat bahagia, lalu kembali murung. Duduk di sofa dengan bahu terkulai. "Tapi sayangnya semua udah terlambat, Rino. Kamu sih, dulu pakai acara nolak segala. Coba kamu ikuti alur yang Mama buat, pasti sekarang kita akan berkumpul lagi sebagian keluarga yang utuh."Mami mengusap wajah dengan pelan. "Kamu coba pedekate sama anak temen Mami deh. Gak mungkin Mami ngerusak kebahagiaan Carisa dengan memaksanya menikah denganmu. Bisa rusak citra baik Mami."Aku berdecak lagi. Katanya ingin Carisa jadi menantunya lagi, tapi Mami gak sungguh-
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta